Di Indonesia, istilah nikah siri (nikah siri) sangat populer. Untuk itu, sebelum kamu menggunakan istilah ini, kamu harus tahu dulu 5 hal berikut:
Pertama, Nikah siri bukan Pranata
Nikah siri bukanlah suatu sistem tingkah laku resmi (pranata) di tengah masyarakat yang dilembagakan dalam ketentuan hukum perkawinan. Ia hanyalah penamaan non-formal untuk menyebut peristiwa pernikahan yang tidak dilakukan oleh atau di bawah Pengawasan Kantor Urusan Agama (KUA) yang berwenang.
Nikah siri marak terjadi karena Undang-Undang Perkawinan memberikan standar keabsahan nikah pada keterpenuhan hukum masing-masing agama dan kepercayaan.
Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan:
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”
Karena muncul asumsi hukum agama sudah terpenuhi, maka nikah siri banyak terjadi. Padahal, kapanpun akad nikah dilakukan, warga negara terikat oleh ketentuan bahwa pernikahan itu harus dicatatkan di instansi yang berwenang.
Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan:
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Kedua, Menurut Fikih, Nikah Siri Bukan Nikah Tidak Tercatat
Jika dipahami secara a contrario dari ketentuan di atas, maka pengertian nikah siri yang kerap digunakan di tengah masyarakat, adalah pernikahan yang tidak dicatat sesuai peraturan perundang-undangan.
Sekalipun ada catatan surat kesepakatan antara pihak-pihak yang melakukan akad nikah siri, namun pernikahan itu tetap disebut sebagai nikah siri karena tidak dicatat sesuai ketentuan hukum.
Jika dilihat dari rujukan hukum Islam yaitu kitab-kitab seputar fikih munakahat, istilah nikah siri ditemukan, namun bukan dalam pengertian nikah yang tidak dicatatkan.
Nikah siri dalam tradisi keilmuan Islam (fikih), adalah nikah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Ulama sepakat menghukumi nikah semacam ini tidak sah.
Namun mereka berbeda pendapat, mengenai standar sembunyi-sembunyi itu. Imam Syafi’I dan Abu Hanifah, mematok dua orang saksi untuk mengeliminasi status sembunyi-sembunyi.
Sementara Imam Malik, mematok standar pengumuman secara terang-terangan dan tidak ada indikasi yang mengarah kepada tindakan melarang mengumumkan.
Sebagai gambarannya, jika akad nikah disaksikan dua orang saksi, lalu mereka disuruh untuk menyembunyikan kesaksiannya, maka akad nikah sah menurut Imam Syafii dan Abu Hanifah, tetapi tidak sah menurut Imam Malik.
Sebaliknya, Imam Malik memandang, sekalipun tidak ada orang yang khusus didudukkan sebagai saksi nikah, namun jika akad itu diumumkan (إعلان\إشهار) secara terang-terangan, dan tidak ada upaya menyembunyikan (كتمان), maka akad nikah itu sah.
(Lihat dalam Al Qurthubi, Al Jami’ li Ahkam al Quran, Juz III, Beirut: Muassasah Ar Risalah, 1427 H/2006 M, hlm. 472)
Ketiga, Diperselisihkan Keabsahannya.
Keabsahan nikah siri dalam pengertian nikah yang tidak tercatat sesuai hukum, diperselisihkan oleh para ilmuan dan praktisi hukum Islam di Indonesia. Kalangan yang menyatakan tidak sah berargumen bahwa pencatatan nikah itu hukumnya wajib, sehingga pencatatan dianggap rukun, karenanya nikah siri tidak sah. Selain memang nikah siri mengandung banyak mafsadat.
Sementara yang menyatakan sah berargumen bahwa pencatatan nikah tidak bisa jadi rukun nikah, sehingga tidak mempengaruhi keabsahan akad nikah. Sejauh nikah siri sudah dilakukan dengan wali, dua saksi, dan ada ijab kabul yang benar, meskipun tidak dicatatkan, hukumnya sudah sah, karena ketentuan hukum agama yang menjadi standar dalam undang-undang sudah terpenuhi.
Pencatatan nikah harus diposisikan sebagai kewajiban yang timbul akibat akad, seperti halnya mahar. Dan bukan kewajiban yang dibutuhkan untuk menimbulkan akad, seperti halnya wali.
Keempat, Istri adalah Pihak yang Paling Dirugikan
Meski ada yang menyatakan nikah siri sah, namun tetap saja istri adalah pihak yang paling dirugikan. Sebab tidak ada dokumen otentik yang dapat diajukan sebagai bukti untuk menuntut hak di muka hukum.
Jika terjadi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), penelantaran, tidak dinafkahi, perceraiaian, harta bersama, hak asuh anak, pengakuan dan pengasuhan, serta nafkah anak, semuanya tidak akan dapat dituntut secara litigatif lantaran tidak ada bukti yang menunjukkan adanya hubungan hukum berupa ikatan perkawinan.
Untuk itu, kaum perempuan, pahamilah konsekuensi ini sebelum kamu merelakan diri untuk dinikahi secara siri.
Kelima, Masih Mungkin Diurus di Pengadilan Agama
Jika sudah terlanjur menikah secara siri, masih ada peluang untuk memperoleh akta nikah. Peluang itu bernama Permohonan Itsbat Nikah. Permohonan Itsbat Nikah diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal pihak itu.
Pastikanlah akad nikah dulu telah memenuhi syarat dan rukun nikah. Perhatikan pula ada tidak larangan nikah yang dilanggar. Termasuk status saat menikah dulu, janda-duda atau gadis-perjaka. Siapkan akta kematian untuk janda-duda karena kematian, dan akta cerai untuk janda-dua karena perceraian.
Peluang dikabulkan atau tidak permohonanmu, itu sepenuhnya tergantung fakta yang terungkap, yang dinilai oleh hakim dengan segenap keilmuan hukum yang dimiliknya.
Jika sudah memahami seluk beluk nikah siri sedemikian ini, maka seyogianya setiap warga negara mengikuti aturan hukum pencatatkan nikah di KUA.
Wallahu a’lam.