Soekarno menempati posisi penting dan istimewa dalam sejarah pemikiran dan perjuangan politik di Indonesia. Beliau merupakan sosok yang lantang dalam mengumandangkan spirit Nasionalisme di hadapan penjajahan kaum kolonial Belanda.
Nasionalis sejati menurut Soekarno adalah orang yang bersedia berbakti dan memperbaiki rakyat nasib kaum kecil dari segala bentuk kemelaratan, serta melindungi rakyat dari segala penindasan. Pemikiran-pemikiran Soekarno banyak menekankan pada persatuan dan kesatuan bangsa, sehingga ia lebih dikenal dengan gagasan-gagasan nasionalismenya. Padahal Soekarno juga mempunyai gagasan tentang Islam keindonesiaan.
Soekarno sendiri bisa dikatakan lahir dari keluarga yang tidak agamis, karena sejak kecil Soekarno memang jarang bahkan tidak pernah mendapatkan pendidikan agama baik formal maupun informal. Beliau dilahirkan dari keluarga yang tidak membiasakan untuk membaca Al-Qur’an sehari-hari. Ayahnya sendiri merupakan seorang priyayi Jawa pengikut theosofi. Sedangkan ibunya adalah seorang perempuan Bali, dengan kasta Hindu tertinggi Brahmana.
Walaupun dibesarkan dalam masyarakat agraris atau dalam istilah Clifford Geertz dengan agama Jawa, tetapi ketika hijrah ke Surabaya dan akrab dengan HOS Cokro Aminoto, Soekarno mulai mempelajari Islam. HOS Tjokroaminoto sendiri seorang tokoh gerakan Islam terkemuka serta pemimpin Serikat Islam, yang rumahnya sering dijadikan tempat diskusi para para tokoh politik lintas kelompok ideologi pada waktu itu.
HOS Tjokroaminoto juga bukan hanya sekedar tokoh gerakan Islam, tetapi juga tokoh politik yang kemudian menjadi guru Soekarno dalam belajar Islam dan politik. Sering bersinggungan dan ikut berdiskusi dengan tokoh-tokoh seperti KH. Ahmad Dahlan, Ki Hajar Dewantara, Agus Salim, telah membawa Soekarno menjadi sosok yang haus akan ilmu pengetahuan dan Islam.
Awal mula pemikiran Islam Soekarno bisa dilihat tulisannya tentang Nasionalisme, Islam dan Marxisme yang terbit bulan April 1926 M di majalah Indonesia Muda. Dalam tulisan tersebut, Soekarno menyerukan tentang tiga aliran yang dominan dalam pergerakan Indonesia, yaitu Nasionalisme, Islam dan Marxisme.
Dengan pola pemikiran yang selalu mencari persatuan dan kesatuan yang merupakan ciri khas tradisional Indonesia, Soekarno kemudian mempunyai sebuah persepsi tentang Islam adalah agama rasional, sebagaimana yang dibawakan oleh aliran Muktazilah. Beliau juga tertarik dengan kelompok Muktazilah dan filsuf-filsuf muslim seperti Ibnu Sina, Ibnu Ruysd. Sehingga dalam memahami dan mendalami Islam, Soekarno mempunyai pandangan dan tafsiran tersendiri.
Soekarno mulai belajar serius tentang Islam ketika dijebloskan ke penjara Sukamiskin Bandung oleh Belanda. Berbekal dari pengetahuannya tentang Islam yang didapat dari HOS Tjokroaminoto, Soekarno semakin mendekatkan diri kepada Allah Swt selama berada di Sukamiskin.
Sukamiskin menjadi saksi bisu atas karya Soekarno yang berjudul Indonesia Menggugat, yang dengan gagah berani menelanjangi kebrobrokan Kolonial Belanda. Pasca bebas pada tahun 1931, Soekarno kembali ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Ende, Flores pada tahun 1933.
Penangkapan dan pengasingan tersebut justru membawa berkah tersendiri terhadap diri Soekarno, dia semakin memperdalam Islam dan berbagai pemikiran yang ada di dalamnya. Walaupun tidak mempunyai penguasaan bahasa Arab yang mumpuni, Soekarno sangat gandrung dan berusaha menyerap pemikiran para tokoh pembaharuan Islam seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani, Arabi Pasha, Ali Pasha, Ahmad Bey Agayeff, dan Mohammad Ali. Selama di Ende, Soekarno juga mendalami pemikiran-pemikiran Maulvi Muhammad Ali tokoh Ahmadiyah Lahore dan Khawaja Kamaludin.
Selain itu, Soekarno juga sering bertukar pikiran yang berkaitan dengan Islam bersama pimpinan Persatuan Islam A. Hassan melalui surat dan juga dengan KH. Mas Mansur, yang merupakan tokoh yang mempunyai kedekatan dengan NU.
