Anak tidak hanya menjadi penerus keluarga, ayah atau ibu secara nasab atau keturunan, tetapi juga menjadi penerus dalam hal keilmuan. Tidak semua ulama memiliki putra, banyak juga ulama yang memilih untuk melajang seumur hidup dan hidup sampai meninggal dunia tanpa putra biologis. Namun putra intelektual, seperti buku dan karya lain sangatlah melimpah.
Keinginan mereka adalah bagaimana melanjutkan studi Islam yang telah lama digeluti. Semangat studi Islam yang dilakukan menepis nafsu yang ada dalam dirinya untuk berkeluarga. Waktu mereka dihabiskan bukan dengan keluarga, melainkan dengan buku-buku dan karya-karya intelektual.
Salah satu ulama yang masuk dalam golongan ini adalah Abu Ali al-Farisi. Nama lengkapnya Hasan Abu Ali bin Ahmad al-Farisi al-Fasawi. Beliau dilahirkan di negri Persia pada tahun 288 H. Kemudian melakukan rihlah ke kota Baghdad untuk belajar di sana pada tahun 307 H. Kemudian beliau keliling ke negara-negara lain untuk melanjutkan rihlahnya. Salah satunya adalah Syam.
Biografi Abu Ali al-Farisi ini secara singkat dan esensial telah ditulis dengan ciamik oleh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam kitab al-Ulama al-‘Uzzab alladzina atssaruna al-Ilm ‘ala az-Zawaj.
Selama rihlah beliau banyak belajar kepada para ulama’, mengajar dan menjawab masalah-masalah agama. Bahkan beliau mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam sebuah kitab yang diberi nama sesuai dengan tempatnya. Seperti al-Baghdadiyat, yakni kitab yang berisi jawaban untuk pertanyaan penduduk Baghdad, al-Bashriyat, al-Halbiyat, as-Syiraziyat dan lain-lain.
Beliau hidup selama sembilan puluh tahun dan banyak menghabiskan umurnya untuk belajar dan berkarya. Karya-karya beliau dari berbagai bidang, salah satunya Ilmu Al-Quran dan ilmu bahasa Arab. Beliau tidak menikah dan tidak memiliki keturunan. Anak-cucunya hanyalah karya-karya yang mencapai 25 kitab dan sampai di tangan kita hingga sekarang. Di antaranya, al-Hujjah fi Ilalil Qiraah as-Sab’u, Jawahirun Nahwu. Al-Idhah fin Nahwu, Syarh Abyatil Idhah dan lain sebagainya.
Kisah Abu Ali al-Farisi ini bukan dimaknai sebagai ajaran untuk melajang selamanya, melainkan anjuran untuk selalu berjibaku dengan keilmuan, buku-buku, karya, dan belajar dan mendahulukannya dari hal apapun. Namun ini bisa tergantung dengan kondisi dan situasi masing-masing. Jika memungkinkan untuk menikah, berkeluarga dan tetap berinteraksi dengan keilmuan, tentu ini lebih baik, bukan?
Wallahu a’lam.