Pernikahan menjadi hak setiap orang. Negara menjamin warga negara untuk membentuk rumah tangga melalui perkawinan yang sah. Negara pun telah mengatur bagaimana agar sebuah perkawinan dapat dilakukan secara sah.
Bukan hanya itu, negara juga menata aturan agar semua pernikahan dicatat. Sehingga jalinan pernikahan itu memiki perlindungan hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Untuk tercapainya sebuah akad nikah yang sah, negara mengakomodasi ketentuan yang ada dalam hukum Islam (fikih). Akad nikah harus dilakukan oleh wali yang sah, disaksikan dua orang saksi laki-laki, ada mempelai yang akan menikah, serta ada ijab dan kabul yang akurat.
Selain rukun nikah, keabsahan sebuah akad nikah juga harus memperhatikan ketentuan mengenai larangan nikah yang telah diatur secara rinci dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
Dalam praktiknya, untuk menyelenggarakan akad nikah yang sempurna, kadang kala terbentur kendala. Salah satunya adalah saat wali nasab yang berhak, berada di tempat yang berbeda. Jauh dari tempat pelaksanaan akad nikah, sehingga tidak dapat hadir.
Hal ini dapat terjadi karena beberapa alasan. Bisa jadi karena kondisi alam, misalnya sedang terjadi bencana, sehingga wali nasab yang sedang berada di luar daerah tidak dapat hadir saat akad nikah. Atau karena tiba-tiba sakit sehingga tidak bisa berangkat menuju tempat akad. Atau karena sang mempelai wanita sedang merantau meninggalkan kampung halaman.
Bisa juga karena tenyata orang tua mempelai wanita ini telah bercerai. Akibatnya sang ayah tinggal di tempat yang berbeda. Kebersamaan pun sudah jarang terjadi. Sehingga saat anaknya akan menikah, sang ayah yang merupakan wali nasabnya, tidak ada di tempat. Dan banyak lagi keadaan lain yang melatarbelakangi terjadinya keadaan wali nasab jauh atau tidak hadir saat akad nikah.
Sebenarnya ada dua solusi yang dapat ditempuh dalam keadaan seperti ini. Pertama, wali nasab diganti oleh wali hakim yaitu kepala KUA setempat (hal ini diatur dalam Pasal 23 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam). Kedua, wali nasab tetap melaksanakan perannya sebagai wali nikah, dengan cara mewakilkan ijab kepada penghulu melalui tatacara tertentu.
Harus diingat, dalam keadaan seperti ini, kedudukan wali nasab tidak bisa bergeser ke wali nasab yang lain. Seperti karena karena ayah kandung jauh, lalu digeser ke kakek kandung dan seterusnya. Hal ini adalah praktik yang keliru. Sebab wali nasab yang paling berhak itu masih ada.
Peralihan dari seorang wali nasab ke wali nasab berikutnya secara hirarkis itu berlaku dalam keadaan wali nasab yang paling berhak, ternyata tidak memenuhi syarat. Baik karena tidak muslim, atau masih belum akil-baligh, atau karena mengalami gangguan fisik dan/atau mental. Atau karena wali yang paling berhak itu sudah meninggal.
Selama wali yang berhak itu ada, maka ia harus diutamakan, meskipun ia jauh. Sebab ada kemungkinan wali nasab yang paling berhak itu enggan untuk menikahkan perempuan yang ada dalam perwaliannya dengan berbagai macam alasan. Sehingga jika kemudian bergeser ke wali nasab berikutnya, maka tidak ada artinya hak wali nasab yang paling berhak tadi.
Oleh karena itu, tradisi hukum Islam sangat memproteksi hak menjadi wali nikah itu. Dalam keadaan wali nasab enggan (‘adhal), maka negara yang harus menengahinya dengan jalan diajukan permohonan penetapan kea’dhalan wali kepada hakim, untuk kemudian wali nikah dilakukan oleh wali hakim.
Hal ini menunjukkan, pergeseran wali itu tidak mudah terjadi, apalagi hanya karena jarak yang jauh. Padahal wali nasab yang jauh tadi, dalam keadaan memenuhi syarat menjadi wali nikah.
