Perihal jabatan, kita seharusnya meneladani Habib Luthfi bin Yahya. Saat diwawancara Tempo, Rais Amm Jamaah Ahlut Thariqah an-Naqsabandiyah ini mengaku bahwa jabatan bukanlah hal sepele, karena jabatan adalah amanah besar yang nanti akan dipertanggungjawabkan di sisi Allah SWT.
“Tapi ini amanat tanggung jawab, bukan sepele. Itu saja,” tutur Habib Luthfi.
Habib Luthfi mengaku bahwa tidak perlu bersyukur karena mendapat jabatan, tetapi bersyukur jika nanti bisa mengemban amanah dengan baik, karena amanah tersebut adalah kepercayaan dan harapan dari segenap bangsa Indonesia.
“Ini bukan (tugas) sepele. Kita mensyukuri kalau berhasil, bukan mensyukuri karena dilantik. Tetapi mensyukuri, negara bangsa ini mesti percaya. Nah mampu nggak kita menjaga kepercayaan itu,” lanjut ulama asal Pekalongan ini.
Pernyataan Habib Luthfi ini senada dengan sebuah hadis yang mengisahkan bahwa jabatan bukanlah sebuah kebanggaan tapi amanah bagi orang yang mampu. Maka dari itu Rasulullah SAW pernah menolak Abu Dzar al-Ghifari saat ia meminta jabatan kepada Rasul. Sayangnya Rasulullah SAW tidak serta merta memberi jabatan kepada Abu Dzar, Rasul malah menasehati Abu Dzar.
Nasehat Rasulullah SAW kepada Abu Dzar ini bisa dibaca kembali dalam Sahih Muslim bab Karahatul Imarah bi Ghairi Dharurah.
عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ تَسْتَعْمِلُنِى قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِى ثُمَّ قَالَ « يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْىٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ فِيهَا ».
Dari Abu Dzar berkata, “Aku berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah tidakkah engkau memberi jabatan kepadaku?” Rasulullah kemudian menepuk pundak Abu Dzar dan bersabda, “Wahai Abu Dzar, engkau ini lemah (dalam memimpin), sedangkan jabatan adalah sebuah amanah yang akan membuat orang yang menerimanya menjadi rendah dan menyesal di hari kiamat kecuali orang yang mendapatkannya dengan benar dan mengerjakannya dengan benar.” (H.R Muslim 4823)
Imam an-Nawawi dalam penjelasannya (syarh) atas kitab Sahih Muslim di atas menjelaskan bahwa hadis tersebut merupakan larangan bagi orang yang tidak mampu untuk menjabat sebagai pejabat. Selain itu disebut menyesal karena mendapatkannya dengan jalan pintas, dan saat menjabat tidak bisa berlaku adil.
Maka dari itu, patut direnungkan, jangan sampai kita menganggap bahwa jabatan adalah gagah-gagahan, karena jabatan bukanlah sebuah hal yang prestis jika tidak dilaksanakan dengan baik. Betul juga kata Habib Luthfi, jabatan adalah amanah yang patut dipertanggungjawabkan. (AN)
Wallahu a’lam.