Ibrahim bin Adham, seorang pemuka sufi di abad 2 H. Ia sangat disegani di kalangan ulama waktu itu. Salah seorang muridnya bahkan menjadi ulama Besar Imam Ahmad bin Hanbal.
Suatu hari ia bersama seorang sahabatnya, Ibrahim al-Yamani dan beberapa sahabat lain berjalan menyusuri sebuah pantai yang indah. Pantai itu dikelilingi sebuah gunung Kafrafir. Sebenarnya ia kesana hanya sekedar untuk menghabiskan waktu sore untuk bersantai menikmati agungnya ciptaan Tuhan.
Namun, menjelang sore sahabatnya, Ibrahim al-Yamani berinisiatif untuk mengajaknya nge-camp di tepi pantai. Ia beralasan panorama malam di sini akan jauh lebih indah dari sore. Ditambah lagi bisa membuat api unggun untuk menghangatkan diri di malam hari.
Ibrahim bin Adham pun setuju. Ia lantas memerintahkan sahabatnya untuk mengumpulkan kayu bakar yang banyak tersedia di tepi pantai tersebut.
Api dinyalakan, suasana bertambah hangat. Satu persatu dari para sahabat Ibrahim bin Adham mengeluarkan bekal roti yang sudah disiapkan. Tiba-tiba salah satu dari mereka nyeletuk:
“Wahai syekh Ibrahim bin Adham, alangkah baiknya jika malam hari ini yang kita bakar adalah daging bukan roti?”
Ibrahim bin Adham menjawab:
“Kalau urusan makanan, Allahlah yang lebih berkuasa”
Lantas tiba-tiba muncul seekor macan yang sedang mengejar kijang. Kijang itu berlari kencang ke arah perkumpulan Ibrahim bin Adham. Sang macan tiba-tiba saja berhenti, ketika melihat kijang itu sampai di dekat Ibrahim bin Adham.
“Inilah rizqi yang dikirimkan Allah kepada kita” Seloroh Ibrahim bin Adham sambil memegang kijang tersebut.
Akhirnya ia dan kawan-kawannya pun bisa menikmati malam di pantai itu dengan Kijang bakar. Sedangkan sang macan hanya bisa melihat dri kejauhan.
Begitulah salah satu karomah yang dimiliki oleh salah satu kekasih Allah, sekali ingin sesuatu. Allah langsung mengirimkan apa yang diinginkannya.
Perjalanan sufi Ibrahim bin adham memang tak bisa dilepaskan dari latar belakangnya dulu sebagai seorang raja di Kota Balkh, Khurasan. Maka tak heran jika dalam puncak kesufiannya ia masih menyukai keindahan dan ketenangan. Namun dalam menikmati keindahan itu ia sama sekali tak mengurangi sedikitpun aktivitasnya mengabdi kepada Allah. Karena dalam menikmati keindahan ciptaan Allah itu adalah salah satu bentuk penghambaan yang sempurna pada Tuhan.
Beliau pernah mengatakan “Tanda seorang mencapai maqom arif adalah selalu bertafakkur di setiap waktu, Kalau berbicara sealau memuji kepada Allah, dan Selalu melihat akan kebesaran Allah lewat ciptannya.”
Disarikan dari kitab Uyunul Hikayat karya Abul Faraj Abdurrahaman Ibnul Jauzi.