Paras lelaki itu sungguh mempesona. Perawakannya menarik. Warna kulitnya sedang. Raut mukanya lonjong. Jari jemarinya langsing. Gaya bicaranya fasih dan tingkah lakunya mengundang senyum banyak orang. Dialah Abu Hasan Asy-Syadzili.
Sepagi itu ia sudah mendatangi masjid di daerah Syadzili, Tunis, Afrika. Sudah banyak orang berkumpul di sana. Dari masyarakat biasa sampai ulama. Semuanya membaur dalam satu majelis. Tidak ada sekat-sekatan di sana. Baik orang baru yang awam masalah agama sampai orang-orang yang mumpuni keislaman saling sapa dan berdiskusi. Abu Hasan Asy-Syadzili mengambil tempat di ujung masjid. Sebentar mengucap salam dan shalawat. Ia melanjutkan dengan memberi petuah-petuahnya.
“Saudara-saudara. Jika engkau berdoa, jangan sampai tujuan doamu supaya hajat dan kebutuhanmu tercapai. Karena hal itu hanya akan membuatmu terhijab dari Allah. Yang harus menjadi tujuan doamu adalah untuk bermunajat kepada Allah yang memeliharamu dari-Nya,” tuturnya
Selanjutnya, Abu Hasan menceritakan pengalamannya. Saking banyaknya berdoa, membuat dia suatu ketika mendapatkan tajalli, Tuhan begitu nyata dihadapannya. Segala tabir dan penutup gaib seolah disingkap. Pesona hakiki terasa menyengat. Abu Hasan merasakan kebahagiaan tiada tara. Tak kuasa ia mencecap itu semua. Ia berharap ada tabir menyelimutinya. Tetapi ia mendengar suara, “Dia tidak akan memasang tirai antara kau dan Dia. Memohonlah kepada-Nya supaya kau kuat memiliki-Nya.” Abu Hasan berdoa dan ia pun kuat.
Perkataan yang begitu hebat menandakan Abu Hasan bukanlah orang sembarangan. Dialah sang alim yang berpengetahuan luas, seorang sufi yang di kemudian hari terkenal sebagai guru agung dan pendiri tarekat Asy-Syadziliyah. Bukan hanya sekadar seorang sufi. Abu Hasan adalah Sufi Qutb. Dalam tradisi tasawuf, Sufi Qutb adalah tingkatan yang tinggi dalam jenjang kesufian. Sufi Qutb memimpin beberapa sufi di suatu daerah yang diyakini mempunyai tugas menjaga keseimbangan kosmos.
Tetapi berbeda dengan sufi lain sezamannya yang mengekspresikan hidup wara’ dan sederhana dengan melepaskan predikat duniawi. Abu Hasan hidup teratur. Pakaiannya selalu bersih, bagus dan serasi. Makanannya dijaga dan diatur sesuai pola makan sehat. Ia menolak hidup dengan meminta-minta. Ia bekerja untuk menghidupi keluarganya dengan berladang atau bertani, sembari melaksanakan tugas utamanya sebagai pembimbing spiritual bagi murid dan umatnya.
*******
Nama Asy-Syadzili sebenarnya tidak dinisbatkan kepada daerah kelahirannya. Label (kunyah) Asy-Syadzili dilekatkan kepadanya sejak menjalani olah rohani di desa Syadzili, Tunisia, Afrika. Asal kelahirannya adalah Ghumara, Maroko. Nama lengkapnya Abu Hasan Ali Ibn Abdullah ibn Abdul Jabbar. Dia lahir pada tahun 593 H/1196M.
Orangtuanya menginginkan Abu Hasan menjadi tokoh agama yang taat dan pengemban syariat. Karena itulah, orangtuanya menanamkan pendidikan dasar agama yang kuat sejak masa belia. Tetapi, masa-masa selanjutnya ia tak memperlihatkan diri sebagai orang yang terpelajar. Ia lebih menyukai kajian tentang jiwa manusia dan mempunyai semangat yang besar dalam menjalani kehidupan spiritual. Dunia sufi lebih menarik perhatiannya.
Ilmu pertamanya tentang tasawuf didapatkannya dari Abu Abdullah M. Ibnu Harazim (w. 633/1236), seorang murid dari Abu Madyan. Pada tahun 615 H, ia mengembara ke dunia Timur dan tertarik untuk mempelajari aliran Rifa’iyyah di bawah bimbingan Syekh Abul Fath al-Wasithi. Bersama gurunya inilah ia kemudian tertarik kepada Sufi Qutb. Berhari-hari ia mempelajari Sufi Qutb dan ingin bertemu dengannya. Keinginan itu ia sampaikan kepada mursyid (guru)-nya. Al-Washiti menyarankan untuk kembali ke daerah asalnya, Maroko. “Kembalilah ke Maroko. Engkau akan menemukan Qutb di sana.” Di Maroko, ia menjumpai Qutb pada diri Abdus Salam ibn Masyisy, sufi dari Fes. Di bawah tuntunan spiritual Abdus Salam, Abu Hasan mempersiapkan diri menerjuni wilayah spiritual.
Namun, mata batin Abdus Salam menunjukkan bahwa Abu Hasan akan menemukan dunia spiritualnya dan akan menjadi Sufi Qutb jika ia berkelana ke Tunisia, tepatnya di desa Syadzili. Abu Hasan mengikuti titah Sufi Qutb itu. Dia pun meninggalkan Maroko, menuju Syadzili. Di sana dia hanya menyendiri di goa sepi dekat desa Syadzili. Di gua itu, ia beribadah, menjalankan ritual zikir dan mendekatkan diri kepada Allah. Hanya sekali-sekali saja ia keluar berdiskusi dengan para ulama dan sufi setempat.
