Bagi generasi yang lahir di tahun 90 an, sangat jarang yang mengikuti secara langsung kiprah Presiden RI ke-4, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Kebanyakan mereka mengenal Gus Dur dari slentingan cerita melalui forum diskusi, seminar, obrolan warung kopi, serta jejak media.
Seperti yang dirasakan oleh Fatma Jauharoh (24). Dia hanya mengingat saat itu Pemerintah Gus Dur meliburkan sekolah selama sebulan sewaktu puasa, dan itu cukup membuatnya senang. Fatma mengenang Gus Dur sebagai sosok pemimpin yang mampu menyampaikan pesan dengan asyik, menggunakan bahasa yang membumi, tidak menggurui, mudah dipahami dan suka humor.
Buku biografi Gus Dur yang paling lengkap dan internasional best seller adalah yang ditulis oleh Greg Barton (The Authorized Biography Of Abdurrahman Wahid). Sementara untuk melacak jejak pemikirannya, dengan sangat mudah kita bisa menemui para sahabat dan muridnya secara langsung, serta membaca berbagai literatur yang ditulis oleh Gus Dur sendiri. Seperti buku Islamku Islam Anda Islam Kita, Prisma Pemikiran Gus Dur, Kiai Nyentrik Membela Pemerintah, hingga Tuhan Tidak Perlu Dibela. Buku-buku tersebut adalah hasil buah pemikiran Gus Dur yang bertebaran di media dan makalah-makalah di seminar.
Gus Dur kecil memiliki nama lengkap Abdurrahman Ad-Dakhil, lahir 4 Agustus 1940, walaupun versi lain menyatakan tanggal 7 September. Nama Ad-Dakhil belakangan diganti dengan Wahid (mengikuti nama depan ayahnya, KH. Wahid Hasyim), karena lebih populer.
Dari jalur ibu, Nyai Solichah, Gus Dur memiliki kakek yang bernama K.H. Bisri Syansuri. Beliau adalah pengasuh pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Sementara kakek dari jalur ayah, yakni K.H. Hasyim Asyari, adalah tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU), ormas Islam terbesar di Indonesia saat ini.
Ketika usia 12 tahun, Gus Dur sudah ditinggal wafat ayahnya karena kecelakaan di jalan menuju kota Bandung. Seketika itu, pendidikannya diambil alih oleh ibunya. Pada tahun 1954 Gus Dur masuk ke Sekolah Menengah Pertama, lalu ibunya mengirimnya ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikan dengan mengaji kepada KH. Ali Maksum di Pondok Pesantren Krapyak sambil sekolah SMEP. Lulus dari SMEP, Gus Dur pindah ke Magelang untuk belajar di Pesantren Tegalrejo.
Seusai dari Tegalrejo, pada tahun 1959, Gus Dur pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Karena kecerdasan dan daya tangkapnya yang kuat, pada tahun 1963, Gus Dur menerima beasiswa dari Kementerian Agama untuk belajar Studi Islam di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir. Selama dua tahun di Mesir waktunya lebih banyak dihabiskan dengan jalan-jalan, menonton film, dan membaca di perpustakaan. Tidak puas mengembara ilmu di Mesir, pada tahun 1964, Gus Dur lalu berpindah ke Baghdad. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970, Gus Dur kemudian melanjutkan petualangan ke Belanda, Jerman dan Perancis sebelum kembali ke Indonesia tahun 1971.
Mulai sejak kecil, Gus Dur sudah terbiasa dengan lingkungan yang beragam. Ketika di Yogyakarta, Gus Dur dititipkan oleh ibunya kepada tokoh Muhammadiyah, Kiai Junaidi. Di SMEP, Gus Dur juga sangat akrab dengan gurunya yang beragama Katolik. Darinya, ia dikenalkan dengan banyak buku, mulai dari karya Lenin ‘What is To Be Done’, Das Kapital-nya Karl Marx, karya-karya penulis terkenal seperti Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner.
Gus Dur remaja adalah sosok yang gemar membaca dan haus akan ilmu pengetahuan. Ketika menginjak usianya dewasa, ia mengembara ke Timur Tengah bahkan sampai ke Eropa. Ilmu yang dipelajarinya pun beragam, mulai dari klasik, modern, hingga post modern. Hal ihwal inilah yang membentuk cakrawala pemikiran Gus Dur begitu kaya, sehingga dalam melihat segala persoalan ia tidak mudah menghakimi dan menyesat-nyesatkan.
