Sekarang ini banyak terjadi kasus dimana seseorang dipandang dari kulit luarnya. Baik kasta, agama, materi, aliran, maupun partai politik. Cara pandang yang demikian kerap menimbulkan beberapa masalah, salah satunya mudah melabeli sesat, kafir, bid’ah, syirik, dan lain sebagainya.
Semua masalah ini timbul dikarenakan melihat bajunya saja, dan tidak memandang seseorang sebagai sesama manusia yang juga diciptakan oleh Allah.
Perihal ini Allah pernah menegur Nabi Muhammad saat beliau mengacuhkan seorang tuna netra, Ibnu Ummi Maktum, yang ingin belajar kepada beliau. Peringatan Allah ini tertuang dalam Q.S. ‘Abasa (80) ayat 1-4. Fakhruddin Ar-Razi dalam Tafsir Kabir-nya menjelaskan bahwa asbabun nuzul ayat ini mengisahkan mengenai Ibnu Ummi Maktum yang datang kepada Rasulullah dan menyela pembicaraan beliau. Pada saat itu Nabi Muhammad sedang berkumpul dengan dengan para pembesar kaum Quraisy, Abu Jahal, Utbah bin Rabi’ah, Hisyam bin Rabi’ah’ Abbas bin Abdul Muthallib, Umayyah bin Khalaf dan lainnya.
Karena merasa terganggu dengan kedatangan Ibnu Ummi Maktum, maka Nabi Muhammad pun mengalihkan pandangan dan memasang wajah masam. Karena hal tersebut, turunlah ayat ini dalam rangka mengingatkan kepada Nabi untuk tidak membeda-bedakan dalam memandang seseorang.
Mengapa Nabi melakukan hal tersebut? Quraish Shihab dalam Tafsirnya Al-Misbah menguraikan mengenai alasan tersebut. Quraish menjelaskan bahwa Nabi Muhammad melakukan itu karena lebih berharap kepada keislaman para pembesar Quraisy daripada Ibnu Ummi Maktum. Namun Allah pun memberi wahyu kepada Nabi bahwa keislaman seseorang tidak ada hubungannya dengan Nabi, karena tugas Nabi Muhammad adalah sebagai Rasul, penyampai wahyu. Sehingga kurang patut jika Nabi melakukan hal tersebut.
Mengenai pembahasan konteks ini, Ibnu Kasir sendiri mengungkapkan kesimpulannya dalam karya Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzim. Dirinya menyampaikan bahwa dari ayat tersebut Allah memerintahkan kita sebagai manusia untuk tidak membeda-bedakan dalam memandang seseorang. Baik dari sisi kemuliaan, kekayaan materi, keberuntungan, gender, orang kecil maupun penguasa, semua disamakan. Karena Allah dalam memberi hidayah tidak mengikuti aturan ataupun model siapapun.
Dari sini bisa kita ambil pelajaran bahwa ar-rahman Allah hendaknya bisa menjadi renungan. Ar-Rahman adalah sematan kepada Allah yang melambangkan bahwa Allah memberi rahmat kepada seluruh makhluknya, khususnya manusia, tanpa memandang agama, ras, partai, dan lain sebagainya. Jadi mengapa kita sebagai manusia masih suka menghakimi sesama? Wallahu a’lam.
Miftahuddin, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.