Pada dasarnya, pengetahuan Abu Hasan memang cemerlang. Dari diskusi ke diskusi, ia kemudian diminta mengajar dan berceramah. Sambutan khalayak pun mengalir. Ceramah dan pengajiannya mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat setempat. Di sinilah ketokohan dan kesufian Abu Hasan terlihat. Dengan cepat ia mempunyai pengikut yang banyak. Kiprah Abu Hasan semakin tersohor.
Sayangnya, ketenaran Abu Hasan tak selamanya berbuah manis. Banyak Ulama Fikih konservatif merasa tersaingi. Tak ada lagi dialog dan kompromi. Mereka memberikan keterangan tak memadahi kepada Sultan Abu Zakariyya al-Hafsi. Fitnah pun dilancarkan. Dan akibatnya, Abu Hasan dan para pengikutnya mengalami situasi yang buruk. Penganiayaan sering mereka dapatkan.
Di tengah situasi yang tak bersahabat itu, Abu Hasan bermimpi bertemu Rasulullah SAW. Dalam mimpinya itu Rasulullah menyuruh Abu Hasan hijrah ke Mesir. Di sana sudah menunggu 40 wali yang harus dia bina. Genap di tahun 642 H, ia bersama sedikit pengikutnya mengungsi ke Mesir. Menetap di Kota Iskandariyah. Di Mesir inilah ia semakin mendapatkan kepopuleran dan kemasyhuran. Beberapa ulama kawakan pun aktif menghadiri pengajiannya, seperti Ibnu Yasin (murid utama Ibn Arabi), Muhyidin ibn Suraqah, Jamaluddin Usfur, Ibnu Shalah, Taqiyuddin ibn Daqiqil ‘Id dan tak terkecuali Sultanul Ulama (punggawa orang alim) ‘Izzuddin ibn Abdus Salam. Di Mesir inilah Abu Hasan membangun ajaran tarekatnya, Tarekat Asy-Syadziliyyah. Beberapa hizib dan doa sufi ia ciptakan. Ajaran-ajarannya disebarkan oleh murid-muridnya ke pelosok negeri, termasuk murid-muridnya yang masih berada di Tunisia melalui surat-menyurat yang sering dikirimkan Abu Hasan.
******
Suatu malam, Abu Hasan Asy-Syadzili terbangun dari tidur. Ia hampir tak percaya dengan apa yang dilihat dalam mimpinya, Ia memang berkali-kali bermimpi bertemu Rasulullah. Tapi kali ini mimpinya lain. Dalam mimpinya itu, ia menyaksikan Rasulullah memuji-muji dirinya bersama-sama Imam al-Ghazali, Musa dan Yesus. Ia tercenung. Ia memang menyukai ajaran Imam Ghazali, bahkan ia sering mengajarkan ajaran Ghazali itu kepada murid-muridnya. Hanya saja, ia seolah tak percaya Rasulullah mensejajarkan ia dengan Imam yang dikaguminya itu.
Hubungan batin Abu Hasan dengan Imam Ghazali memang terjalin erat, meski masa hidupnya terpaut seratusan tahun dengan Hujjatul Islam itu. Kitab-kitab Imam Ghazali adalah rujukan utama tarekat Asy-Syadiliyyah. “Jikalau kalian memohon sesuatu kepada Allah, sampaikanlah melalui Abu Hamid al-Ghazali,” ucapnya suatu ketika di hadapan murid-muridnya. Di kesempatan yang lain ia memuji-muji karya Imam Ghazali dan Abu Thalib Al Makki. “Kitab Ihya’ Ulum ad-Din, karya al-Ghazali, mewarisi kalian ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki, mewarisi kalian cahaya.” Di kemudian hari, ajaran tarekat Asy-Syadziliyyah memang banyak dipengaruhi oleh dua tokoh sufi itu.
Ciri khas tarekat Asy Syadziliyyah adalah penggemblengan spiritual secara individual. Pengikutnya tidak dibebani dengan ritual-ritual yang memberatkan seperti tarekat-tarekat yang lain. Tarekat ini sebenarnya cocok diikuti oleh masyarakat perkotaan yang sering kali kehabisan waktu jika dituntut ritual tertentu. Ajaran tarekat ini bisa dilakukan sembari menjalankan aktivitas lainnya. Pengikutnya hanya dituntut untuk mewujudkan semangat tarekat dalam kehidupan pribadi dan lingkungannya sendiri. Mereka tidak boleh mengemis dan mendukung kemiskinan. Pantas saja, ciri khas anggota tarekat ini adalah kerapian dalam berpakaian. Ciri semacam ini tentu menarik untuk kalangan kelas menengah, pengusaha, pejabat, dan pegawai negeri.
Pengikut tarekat Asy-Syadziliyyah hanya membaca doa-doa yang disebut hizib. Hizib ini dibaca secara individual. hizb al-Bahr, hizb Nashor, dan hizib al-Hafidzah adalah hizib yang diajarkan Abu Hasan As-Syadzilli. Hizib selain mengantarkan pesona spiritual juga diyakini mempunyai kekuatan magis, terutama jika dibaca selama dalam perjalanan. Alkisah, Ibnu Batutah membaca hizib-hizib itu selama dalam pengembaraannya. Dalam hizib-hisib itulah tercantum ajaran utama tasawuf tarekat Asy-Syadziliyyah. Ia bukan sekadar doa-doa, tetapi juga doktrin sufistik yang mendalam.