Saya mencermati demo mahasiswa kemarin. Menarik. Sporadis, spartan, tidak terfokus pada isu tunggal. Saya tidak tahu persis, berapa persen mahasiswa yang berangkat untuk memprotes revisi UU KPK, berapa persen yang menyoal RUU KUHP, berapa persen yang konsen dengan RUU Pertanahan, RUU Minerba, dan RUU Ketenagakerjaan? Campur aduk. Tumplek blek!
Saya tidak tahu pasti, berasal dari mana energi yang menjebol pagar gedung parlemen itu? Pasal-pasal revisi yang mengamputasi kedigdayaan KPK atau pasal-pasar RUU KUHP yang mengintimidasi pelaku seks ilegal? Yang kita tahu adalah poster-poster viral dengan bunyi-bunyi lucu begini: JIKA RUU KUHP DISAHKAN, AKU RAISO KELONAN; KENTHU DIBUI KORUPSI DICUTI; SELANGKANGANKU BUKAN MILIK NEGARA.
Ada juga yang lebih keras: I DON’T NEED SEX, THE GOVERNMENT IS FUCKING ME RIGHT NOW. Kita bisa deret poster-poster lucu lain yang beredar di sosmed.
Saya yakin yang bergerak kemarin ke Senayan atau Gejayan atau tempat-tempat lain itu berasal dari energi perlawanan terhadap upaya mengurangi tenaga KPK. Tapi saya yakin tidak semuanya. Sebagian energi itu berasal dari perluasan campur tangan negara dalam urusan privat yaitu ancaman kriminalisasi seksual ilegal dalam RUU KUHP. Dan jumlah mereka tidak bisa dianggap enteng, seperti nampak dalam poster-poster viral itu.
Isu mereka bukan soal keadilan struktural dengan iringan lagu heroik Darah Juang karya Wiji Thukul yang legendaris itu. Isu mereka adalah individuasi: penegasan kebebasan induvidu dari campur tangan negara dalam urusan privat. Karena itu, saya yakin demo kemarin itu spartan, tidak terafiliasi dengan parpol dan kekuatan oposisi yang berniat menggulingkan Jokowi.
Berbeda dengan gerakan mahasiswa ’98 yang akrab dengan idiom-idiom struktural Marxis, generasi baru yang peka dengan isu individuasi ini mirip, dalam beberap hal, dengan popular protest yang menciptakan huru-hura Mei 1968 di Perancis. Protes itu terjadi di tengah kemerosotan pengaruh marxisme sebagai narasi dan ideologi politik. Aktor-aktornya adalah intelektual bebas, tidak terafiliasi dengan PCF (Parti Communiste Français), seperti Jean Le Bitoux, seorang aktivis pejuang kebebasan homeseks. Setelah itu strukturalisme dan pos-strukturalisme menjadi arus utama intelektual Perancis. Struktualisme merujuk kepada gerakan intelektual yang menyanggah klaim ego Cartesian yang mandiri dan otonom.
Subjek tidak otonom, tetapi dibentuk oleh sistem sosial yang menjelma dalam bahasa. Metode linguistik yang dirintis Ferdinand de Saussere ini kemudian digunakan untuk menganalisis fenomena sosial sehingga lahir neo-strukturalisme. Di jajaran intelektual pos-strukturalis inilah berdiri antara lain Michel Foucault.
Dalam bukunya, History of Sexulity, Foucault menolak segala bentuk rekayasa seks oleh kekuasaan. Foucault mencermati bio-politik yaitu relasi kuasa yang menjinakkan aktivitas seksual di bawah kontrol meta-tubuh. Kontrol itu pada Abad Pertengah menjelma dalam rezim kebenaran pastoral yang melihat seks sebagai aktivitas satani yang harus ditindas. Pada abad modern, kontrol itu menjelma dalam rezim kebenaran klinis yang menundukkan seks sebagai aktivitas reproduksi, kesehatan, dan pengendalian populasi.
Foucault ingin seks tidak dikaitkan dengan konsep-konsep meta-tubuh, tetapi sepenuhnya mekanisme alamiah tubuh manusia. Kontrol terhadap seks bukan berasal dari otoritas dari luar tubuh, tetapi sepenuhnya inisiatif dari dalam tubuh itu sendiri.
Dalam tradisi Yunani-Romawi kuno, aktivitas seksual tidak diatur oleh kuasa meta-tubuh, tetapi dibimbing oleh posisi etis yang disebut dengan epimeleia heatou yaitu kemampuan mawas diri dalam mengelola aphrodisia (rangsangan seksual). Posisi etis diletakkan kepada subjek yang wajar dalam menyalurkan kenikmatan tubuh. Aphrodisia yang diumbar akan merusak ketahanan tubuh itu sendiri.
Foucault banyak mengadvokasi kelompok penuntut kebebasan ekspresi seksual tanpa kekangan. Dia bukan hanya menolak konsep seks legal melalui perkawinan lawan-jenis, tetapi membela hak-hak kaum gay dan pernikahan sejenis serta segala ekspresi seksual yang mungkin seperti sado-masokisme. Bukan hanya itu, dia masuk sebagai pelakunya. Dia jadi martir bagi teorinya sendiri ketika divonis AIDS dan meninggal pada 25 Juni 1984. Kematian itu, katanya kepada sahabatnya Daniel Defert, sebagai death-wish: kematian yang dirindukan.
Foucault meninggal, tetapi pengaruhnya membekas dalam di kalangan generasi bunga. Mereka adalah anak-anak muda berumur di bawah 30 tahun, hidup di era akhir 1960-an hingga pertengahan 1970-an. Mereka menolak perang dan kekerasan. Mereka mengecam Pemerintah Amerika yang terlibat dalam perang Vietnam yang berkepanjangan.
Mereka datang ke San Fransico membawa bunga, mendengarkan musik, bercinta, dan mengonsumsi narkotik. Jangan tanya tentang ideologi. Mereka hanya ingin hidup senang tanpa perang. Slogannya mirip-mirip ungkapan: Yang Muda Yang Bercinta.
Wa ba’du, energi mahasiswa kemarin luar biasa. Tetapi para senior dan mantan aktivis jangan ge’er. Mereka berangkat, sebagian, bukan karena ideologi. Marx dan ideologi kiri tidak laku di kalangan mereka. Mereka bangkit, demonya jadi massif, karena ancaman terhadap perampasan kemerdekaan individu oleh negara. Dalam hal ini: SEKS. Mereka mungkin bukan pendukung free-sex. Tetapi, seperti Foucault, mereka tidak mau negara ikut campur dalam urusan kasur. Keberadaan generasi baru ini tidak bisa dianggap remeh. Mereka emoh dengan ideologi kiri, apalagi menjadi simpatisan HTI atau FPI. Mereka adalah klaster sendiri dalam konteks gerakan mahasiswa kemarin.
Ahlan Wa Sahlan, Flower Generation!