Jika ditelusuri berbagai pandapat ulama terutama kalangan Syafi’iyah, maka ditemukan ketentuan bahwa wali yang jauh yang diukur dengan standar masafat qashr, harus diganti oleh wali hakim. Dan tidak dibenarkan perwalian dilakukan oleh wali nasab yang lain. Hal ini karena kewenangan wali nasab yang sedang tidak berada di tempat akad itu, tetap ada. Hanya saja ia sulit untuk melaksanakan kewenangannya karena jarak yang jauh, oleh karana itu wali hakimlah yang berwenang untuk menggantikan. (lihat dalam Abu Ishaq Ibrahim al Syairaziy, Al Muhazdab fi Fiqh al Imam al Syafi’i, Juz II, Dar al Kutub al ‘Ilmiyyah, Beirut, 1995, hlm. 429)
Ketentuan fikih Syafi’iyah cenderung melegalisasi peran wali hakim menggantikan wali nasab yang berhak hanya karena jarak qashr. Padahal, kenasaban antara wali dan perempuan yang berada dalam walayahnya, terjalin berdasarkan pada kefitrahan hubungan manusia yang diciptakan Allah swt.
Sehingga antara satu manusia dan manusia lainnya dalam ikatan kenasaban sedemikian itu, tidak bisa melepaskan dirinya dari hak dan kewajiban yang terjalin bersamaan dengan terjalinnya hubungan nasab tersebut, termasuk dalam hal ini adalah mengenai kewalian dalam nikah.
Jika ditelaah dari adanya ketentuan mengenai kewenangan wali hakim (sulthan) yang menggantikan wali nasab, maka diketahui bahwa esensi legalitas kewenangan wali hakim (sulthan) itu muncul lantaran fungsi izin dan persetujuan wali nasab sebagai simbol penanggung jawab (pemegang kuasa) seorang perempuan, tidak dapat diketahui. Hal ini senada dengan yang disebut Imam as Syairaziy saat menjawab persoalan wali yang berada masih dalam radius hadir bukan qashr, sebagai berikut:
يجوز للسلطان أن يزوجها لأنه تعذر استئذانه فأشبه إذا كان في سفر بعيد
Artinya: “wali hakim boleh menikahkan perempuan tersebut karena sulit mengetahui dan meminta izin wali nasabnya, sebagaimana kondisi ini sama dengan kondisi dalam perjalanan yang jauh”
Menurut nalar fikih kala itu, ketidakmungkinan untuk diketahui itu dapat terjadi karena jarak yang jauh yang diacu dengan standar jarak qashr, atau karena wali enggan untuk menikahkan anaknya.
Dengan demikian, logika hukum yang sedang dibangun dari ketentuan peran wali hakim ini, adalah pada aspek sulitnya mengetahui izin atau sikap wali nasab terhadap pernikahan perempuan yang berada dalam walayahnya.
Logika atau sebut saja illat kewenangan wali hakim ini tentu sudah tidak ditemui lagi dalam konteks saat ini. Artinya, meskipun wali nasab jauh, keadaan jauh itu tidak bisa lagi menjadi alasan bolehnya wali hakim untuk menggantikannya.
Sebab saat ini, sangat mudah untuk mengetahui izin wali yang berada di tempat yang jauh dengan cara-cara tertentu berbasis pada kemajuan teknologi, seperti surat-menyurat, telepon, video call, dll.
Selanjutnya, untuk akad nikah dapat dilakukan dengan cara tawkil seperti biasa, dengan perantara penghulu yang dipercaya. Peran penghulu di sini tentu hanya sebagai wakil, bukan sebagai wali. Karena wali tetap diduduki oleh wali nasab yang jauh tersebut.
Hanya saja, agar praktik sedemikian ini tidak mengurangi sakralitas akad nikah, dan agar tertib administrasi, maka Kementerian Agama telah mengeluarkan ketentuan tentang hal ini berupa Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan. Dalam Pasal 11 Ayat (5) disebutkan beberapa teknis yaitu:
“dalam hal wali tidak hadir saat akad nikah, wali harus membuat surat taukil wali yang ditandatangani oleh wali dan disaksikan dua orang saksi dan diketahui oleh Kepala KUA tempat tinggal wali“.
Dengan demikian, perempuan yang akan menikah tetapi wali nasabnya jauh, idealnya harus tetap mendudukkan wali nasabnya yang jauh itu sebagai wali nikah. Kemudian wali nasabnya tadi bertawkil atau membuat akad wakalah disaksikan oleh dua saksi, kepada penghulu/atau orang lain yang dipercaya di tempat akad nikah dilangsungkan.
Proses tawkil ini diformat dalam bentuk surat yang difasilitasi oleh Kepala KUA tempat tinggal wali nasab, untuk kemudian dikoordinasikan kepada Kepala KUA tempat akad nikah dilangsungkan.