Pulang ke Indonesia
Setelah kembalinya dari Eropa, Gus Dur diajak bergabung oleh Dawam Rahardjo di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) bersama dua sahabat lainnya, Aswab Mahasin dan Adi Sasono. Dari sini, ia meneruskan kariernya sebagai seorang penulis untuk majalah dan surat kabar. Namanya pun banyak dikenal sebagai seorang intelektual karena pemikiran dan daya kritisnya dalam melihat persoalan. Mulai dari kebangsaan, politik, pesantren, keislaman, hingga sepak bola.
Tidak hanya sebagai seorang intelektual an sich, Gus Dur juga bergerak sebagai aktivis. Bersama Arief Rahman, Rahman Tolleng, Marsilam Simanjuntak, dan Bondan Gunawan, ia bergabung di Forum Demokrasi (Fordem) sebagai bentuk perlawanannya terhadap rezim Orde Baru yang otoriter. Bersama Romo Mangunwijaya, Gus Dur juga melakukan pendampingan terhadap korban pembangunan di waduk Kedung Ombo. Dalam pandangan Antonio Gramsci (1891-1937), Gus Dur masuk kategori intelektual organik. Seorang cendekiawan yang tidak hanya duduk di menara gading, namun juga bergerak melakukan perubahan sosial.
Semasa hidupnya, Gus Dur mewakafkan dirinya untuk kepentingan dalam tiga skala besar; Islam, Indonesia, dan NU. Sebagai orang Islam, Gus Dur menyebarkan agama yang rahmatan lil ‘alamin. Pembelaannya kepada kaum yang termarginalkan, seperti Syiah, Ahmadiyah, Tionghoa, Inul, Dorce, bahkan sampai mengadvokasi kasus Kedung Ombo, adalah manifestasi islam yang dipandang oleh Gus Dur. Membebaskan dan merahmati semua.
Dalam bingkai Indonesia, Gus Dur memperjuangkan demokratisasi dan kemanusiaan. Pada Mei 2008 Gus Dur dianugerahi Medals of Valor dari The Simon Wieenthal Center di Amerika Serikat karena kegigihannya memperjuangkan pluralisme dan perdamaian.
Kiprahnya sebagai tokoh Indonesia sangat menentukan pada saat-saat bangsa Indonesia menghadapi situasi-situasi yang sulit. Diakui, hal yang paling ditakutkan oleh Gus Dur adalah perpecahan. Dalam prinsip perjuangannya selalu menggunakan cara-cara yang damai dan menolak kekerasan.
Sementara di wilayah Ke-NU-an, Gus Dur meneruskan perjuangan kakeknya, KH. Hasyim Asy’ari dengan memperjuangkan Pancasila sebagai dasar ideologi negara, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan UUD 1945. Semuanya itu yang kemudian mencerminkan sikap tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), i’tidal (bersikap adil), dan tawazun (berimbang).
Sebuah kaidah yang selalu menjadi pijakan oleh Gus Dur sebagaimana juga pendiri NU yang lain; “almuhafadhah ala qadim al-shalih wal akhdzu bil jadid al-ashlah“. Dalam hal ini, pendapat Quraish Shihab menyatakan, Gus Dur adalah seseorang yang berpijak di bumi Indonesia, melihat ke depan tetapi di saat yang sama tidak pernah tidak menoleh ke belakang.
Setelah Soeharto lengser, Gus Dur terlibat di politik dengan mendirikan PKB, dan pada 20 Oktober 1999, ia terpilih sebagai Presiden RI. Sayang, masa kepresidenannya hanya berlangsung 18 bulan akibat pertentangan politik dengan DPR/ MPR.
Namun masa yang sebentar itu telah meletakkan pondasi yang kuat bagi demokrasi di Indonesia. Gus Dur mampu menancapkan supremasi sipil terhadap militer. Selain itu, Gus Dur lah peletak pertama visi ekonomi kelautan dan kemaritiman.
Setelah keluar dari istana, Gus Dur tetap melakukan aktivitas seperti biasanya sebelum menjadi presiden. Aktif menulis, seminar, mengajar pesantrennya di Ciganjur, memberikan ceramah pengajian di masyarakat bawah. Banyak orang menemui hanya untuk meminta nasihat dan dukungan dan doa layaknya seorang kyai. Gus Dur wafat pada 30 Desember 2009 di RSCM dan dimakamkan di Tebuireng Jombang.
Ia menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat putri: Alissa Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh, Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari. Dan keempat putrinya inilah yang sampai sekarang mewarisi pemikiran serta melanjutkan perjuangan KH. Abdurrahman Wahid. Wallahhu a’lam.
*Tulisan ini sebelumnya dimuat di Beritagar.id hasil kerjasama dengan Islami.co