Ibnu Khaldun merupakan satu-satunya pemikir muslim yang mencoba menuliskan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan dalam Islam dengan nalar yang cukup kritis. Ketika kita membaca kitab al-Muqaddimah, terutama ulasan-ulasan mengenai ilmu pengetahuan, akan terkesan bahwa beliau seolah menguasai semua bidang-bidang keilmuan yang dituliskannya. Dan menariknya lagi, catatan-catatan kritis selalu dapat kita temukan di sela-sela ulasan-ulasan epistemiknya ini.
Atas dasar ini, selain sebagai Bapak Sosiologi Arab, bolehlah kita menganggap bahwa Ibnu Khaldun adalah seorang epistimolog hebat. Hal demikian karena ulasan epistemiknya serta catatan-catatan kritisnya tentang ilmu pengetahuan yang berkembang sampai ke masanya sangatlah menarik decak kagum, bahkan beliau tampak seolah seperti berani merobohkan bangunan sakralitas keilmuan yang dianggap suci oleh sebagian besar umat Islam saat itu. Contohnya ialah soal tradisi literasi atau tradisi penulisan di kalangan sahabat Nabi.
Menurut pemikiran yang berkembang di masanya, ortografi Arab di kalangan sahabat nabi sudah mencapai puncak kesempurnaannya. Jadi rasam yang mereka tuliskan cukup merefleksikan kesempurnaan tulisan mereka. Padahal kata Ibnu Khaldun, tradisi tulis menulis tidak cukup berkembang di era awal-awal Islam. Ortografi yang tidak begitu bagus di kalangan orang-orang Arab ini mendapatkan penjelasannya yang unik dalam bab Fasl al-Khott wal Kitabah dalam kitab al-Muqaddimah.
Ibnu Khaldun berpandangan bahwa orang-orang Arab di Hijaz baik di era Jahiliyyah maupun di era awal-awal Islam dikenal sebagai bangsa yang buta huruf atau ummiyy. Terkenalnya mereka dengan sebutan ini menunjukkan bahwa mereka saat itu ialah bangsa yang sangat jauh dari peradaban, terutama peradaban tulis. Sementara itu, peradaban itu sendiri tentunya harus dibangun di atas pondasi literasi atau tradisi tulis menulis yang bagus, dan sayangnya aspek ini tidak dimiliki bangsa Arab baik di era Jahiliyyah maupun di era awal Islam.
Salah satu contoh dari kurangnya tradisi literasi yang bagus di kalangan orang-orang Arab di masa awal Islam ini dikemukakan oleh Ibnu Khaldun pada bagaimana para sahabat Nabi banyak menyalahi kaidah penulisan Arab dalam menuliskan ar-rasm al-utsmani.
Ibnu Khaldun menegaskan bahwa penulisan Rasm Utsmani oleh generasi sahabat Nabi ini dinilai telah banyak menyalahi aturan penulisan yang lazim di kalangan orang-orang Arab terpelajar di masa itu. Misalnya pada ayat Al-Qur’an yang berbunyi la’azbahannahu (sungguh aku akan menyembelihnya) ditulis di dalam rasam Al-Qur’an dengan menambahkan alif pada la-nya yang seolah dibaca panjang. Penambahan y pada lafal bi-ayydin juga dinilai sebagai telah menyalahi ortografi Arab yang benar. Kelemahan dalam ortografi di kalangan para sahabat Nabi di masa ini sebenarnya amat diwajari oleh Ibnu Khaldun mengingat bahwa mereka merupakan bangsa yang ummi dan jauh dari kebudayaan yang menjunjung tinggi tradisi tulis. Ibnu Khaldun menegaskan demikian:
كان الخط العربي لأول الإسلام غير بالغ إلى الغاية من الإحكام والإتقان والإجادة، ولا إلى التوسط، لمكان العرب من البداوة والتوحش وبعدهم عن الصنائع. وانظر ما وقع لأجل ذلك في رسمهم المصحف حيث رسمه الصحابة بخطوطهم، وكانت غير مستحكمة الإجادة، فخالف الكثير من رسومهم ما اقتضته صناعة الخط عند أهلها، ثم اقتفى التابعون من السلف رسمهم تبركا بما رسمه أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم، وخير الخلق من بعده، المتلقون لوحيه من كتاب الله وكلامه، كما يقتفى لهذا العهد خط ولي أو عالم تبركا، ويتبع رسمه خطأ أو صوابا.
