Urgensi Moderasi Islam di Era Globalisasi

Urgensi Moderasi Islam di Era Globalisasi

Urgensi Moderasi Islam di Era Globalisasi

Di zaman modern seperti sekarang ini, globalisasi bukanlah istilah yang asing lagi bagi kita. Laksana sudah mendarah daging, setiap aktivitas, makanan, pakaian dan gaya hidup kita sudah terpengaruh oleh peradaban global. Malcom Waters, seorang Profesor Sosiologi dari Universitas Tasmania Australia, berpendapat bahwa globalisasi adalah sebuah proses sosial yang berakibat pada hilangnya batas-batas geografis. Batas wilayah satu negara menjadi kurang penting dalam mempengaruhi keadaan sosial yang terjelma di dalam kesadaran orang.

Globalisasi juga merupakan suatu fenomena yang bergerak terus dalam beradaban luas masyarakat. Kehadiran teknologi informasi dan teknologi komunikasi mempercepat akselerasi proses globalisasi ini. Terjadinya globalisasi sangat memungkin terjadinya asimilasi, pengenalan, serta pertukaran budaya yang ada di dunia.  Globalisasi menyentuh seluruh aspek penting kehidupan serta menciptakan berbagai tantangan dan permasalahan baru yang harus dijawab dan dipecahkan. Tentunya dalam upaya memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan kehidupan.

Dampak dan tantangan globalisasi

Globalisasi memberikan dampak yang besar bagi umat manusia. Bagi kaum muslim, globalisasi memudahkan kita untuk mempelajari Islam di mana saja dan kapan saja. Media untuk berdakwah tidak lagi susah. Bahkan semakin bertambah dengan berbagai macam kreasinya. Info-info terkini perkembangan Islam dapat kita akses di berbagai media. Selain itu, globalisasi juga mempermudah kita untuk beribadah, seperti berinfak dan bersedekah dengan cara online dan melaui fitur aplikasi. Manfaatnya bisa ditujukan dan dirasakan oleh saudara kita yang berjauhan jarak. Bahkan bisa menjangkau lintas negara dan benua.

Namun disisi lain, globalisasi juga kerap kali menimbulkan permasalahan baru yang mengharuskan kita pandai meninjau dan memfilter setiap perubahan yang ada. Dengan mudahnya akses informasi, dunia maya dan media sosial rentan berisikan ujaran kebencian dan hoax. Lebih ironis lagi, hal ini terkadang sengaja diproduksi dan didistribusikan. Tersebar di kalangan masyarakat luas. Dampaknya, terjadi mudah curiga dan mudah menyalahkan antar sesama anak bangsa, bahkan antar sesama warga dunia. Kenyataan ini sebagaimana terjadi di Timur Tengah. Hinga kini, perang dan konflik terus bergejolak.

Selain itu, tidak adanya batas-batas yang jelas membuat gerakan-gerakan radikalisme berkembang pesat. Konten-konten keagamaan memang mempermudah seorang untuk belajar dan memperdalam ketakwaan, namun bisa berakibat fatal bila suguhan kajiannya berisikan indoktrinasi. Mengukuhkan kebenaran tunggal pada pihak tertentu. Sehingga menyebabkan ceramah agama gagal menumbuhkan kearifan dan kesadaran terhadap perbedaan.

Sesungguhnya Islam adalah ajaran yang cinta damai. Dengan kondisi masyarakat di mana berbagai macam etnis, agama dan budaya hidup damai berdampingan dalam satu bangsa. Agama memang tidak dapat dipaksakan kepada orang lain. Tiap-tiap orang mempunyai hak untuk memilih agama sesuai dengan keyakinannya.

Dalam hal ini, Allah ta’ala berfirman:

لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Artinya:

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah,maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 256)

Baik umat Islam maupun penganut agama lain harus berupaya memahami dan mengamalkan ajarannya masing-masing dalam bingkai merawat kemajemukan. Hal ini tidaklah berlebihan, mengingat setiap agama pasti mengajarkan nilai dan budi luhur. Oleh karenanya, hidup damai dan toleran sudah semestinya menjadi komitmen bersama. Dalam konteks ajaran Islam, toleransi antar agama juga telah ditegaskan dalam al-Qur’an:

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

Artinya:

“Untukmu agamamu,  untukku agamaku.” (Q.S. al-Kafirun: 6)

Umat Islam harus berupaya mewujudkan ajaran-ajaran mulianya guna berlomba dalam kebaikan, menciptakan keadaban publik, serta mewujudkan kemaslahatan umat manusia. Hal ini bisa dimungkinkan jika sikap toleran dan moderat menjadi prinsip dasar dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak aneh bila terdapat hadis shahih yang diriwatkan oleh Imam al-Bukhari (194-256 H) dalam kitab al-Adab al-Mufrad dan kitab Shahih al-Bukhari, Rasulullah SAW menyatakan bahwa agama yang paling dicintai oleh Allah ta’ala adalah agama yang lurus dan moderat.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قِيلَ لِرَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم: أَىُّ الأَدْيَانِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ

Artinya:

Diriwayatkan dari Shahabat Ibnu ‘Abbas ra, suatu ketika ditanyakan kepada Rasulullah saw: “Agama apa yang paling dicintai oleh Allah?” Maka Rasulullah saw menjawabnya: “Agama yang lurus dan moderat.” (H.R. al-Bukhari)

Menjadi warga dunia

Allah tidak menyatukan seluruh umat ini dalam satu model atau golongan karena masing golongan memiliki aturan dan jalan yang terang sendiri-sendiri. Mereka akan terus berlomba-lomba melakukan kebajikan dengan cara dan aturannya, hingga mereka kembali kepada-Nya. Allah SWT, lalu akan memberitahukan hal-hal yang mereka persilihkan di dunia. Kurang baik kiranya, jika perbedaan itu diributkan di dunia dengan saling mencaci, mengintimidasi atau bahkan membunuh, karena kelak Allah SWT sendiri yang akan menerangkannya. Maka dari itu moderasi beragama dirasa perlu untuk mengatasi serta mencegah terjadinya hal-hal yang memicu perselisihan.

Islam selalu bersikap moderat dalam menyikapi persoalan. Prinsip moderasi ini menjadi karakteristik Islam dalam merespon segala persoalaan. Dalam konteks keseimbangan, Islam memiliki prinsip-prinsip moderasi dalam mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan persaudaraan. Rasulullah melarang umatnya untuk terlalu berlebihan, meski dalam menjalankan agama sekalipun. Beliau lebih senang jika hal itu dilakukan secara wajar tanpa adanya pemaksaan diri dari yang berlebihan.

Suatu hari, tiga orang sahabat berkunjung ke rumah Rasulullah SAW Ketiganya ingin bertanya kepada istri beliau tentang ibadah Rasulullah. Setelah istri Nabi menjelaskan, mereka merasa bahwa ibadahnya masih kurang dan sangat tidak mencukupi bila dibandingkan dengan ibadah Nabi. Sahabat yang pertama lantas berniat akan shalat malam semalam suntuk tanpa tidur. Sahabat yang kedua mengatakan akan berpuasa sepanjang tahun. Sahabat yang ketiga berniat tidak akan menikah selamanya.

Mendengar pernyataan ketiga sahabat tersebut, Rasulullah SAW mendatangi mereka seraya menegurnya.  Nabi Muhammad saw menegaskan bahwa beliau adalah orang yang paling takut dan paling takwa kepada Allah ta’ala, akan tetapi beliau tidak lantas berlebihan dalam beragama. Nabi Muhammad saw berpuasa, tetapi juga berbuka. Menunaikan shalat malam, tetapi juga tetap tidur. Pun pula, beliau juga menikah. Riwayat hadis sahih ini terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.

Dari kisah ini,  Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita cara beragama yang benar, yaitu tidak berlebihan (ghuluw), memberat beratkan (tasyaddud), melampaui ketentuan (i’tida) dan memaksa-maksakan diri (takalluf). Cara beragama yang benar adalah berkeseimbangan (tawazun), berkeadilan (ta’addul), bertoleransi (tasamuh) dan berkasih sayang (tarahum). Cara beragama yang benar ini adalah prinsip-prinsip dasar moderasi Islam. Islam adalah agama yang moderat, ciri khas dan kelebihan ajaran Islam adalah segi moderasinya.

Moderasi mengundang umat Islam untuk berinteraksi, berdialog dan terbuka dengan semua pihak (agama, budaya, dan peradaban), karena mereka tidak dapat menjadi saksi atau berlaku adil jika mereka tertutup atau menutup diri dari lingkungan dan perkembangan global. Dengan memahami realita, memahami fikih prioritas, menghindari fanatisme berlebih, memahami teks-teks keagamaan secara komprehensif, open minded dalam menyikapi perbedaan dan permasalahan, serta berkomitmen pada kebenaran dan keadilan, moderasi Islam akan senantiasa hadir sebagai petunjuk.

Globalisasi bukan hal yang dapat kita hindari, mau tidak mau haruslah kita hadapi dengan penuh kebijaksanaan dengan menanamkan nilai moderasi baik itu, moderasi akidah, moderasi syariah, moderasi dalam akhlak, moderasi dalam berpolitik, moderasi dalam menggunakan sosial media. Sebagai muslim sudah sepatutnya kita mengkaji dan mempelajari setiap perkembagan zaman yang terjadi, agar senantiasa bisa tetap menjaga ukhuwah insaniyah (seluruh umat manusia adalah bersaudara), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan dalam kebangsaan), ukhuwah islamiyah (persaudaraan antar sesama muslim). Dengan prinsip ini, masyarakat muslim akan dapat menghadapi tantangan globalisasi. Baik dalam berbangsa dan bernegara Indonesia, ataupun menjadi bagian dari warga dunia.

*Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di Buletin Muslim Muda Indonesia