Banyak yang melihat bahwa terwujudnya persatuan di bangsa ini adalah anugerah Ilahi. Keragaman kultur bangsa kita bukan hanya satu dua. Belum lagi, perbedaan agama dan aliran-alirannya. Oleh sebab itu, warisan penting bangsa ini harus selalu dipelihara dan dijaga dengan baik oleh generasi sekarang dan kedepan bangsa ini.
Gerakan berlatar belakang agama dan berujung pada persatuan anak bangsa adalah resolusi jihad. Gerakan yang berujung kematian jendral WS. Mallaby ini secara simbolik adalah gerakan keagamaan. Namun, apabila dilihat dari sisi substansinya, semangat kebangsaan dan persatuan adalah nilai-nilai yang menggelora pada diri anak bangsa pada waktu itu.
KH. Hasyim Asy’ari dengan HOS Tjokroaminoto telah menyepakati harmonisasi antara agama dan negara. Namun, dilihat dari fatwa yang Kyai Hasyim keluarkan menunjukan simbol agama dalam membangun gerakan perlawanan tersebut. Itulah mengapa disebut sebagai gerakan agama.
Selanjutnya, simbolisasi agama untuk kepentingan bangsa terlebur dalam sumpah setia para pemuda pada acara Sumpah Pemuda. Perbedaan menjadi kenyataan yang tidak sepatutnya dijadikan sebagai alasan mereka untuk tidak bersatu dalam upaya mengusir para penjajah negeri ini.
Disepakatinya Pancasila dan dihapusnya Piagam Jakarta adalah kesediaan umat islam untuk menjadi setara dengan penganut keyakinan yang lainnya. Tidak ada kelompok yang harus dispesialisasikan di negara ini. Semuanya adalah setara. Keputusan ini adalah pondasi penting bagi berlangsungnya cita-cita persatuan yang sudah menjadi kesepakatan anak bangsa.
Singkatnya, pada era perlawanan terhadap penjajah, masyarakat Indonesia pada mulanya telah melakukan berbagai perlawanan dengan caranya masing-masing dan sangat dimungkinkan dengan tujuan untuk membela kelompoknya sendiri. Dengan adanya Sumpah Pemuda, segala bentuk perlawanan didasari atas kesadaran persatuan dari berbagai perbedaan untuk tujuan kemerdekaan bersama.
Franz Magnis Suseno (2013) menyebutkan ada ancaman bagi kesatuan bangsa Indonesia. Ancaman itu justru muncul dari dalam bangsa ini bukan dari luar. Ancaman yang dimaksud adalah konsumerisme dan fatalisme agama. Dalam hal ini, perspektif agama yang akan menjadi fokus pembicaraan dalam tulisan ini.
Kita pasti masih ingat ketika MUI mengeluarkan fatwa sesatnya pluralisme. Fatwa tersebut jelas sangat disayangkan. Kesadaran akan keberagaman justru justru mengalami jegalan dari agama yang pada masa perjuangan telah selesai bahkan pada waktu detik-detik proklamasi dengan legowo menghilangkan duri kesombongannya sebagai mayoritas.
Pemandangan yang kita saksikan, ketika yang digelontorkan adalah isu agama, maka jagad dunia ini seolah bergemuruh sangat ramai. Kita berebut untuk berbicara dengan kepentingan-kepentingan lainnya yang sengaja ditutupi. Seolah yang kita bicarakan murni membela agama.
Anehnya, dalam menanggapi, kita justru berposisi menghakimi bukan mencari motif dan solusi. Dalam istilah yang digunakan oleh Magnis Suseno, nilai-nilai kemanusiaan, kebudayaan, dan kebangsaan sudah tidak berarti sama sekali. Sikap seperti ini justru merupakan cara yang dikritik habis-habisan oleh agama itu sendiri.
Mengapa dikritik? Karena cara menghakimi adalah bentuk penyelesaian konflik komunitas masyarakat yang menggunakan hukum rimba, siapa yang kuat dialah yang menang, yang sifatnya adalah subjektif bukan objektif. Serta gaya menghakimi adalah lebih bersifat fanatik pada kelompok bukan pada kebenaran itu sendiri. Bukankah fanatisme kelompok (ta’ashshub) menjadi sasaran kritik tajam Nabi pada waktu itu?
Timur tengah yang semestinya menjadi pelajaran untuk membenahi nilai-nilai kebangsaan kita justru lebih sering dijadikan parade yang mengkerdilkan nilai-nilai agama itu sendiri. Bukankah kehancuran beberapa negara di timur tengah akibat isu-isu agama yang telah disempitkan maknanya oleh sebagian pemeluknya?
Bukan hanya timur tengah sekarang, sejarah perpecahan yang terjadi pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan hingga beberapa rezim setelahnya semestinya patut untuk dijadikan contoh bagaimana agama supaya tidak menjadi ancaman bagi keberlangsungan hidup yang pasti diwarnai keberagaman.
Sementara ini, memberhentikan politisasi agama dan tidak mendekati lingkaran kekuasaan dengan simbol-simbol agama adalah solusi yang harus ditempuh. Bahkan, perlu kiranya bagi yang berkuasa menghentikan istilah-istilah perda syariah dan istilah lainnya yang mencirikan kelompok tertentu. Sebab, istilah tersebut justru menunjukan spesialisasi kepada sebagian masyarakat bangsa ini.