Kitab Al Fawaid al Mukhtaroh Lisaliki Thariqi al Akhiroh, karya Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith pernah mengisahkan, bahwa Abu Hurairah pernah memerintah beberapa orang untuk mengambil bagian warisan mereka yang berasal dari Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Kisah ini ditakhrij oleh At-Thabrani dalam kitab al-Ausath.
Alkisah, suatu ketika Abu Hurairah melewati sebuah pasar di Madinah, berhentilah Abu Hurairah di pasar itu. Tak lama kemudian, tiba-tiba Abu Hurairah berkata kepada orang-orang yang ada di pasar itu.
“Wahai kalian semua, betapa ruginya kalian!” ujar Abu Hurairah.
Orang-orang yang ada di pasar pun terheran dengan ucapan Abu Hurairah. Lantas salah seorang dari mereka menimpali.
“Wahai Abu Hurairah, mengapa kau berkata demikian?” Tanya salah seorang dari mereka.
“Di sana ada warisan Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang sedang dibagikan, kenapa kalian masih di sini? Kenapa kalian tidak pergi ke sana mengambil bagian kalian?” Jawab Abu Hurairah.
Perkataan Abu Hurairah tak pelak membuat mereka semakin penasaran. Mereka pun kembali bertanya.
“Di mana itu?” Tanya mereka.
“Di Masjid,” jawab Abu Hurairah.
Lalu orang-orang tadi bergegas berbondong-bondong menuju ke masjid, sedangkan Abu Hurairah masih tetap menunggu di pasar hingga orang-orang tadi kembali.
Sekembalinya mereka dari pasar, Abu Hurairah lantas bertanya kepada mereka.
“Kenapa kalian kembali?” Selidik Abu Hurairah.
“Wahai Abu Hurairah! Sungguh kami telah pergi ke masjid dan kami tidak melihat apapun dibagikan di sana!” Jawab mereka.
“Bukankah kalian melihat ada orang di sana?” Selidik Abu Hurairah lagi.
“Tentu saja, kami melihat ada sekelompok orang yang sedang shalat, sekelompok yang lain sedang membaca Al-Qur’an, dan sekelompok yang lain lagi sedang berdiskusi ihwal halal dan haram,” jawab mereka menjelaskan.
“Nah, itu warisan Kanjeng Nabi Muhammad yang ku maksud,” ujar Abu Hurairah sambil memberitahukan kepada mereka ihwal warisan yang Kanjeng Nabi dimaksud.
Kisah ini tak lantas secara fatalistik memerintahkan kita untuk ibadah terus menerus di masjid dan meninggalkan kehidupan dunia. Bisa saja saat itu konteksnya sedang masuk waktu shalat. Bisa jadi seperti itu.
Namun pada akhir kisah ini sang muallif kitab Al Fawaid al Mukhtaroh Lisaliki Thariqi al Akhiroh memberikan catatan dengan menukil sebuah hadis nabi;
إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ
“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, sesungguhnya mereka hanyalah mewariskan ilmu.”
Nah, jadi shalat, membaca Al-Qur’an, dan diskusi ihwal halal-haram tak ubahnya simbol keilmuan. Kalau hari ini kita sedang sibuk dalam hal keilmuan –baik ilmu agama atau ilmu yang lainnya– itu berarti kita sedang mewarisi misi kenabian.
Wallahu A’lam.