Beberapa waktu lalu, seorang dosen senior curhat ke saya tentang pengalaman pribadinya diceramahi habis-habisan oleh mantan mahasiswanya yang baru saja ‘hijrah’.
Sebenarnya, asal muasalnya sangat sepele, sang dosen hanya menggunakan emoticon dua tangan tertangkup setelah mengucapkan sama-sama setelah mahasiswanya mengucapkan terima kasih, yang kemudian menurut si mahasiswa merupakan tindakan yang menyerupai kaum non-muslim.
Sontak, dosen senior tersebut mencoba menjelaskan bahwa tidak ada maksud baginya untuk menyerupai pemeluk agama lain. Namun, bukannya dimaklumi, yang terjadi malah sebaliknya. Si mantan murid justru mengirim dalil-dalil panjang yang justru membuat orang tua ini agak ‘gerah’.
Kejadian ‘holier than thou’ atau fenomena ini (orang merasa lebih suci dan baik ketika baru berhijrah sehingga berhak menasihati dan memberi wejangan tanpa berusaha memahami lebih dulu sudut pandang orang lain) bukan hanya sekali dua kali terjadi. Pada kasus yang lebih ekstrim, ada anak yang berani membangkang orangtuanya karena menurut mereka apa yang mereka yakini jauh lebih mencerminkan nilai-nilai Al-Quran dan hadis dibandingkan ibadah ritual yang selama ini dilakukan oleh generasi sebelumnya.
Padahal, jika mau jujur, ilmu agama yang diperoleh kaum hijrah ini seringkali masih sebatas dari satu sumber, tidak jarang referensinya hanya sebatas dari kajian-kajian yang mereka dengarkan dari internet dan media sosial, atau yang oleh Kuntowijoyo disebut sebagai ‘generasi muslim tanpa masjid’. Namun, keterbatasan itu malah membuat mereka semakin tergerak untuk menasihati dan berdakwah kepada sesama.
Dalam ilmu psikologi, secara umum situasi tersebut dikenal dengan efek Dunning-Kruger, yakni suatu bias kognitif ketika seseorang merasa kemampuan/pengetahuan yang ia miliki di atas orang lain, yang dilatarbelakangi oleh ketidakmampuannya secara metakognitif untuk mengetahui segala kekurangannya.
Dalam Islam sendiri, Umar bin Khattab sudah jauh-jauh hari menyinggungnya dalam tahapan menuntut ilmu. Jika seseorang memasuki tahapan pertama, ia akan sombong. Jika ia memasuki tahapan kedua, ia akan tawadhu atau rendah hati. Dan jika ia memasuki tahapan ketiga, ia merasa dirinya tidak ada apa-apanya.
Hal yang sama menjangkiti orang yang ghirahnya sedang tinggi dalam belajar agama. Ketika baru berhijrah, lini masanya akan penuh nasihat bahwa ini itu haram, yang lain bid’ah. Tak jarang, bila ada orang yang berbeda aliran, ia tak sungkan untuk menentangnya habis-habisan.
Sebenarnya teori ini tidak sebatas dalam pengetahuan agama semata, di kehidupan nyata, kita juga berjumpa dengan orang dengan karakter yang sama. Begitu juga dengan bidang yang lain, seperti banyak orang yang tiba-tiba puber politik pada masa-masa pemilu, atau golongan vegetarian baru yang sangat risih ketika ada penyembelihan hewan qurban.
Sudut pandang sempit ini sebenarnya disebabkan karena golongan yang baru berhijrah masih perlu afirmasi publik dan memiliki keinginan kuat agar orang lain juga memiliki sudut pandang yang sama dengan mereka.
Di sini, saya bukannya ingin menyalahkan orang yang hijrah atau yang ingin merubah menjadi lebih baik, tapi saya hanya ingin kita sama-sama memahami bahwa tiap orang mengalami perjalanan spiritual yang berbeda satu sama lain. Belum lagi kita lahir, besar, dan dididik di lingkungan yang budaya ritualnya beragam.
Ada orang yang sejak lahir, Alhamdulillah, dibesarkan dengan nilai-nilai agama yang taat dan mampu istiqomah hingga ia dewasa. Namun di sisi lain, banyak juga orang yang tidak seberuntung itu. Ada orang yang hanya menerima ilmu agama sebatas di lingkup ruang kelas.
Ada orang yang sudah terbiasa membaca qunut ketika salat shubuh, ada juga yang tidak mempraktikkannya. Sehingga, perbedaan menginternalisasi nilai-nilai agama ini perlu disikapi dengan lapang dada dan bijaksana. Kalaupun kita ingin menasihati seseorang, lakukanlah dengan lemah lembut dan junjung tinggi adab.
Apabila yang kita lakukan malah mencerca atau menyalahkan orang lain yang mempunyai praktik beragama dengan kita, hal itu justru membuat nilai dakwah tercemari. Padahal Rasul SAW sendiri mencontohkan dakwah yang penuh welas asih. Bahkan di saat beliau diusir dan dilempari oleh penduduk Thaif, beliau justru tidak membalasnya sama sekali, dan malah mendoakan keturunan mereka menjadi lebih baik.
Melihat teladan Rasul yang begitu mulia, masihkah kita berpikiran sempit dan memaksakan kehendak, padahal ilmu kita juga masih terbatas?
Wallahu a’lam.