Pemikiran-pemikiran Al-Afghani dan Muhammad Abduh sangat mempengaruhi corak pemikiran keislaman yang dibawakan oleh Soekarno, di mana dalam pandangan Soekarno, taklid buta tanpa bersandar pada rasionalitas terhadap tradisi dan pemikiran tidak dibenarkan, karena Islam adalah paham yang membebaskan umatnya dari belenggu tradisionalisme.
Soekarno kemudian menyerang doktrin-doktin taklid dan sikap menutup pintu ijtihad. Beliau menentang keras kekolotan, takhayul, bid’ah dan anti rasionalisme yang dianut masyarakat muslim Indonesia pada waktu itu. Soekarno juga berpendapat bahwa Islam telah disalahtafsirkan, karena umat Islam dan para ulamanya lebih percaya dan berpedoman kepada pendapat ulama dari pada berpedoman kepada Al-Qur’an.
Beliau juga pernah meminta kiriman kitab Shahih Bukhari, karena kecurigaannya terhadap beredarnya hadis-hadis yang bertentangan dengan Al-Qur’an. Dalam hal ini, Soekarno telah memasuki pintu ajakan untuk berijtihad dan melakukan kritik hadis.
Dalam pemikiran keislamannya, Soekarno secara jelas menonjolkan peranan besar akal sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Bagi Soekarno, akal dan Islam mempunyai tujuan yang sama yaitu membimbing kehidupan umat manusia, karena keduanya harus bekerja sama guna dan saling menunjang satu sama lain.
Bagi Soekarno peranan akal sangat penting, karena segala masalah termasuk masalah-masalah agama dapat dipecahkan dengan akal. Beliau sependapat dengan apa yang dibawa oleh kelompok Muktazilah, bahwa Al-Qur’an harus ditafsirkan sesuai dengan akal. Apabila terdapat ayat-ayat yang lafadznya bertentangan dengan akal, maka harus ditafsirkan hingga sesuai dengan akal.
Dalam tulisannya Nasionalisme, Islam dan Marxisme, Soekarno menggaungkan rasa perlawanan di hati sanubari masyarakat muslim Indonesia tentang bahaya imperialisme Barat. Dengan menganjurkan pilihan kepada rasionalisme dan rasionalisme diminta “kembali lagi” duduk di atas singgasana Islam.
Obyek kata “kembali lagi” bukan dinisbatkan pada Al-Qur’an-Hadis sebagaimana slogan kelompok puritan Salafi-Wahabi, tetapi yang dimaksud “kembali lagi” oleh Soekarno adalah kembali lagi ke zaman ketika para pahlawan akal hidup, yaitu zaman Muktazilah, Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Ruysd.
Walaupun begitu, Soekarno bukanlah sosok yang membenci tradisi, tetapi lebih kepada menekankan sisi rasionalitas dan progresifitas dalam Islam. Dalam hal ini, pemikiran-pemikiran keislaman Soekarno juga bisa dikatakan sebagai sebuah aktualisasi kaidah popular yang ada dikalangan NU yaitu Al-Muhafadzatu Ala Al-Qadim As-Sholih Wa Akl-Akhdu Bi Al-Jadid Al-Ashlah (mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengadopsi tradisi baru yang lebih baik).
Di sisi lain, Soekarno juga mengajak menggali kembali apinya Islam, untuk mewujudkan Nasionalisme dan kemajuan masyarakat. Dalam pidatonya di depan civitas akademikan IAIN Jakarta tahun 1965, salah satu kutipannya dalam Tjilaka Negara Yang Tidak Bertuhan, Soekarno mengatakan, “Jika kalian ingin mengerti mengapa dulunya Islam pernah mengalami pasang naik dan pasang surut. Bebaskan pikiranmu dari berpikir biasa, berpikir konvensional, kamu mahasiswa IAIN, kamu jangan mempelajari Islam dan mencoba memajukan Islam dengan apa itu jiwa pesantren. Bukalah! Bukalah pintu, bukalah jendela! Ya bahkan lebih dari itu. Sekali kamu keluar dari ruang pengap itu, bangkitlah, bangkitlah, naik ke langit.”
Walaupun kritik yang dilakukannya begitu blak-blakan terhadap Islam di Indonesia, tetapi ia tetap mengkritik paham-paham kolot yang masih berkembang dan tidak takut dicap anti Islam. Soekarno tidak dikenal sebagai tokoh pemimpin muslim karena para sejarawan menempatkannya sebagai tokoh nasionalis-sekuler yang tentu berhadap-hadapan dengan kelompok nasionalis-agamis.
Padahal pemikiran-pemikiran keislaman Soekarno bisa melampaui pada masanya. Barangkali jika Soekarno hidup di zaman sekarang, ia akan dikafir-kafirkan oleh ustaz-uztaz yang baru terbit kemarin sore.