Tiga tahun terakhir, geliat gaya hidup dan tren produk berlabel islami dari diet sampai tawaran tour wisata sedang naik-naiknya di negeri ini. Bahkan tidak hanya sebatas embel-embel islami saja yang diincar, sekarang semua produsen juga berlomba-lomba untuk mengejar cap halal untuk produk andalan mereka seperti kulkas dan jilbab.
Fenomena religiusitas yang ditonjolkan melalui berbagai simbol produk barang & jasa sayangnya malah berujung buah simalakama. Beberapa waktu lalu, oknum MUI yang mengeluarkan sertifikasi ‘halal’ pada suatu produk dituding melakukan korupsi & memeras pihak pebisnis.
Kong-kalikong antara pihak-pihak yang kurang bertanggungjawab tersebut berkaitan dengan dampak positif yang diperoleh pengusaha ketika produknya dicap halal atau islami. Sebab, berdasarkan penelitian akademisi di negara-negara mayoritas muslim, labelisasi religius pada suatu produk barang dan jasa akan mempengaruhi kecenderungan perilaku konsumen untuk membeli apa yang ditawarkan. Oleh karenanya, banyak enterpreneur (meski produknya bukan barang konsumsi) rela menghabiskan waktu dan uang yang tidak sedikit untuk memperjuangkan titel halal ini.
Lucunya, gejala sosial tadi membuat banyak muslim, apalagi yang pemahaman Islamnya kurang, semakin berpikiran sempit, bahwa barang bukan konsumsi yang kurang label halalnya bisa dicap haram dan disebut-sebut kurang afdol. Utamanya, berlaku pada paket wisata, teknik pengobatan, dan sebagainya.
Contoh kecil saja, ketika muslim kekinian ditanya pengobatan islami, sebagian besar mungkin akan menjawab bekam. Ketika ditanya tour paket islami, mungkin akan mengarah ke negara-negara di wilayah Teluk, seperti Dubai, Turki, dan lainnya. Lalu, apakah ketika seorang ibu melakukan operasi caesar, apakah itu kurang islami karena zaman Nabi dulu tidak ada istri Nabi yang pernah melahirkan dengan di-caesar?
Kemudian, saat kita pergi ke Amerika, Jepang atau Korea Selatan, apakah otomatis iman kita akan berkurang karena karena sedikitnya masjid dan mayoritas penduduk mereka non-muslim? Bukankah seluruh bumi milik Allah dan hidayah juga bisa datang kapan dan dimana saja?
Mungkin gambaran sekilas tadi terlihat sepele, namun ketertutupan cara pandang ini dikhawatirkan bukan membuat orang menjadi berpandangan visioner, malah membuat orang semakin menengok ke ‘belakang’. Sedikit-sedikit bertanya, “ini dicontohkan di era Nabi, bukan?” atau “Rasul zaman dulu memakan ini tidak?”
Walaupun dalam konteks tertentu pemberian label islami dan halal memang penting, namun ketika sudah dikomersialkan dan membuat orang enggan berinovasi, hal itu justru menjadi kemunduran besar dalam dinamika peradaban Islam.
Di saat non-muslim sudah berlomba-lomba untuk menciptakan banyak penemuan untuk memudahkan alur kehidupan kita, dari menciptakan mesin pencari Google hingga berusaha merancang mobil ramah lingkungan, umat Islam masih saja berkutat dengan boleh tidaknya menggunakan sosial media yang pemiliknya kafir, atau bisa tidak perempuan menyetir mobil ke luar rumah.
Lalu, di kemudian hari ketika CEO perusahaan besar yang produknya kita konsumsi, mendukung kebijakan zionis Israel dan mempromosikan perilaku yang diharamkan Islam. Kita mendadak latah untuk memboikot dan melarang penjualannya. Nah, sekarang pertanyaannya adalah: kenapa umat Islam tidak berusaha untuk menguasai pasar dan bergerak di ranah sosial ekonomi yang luas itu? Jika umat Islam masih anti-anti teknologi club dan hanya berperan sebagai pengguna semata, ya jangan salahkan bila mereka tidak mempromosikan nilai-nilai Islam yang kita anut.
Padahal jika mau dinalar, segala sesuatu yang sesuai dengan tujuan Islam, baik untuk menggerakkan dakwah serta menginternalisasi nilai-nilai Islam bisa disebut islami, mau itu pembuatnya atheis sekalipun. Youtube atau Instagram misalnya, CEO-nya bukan muslim, apakah seluruh muslim harus menolak? Tentu tidak, bukan? Karena dari media tersebut, umat bisa mengakses konten dakwah dan pengajian dengan lebih mudah.
Apa yang disebut islami juga berkaitan dengan sistem nilai, prinsip-prinsip Islam dan jaringan interaksi. Sehingga, segala hal yang tidak dilakukan di zaman Nabi tidak bisa serta merta dilabeli kurang islami. Di samping itu, kita perlu memperhatikan kondisi kita pribadi masing-masing.
Seorang muslim justru tidak dianjurkan banyak minum madu dan makan kurma ketika dia menderita diabetes. Padahal keduanya digadang-gadang sebagai menu utama dalam diet yang dikatakan islami. Ketika ia bersikeras mengonsumsinya dengan alasan mengikuti diet islami, salah kaprah ini justru malah akan menimbulkan lebih banyak kemudaratan dibandingkan kemanfaatan.
Jadi, apa yang dilabeli islami bukan hanya sebatas apa yang dipakai dan digunakan Nabi, tapi juga perlu mempertimbangkan tujuan, hakikat, prinsip-prinsip Islam secara universal dan komprehensif. Bukan sekadar latah mengikuti gaya hidup atau terlalu takut karena dianggap muslim yang kurang kaffah.
Wallahu a’lam.