Saya membaca satu ayat al-Qur’an atau hadits Nabi terkadang butuh waktu lama untuk bisa memahami dengan benar makna-maknanya, sehingga oleh karena takut salah memahami baik arti, makna, dan maksudnya saya perlu menelaah penafsiran tentang ayat atau hadits itu dari berbagai kitab tafsir atau kitab syarh (yang menjelaskan) hadis, bahkan saya tidak segan untuk bertanya kepada para ahlinya atau dengan senang hati mendiskusikannya.
Saya rasakan memang untuk mampu memahami ajaran agama dengan benar dan mantap itu butuh banyak hal, seperti beragam ilmu yang berkaitan dengannya, kecerdasan, kesabaran, kegigihan, tempat bertanya, teman diskusi yang tepat, dan butuh waktu yang relatif lama. Sedang untuk mengamalkannya amat diperlukan keteladanan dan bimbingan yang terus menerus dari para ahlinya.
Terus terang, selamanya saya tidak mau pernah percaya kepada pemahaman ajaran agama dari siapa saja yang memeroleh ilmu agamanya secara instan dan diperoleh dari nara sumber yang tidak jelas. Saya tidak mudah percaya kepada setiap orang yang ucapannya banyak keliru, argumentasinya tidak kokoh, lebih-lebih bila berisi cercaan kepada orang-orang berilmu (ulama) atau siapa saja, dan perilakunya tidak layak diteladani. Saya amat bersyukur tidak pernah mendapatkan ilmu agama dari mereka itu.
Kini keadaan telah mencemaskan dan memprihatinkan. Betapa berserakan dan dengan mudah dijumpai seseorang yang tidak jelas kepada siapa ia pernah belajar agama tidak pula diketahui telah berapa lama ia pernah mengaji, dan keilmuannya pun tidak dikenal telah teruji, tiba-tiba telah berjuluk “ustadz”, dan bahkan anehnya baru saja ia menjadi “muallaf” yang isi ceramahnya hanya menghujat ajaran agama lama yang pernah dianutnya. Mungkin ia pikir ternyata ceramah agama bisa menjadi profesi baru yang pantas ditekuni karena menjadi ladang “rizki” yang menjanjikan untuk memenuhi hajat hidup dirinya. Mungkin orang yang waras merasa heran dan tak habis pikir, mengapa banyak orang mau bermakmum mengikuti para “ustadz” itu dengan segala kefanatikannya?
Saya mengamati saat ini bahwa dunia keberagamaan umat Islam sudah surplus penceramah agama karena siapa saja boleh biacara apa saja tentang agama. Semua mau bicara, tidak ada lagi yang mau mendengarnya dengan seksama. Sungguh telah nyata ada banyak kekacauan di dalam kita beragama sehingga “para pemabuk agama” itu benar-benar mengganggu keharmonisan hidup bersama kita.
Banyak orang telah “mabuk agama” karena porsi keberagamaan yang mereka telan telah over dosis, menelan apa saja informasi tentang apa saja yang dianggapnya berbau agama tanpa kadar yang pas, tanpa seleksi dan tanpa petunjuk dari orang yang memiliki spesialisasi dan punya otoritas dalam bidang agama. Banyak sekali “ustadz gadungan” yang melakukan mal praktek di bidang sosial keagamaan, sebagaimana mereka yang bukan dokter mengaku sebagai dokter yang berpraktek “menipu” dengan mengobati para pasiennya.
Saat ini betapa mudah dijumpai beberapa “ustadz gadungan” yang dengan seenaknya menjelaskan agama dengan mengutip sepenggal ayat al-Qur’an dengan cara baca yang salah, baik tajwid maupun makhraj-nya, dengan terjemah yang sangat keliru, dengan tafsiran berdasarkan hawa nafsu, dan bahkan dengan berani melakukan tahrif (perubahan) baik terhadap lafal, makna, bahkan terhadap redaksinya.
Semua keburukan di bidang sosial keagamaan kita itu terjadi karena kebodohan dari “sang ustadz” dan para pengikutnya yang tidak disadari dan penyakit arogansi (kesombongan) yang tidak pernah diobati. Ia tersesat dan menyesatkan pemahaman agama umat, sehingga penampilan wajah keberagamaan kita menjadi sangar, menakutkan, jauh dari keselamatan, kasih sayang, dan keberkahan. Keberagamaan dalam bimbingan para “ustadz gadungan” itu bukan membawa manusia memasuki wilayah kemaslahatan, tetapi justru menjerumuskan umat manusia ke dalam lembah kerusakan. Beragama dengan ilmu, cara, dan arahan dari “ustadz” yang keliru itu senyatanya bukan menyelesaikan masalah kemanusiaan, tetapi justru menjadi masalah bagi hubungan kemanusiaan.