Imam al Ghazali pernah nyantri pada ulama besar Imam Abi Nasr al Ismaili. Pada saat menjadi anak didik ulama Jurjan itu, Imam al Ghazali selalu mencatat penjelasan dari gurunya.
Al kisah pada suatu hari Imam al Ghazali pulang ke kampung halamannya di Thus, Persia dengan membawa bekal serta catatan-catatan dan juga kitab-kitabnya. Di tengah perjalanan Imam Ghazali dicegat oleh para begal. Mereka ingin mengambil semua barangnya tak terkecuali buku catatan dan kitab-kitabnya. Kalau tidak diberikan maka ancamannya adalah dibunuh.
Maka dirampaslah semua yang dibawa Imam Ghazali. Setelah mendapatkan semuanya, gerombolan perampok itu pergi. Namun imam Ghazali ternyata tidak berhenti di situ saja tekadnya untuk mendapatkan kembali catatan dan kitab-kitanya. beliau membuntuti para perampok itu. “ Kembalilah. Engkau jangan membuntuti kami lagi. Jika terus begitu maka kami tidak segan-segan membunuhmu,” bentak kepala perampok.
“Saya hanya ingin meminta agar buku catatan saya ketika belajar dikembalikan. Sebab buku catatan tersebut sangat berharga bagi saya. Silakan kalian ambil semua barang yang ada, tetapi jangan kitab dan catatan saya,” ujar Imam Ghazali.
Mendengar hal itu para perampok tertawa dan mencibir. Salah satu diantaranya kemudian berkata,”Bagaimana kamu mengaku bahawa dirimu orang alim dan menguasai ilmu pengetahuan yang ada dalam kitab dan catatanmu. Ketika keduanya kami ambil kamu merasa tidak mempunyai ilmu dan menguasainya sama sekali. Ternyata ilmu kamu adanya di kitab dan catatan-catatan. Seandainya keduanya tidak ada ternyata kamu bukanlah orang yang berilmu.”
Perkataan itu sangat menancap dalam hati Imam Ghazali. Setelah itu Imam Al Ghazali bertekad untuk memahami dan menghafal catatan dan kitab-kitab koleksinya kemudian menyimpan dalam hatinya. Hal ini dilakukannya selama tiga tahun. Apa yang dilakukannya ini ternyata sangat berguna ketika Imam Al Ghazali menjadi santri di madrasah Nizamiyah. Ia sudah bnanyak memahami dan hafal kitab-kitab yang diajarkan di madarah yang kesohor itu.