“Ortografi Arab di masa awal-awal Islam belum mencapai tahap kesempurnaan. Hal demikian karena orang-orang Arab saat itu masih belum mengenal peradaban dan bahkan jauh dari ilmu pengetahuan. Kita dapat melihat contoh seperti ini pada rasm yang ditulis oleh para sahabat Nabi. Tulisan mereka terkesan tidak rapi dan kurang bagus dan bahkan menyalahi tradisi penulisan yang dikenal di kalangan para ahlinya. Sayangnya generasi tabiin ikut-ikutan menulis mushaf persis seperti para sahabat nabi dengan tujuan mengalap berkah. Para tabiin melakukan demikian berangkat dari keyakinan bahwa para sahabat ialah manusia terbaik pasca Nabi Muhammad SAW. Fenomena seperti ini hampir mirip di zaman kita sekarang dimana sebagian orang banyak yang mengikuti gaya penulisan seorang wali atau seorang ulama terkenal dengan tujuan mengalap berkah (karena mengikuti sunnah mereka). Mereka tidak pernah memperhatikan apakah tulisan itu benar atau salah (yang penting mirip).”
Dengan menolak sebagian pandangan ulama yang mengklaim tanpa nalar kritis bahwa tulisan para sahabat Nabi dianggap sebagai tulisan yang bagus, Ibnu Khaldun menegaskan bahwa kelebihan para sahabat Nabi bukan pada soal bagus atau tidaknya tulisan tapi lebih kepada bahwa merekalah yang pertama kali menerima ajaran wahyu dari Nabi secara langsung.
ولا تلتفتن في ذلك إلى ما يزعمه بعض المغفلين من أنهم كانوا محكمين لصناعة الخط، وأن ما يتخيل من مخالفة خطوطهم لأصول الرسم ليس كما يتخيل بل لها وجه. ويقول في زيادة الألف في “لا أذبحنه” أنه تنبيه على أن الذبح لم يقع، وفي زيادة الياء في “بأييد” أنه تنبيه على كمال القدرة الربانية، وأمثال ذلك مما لا أصل له إلا التحكم المحض. وما حملهم على ذلك إلا اعتقادهم أن في ذلك تنزيها للصحابة عن توهم النقص في قلة إجادة الخط…
“Kita tidak perlu menghabiskan energi untuk mengikuti pandangan orang-orang yang kurang kritis yang menilai ortografi para sahabat sudah sangat bagus. Selain itu, tidak perlu pulalah kita ikut menganut pandangan orang yang mencari-cari justfikasi bahwa ketidaksesuaian ortografi mereka dengan tulisan Arab pada umumnya tentunya memiliki alasan tersendiri. Misalnya orang-orang itu mengatakan bahwa adanya penambahan alif pada lafal la azbahannahu (an-Naml: 21, 22) dapat diartikan sebagai tidak terjadinya penyembelihan burung Hud-Hud. Selain itu, adanya penambahan y pada lafal bi-ayydin dapat ditafsirkan sebagai kesempurnaan kekuasaan Tuhan. Contoh-contoh lain yang semisal dengan alasan mengada-ada ini sebenarnya tidak didukung oleh argumentasi yang kuat, bahkan mungkin pemaknaan seperti ini hanya asumsi belaka. Dan asumsi ini dilandasi oleh keyakinan keliru yang mengglorifikasi para sahabat nabi sampai-sampai mereka terlepas dari kekurangan, terutama soal ortografi.”
Dalam kutipan ini, Ibnu Khaldun menilai bahwa rasam uthmani yang merupakan warisan generasi sahabat nabi tidak luput dari kesalahan secara ortografis. Ayat-ayat yang di dalamnya terdapat penulisan yang kurang lazim dikenal di kalangan ahli ortografi Arab saat itu – seperti la’azbahannahu yang ditulis dengan lam beralif yang jika dibaca menurut versi ortografisnya yang benar akan terbaca laa panjang dan berarti ‘tidak’ serta lafal bi-ayydin yang ditulis oleh para sahabat dengan y ganda – merupakan bukti bahwa para sahabat Nabi bukanlah orang yang pandai menulis.
Meski memaklumi itu sebagai kekurangan dan kelemahan, Ibnu Khaldun tetap melihat kelemahan ini sebagai tidak mengganggu keluhuran agama dan moral para sahabat nabi. Ibnu Khaldun menegaskan bahwa kekurangan dan kelemahan keterampilan menulis ini lahir dari masyarakat yang kurang secara matapencaharian dan orang-orang Arab di wilayah Hijaz termasuk dalam kategori ini terutama di era sahabat.
Lebih jauh lagi, Ibnu Khaldun malah mengkritik orang-orang yang kurang begitu kritis melihat fenomena seperti ini sehingga baginya mereka ini terjebak dalam glorifikasi terhadap para sahabat nabi, padahal mereka lemah dalam keterampilan menulis karena soal yang sifatnya kebudayaaan.
Bersambung