Ketika gerbang keterbukaan informasi dibuka seluas-luasnya oleh internet, kesempatan untuk mereguk sumur pengetahuan tidak lagi dibatasi oleh jarak dan batas negara. Semua pengetahuan bisa dinikmati dan dipelajari oleh siapapun di dunia ini. Walhasil, kesenjangan pengetahuan di seluruh dunia seharusnya bisa dipangkas atau dipersempit. Namun, benarkah jurang kesenjangan pengetahuan keagamaan benar-benar dapat dipersempit dengan hadirnya internet? Apakah telatah literasi masyarakat Muslim semakin berkembang atau malah terjebak pada kejumudan model baru?
Kemunculan internet di abad 21 telah mengubah struktur sosial kehidupan manusia, termasuk sosial keagamaan. Islam sebagai salah satu agama terbesar di dunia dan agama mayoritas di Indonesia tidak akan bisa mengelak dari dampak kelahiran sebuah media baru bernama internet. Akses terhadap kitab-kitab dan karya pemikiran dari para otoritas keislaman bisa diakses dengan sangat mudah dan cepat. Inilah kemudahan bagi generasi sekarang atau generasi millennial yang seharusnya dapat menjadi upaya awal untuk mempersempit jurang kesenjangan pengetahuan di masyarakat Muslim, khususnya di Indonesia.
Sejarah mencatat bahwa kekayaan literasi yang tersedia di dunia Islam Indonesia sekarang ini adalah kontribusi para pencari ilmu di Mekah dan Madinah, yang rela meninggalkan Nusantara untuk menuntut ilmu. Dari sekian banyak orang yang berangkat ke tanah suci untuk menuntut ilmu sekaligus menunaikan ibadah haji, terkisah seorang ulama asal Banten, bernama Muhammad Nawawi al-Bantani. Pada keberangkatan keduanya tahun 1855, Syekh Nawawi menetap di tanah suci untuk menuntut dan memperdalam ilmunya pada para masyayikh yang sudah tidak diragukan lagi ilmu keislamannya. Di antara beberapa nama guru beliau adalah Syekh Sayyid Ahmad an-Nahrawi, Syekh Sayyid Ahmad Dimyathi, Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, Syekh Muhammad Khatib al-Hambali, Syekh Abdulghani Bima, Syekh Yusuf Sumbulaweni, dan Syekh Abdul Hamid ad-Daghastani.
Syekh Nawawi memiliki semangat menuntut ilmu yang sangat kuat, bahkan beliau menegaskan bahwa menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban, disandarkan pada sebuah hadis yang masyhur di kalangan umat Islam. Oleh sebab itu, selama di tanah suci, beliau juga mengajarkan keilmuan yang beliau kuasai untuk kemudian disebarkan dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Beberapa nama tenar, seperti K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Khalil Bangkalan, K.H. Nahjun, dan K.H. Mahfudz Termas, turut berguru kepada Syekh Nawawi. Merekalah yang kemudian menyebarkan keilmuan Islam di Nusantara, membuat kesenjangan keilmuan Islam saat itu bisa teratasi.
Syekh Nawawi memiliki sebuah legasi yang luar biasa berupa tulisan-tulisan beliau dalam bentuk kitab yang sangat banyak, tercatat ada sekitar 41 judul kitab. Diantara karya beliau yang terkenal adalah kitab tafsir “Tafsir al-Munir li Ma’alim at-Tanzil atau Marah Labid Tafsir an-Nawawi. Kitab ini terus dibaca dan dipelajari oleh kalangan pesantren hingga sekarang. Masih banyak lagi karya beliau yang lain dengan genre yang berbeda, seperti tauhid, fiqh, tasawuf hingga tafsir.
Di Indonesia, salah satu warisan literasi yang hingga sekarang terus dijaga adalah kitab kuning, semisal karya-karya Syekh Nawawi. Lema kitab kuning dipilih untuk menyebutkan warisan budaya literasi kesarjanaan Islam yang muncul dalam konteks Nusantara pada abad ke-16 silam. Beberapa penamaan lain dari kitab kuning adalah kitab gundul, kitab kuno dan kitab klasik. Keberadaan kitab kuning merupakan bagian dari trade mark keilmuan Islam tradisional yang tak terpisahkan dengan sosok seorang kyai atau ulama. Seseorang baru dianggap sebagai kyai atau ulama jika sudah memahami dan mendalami isi ajaran di dalam kitab tersebut dan mengamalkannya dengan penuh keseriusan.
Pada dasarnya, ada dua hal penting dalam diri seorang otoritas dengan ilmu keIslaman, baik seorang kyai maupun ulama, yakni ketersambungan sanad ilmu pengetahuan yang sah dari generasi sebelumnya dan karya yang merupakan kodifikasi nilai-nilai yang bisa disebarkan kepada masyarakat. Syekh Nawawi sudah memberikan tauladan dalam dua hal tersebut yaitu tradisi literasi yang baik, di mana beliau telah berguru secara mutawattir kepada generasi sebelumnya yang merupakan masyayikh terkenal sekaligus meluangkan waktu untuk menulis karya-karya yang bermanfaat untuk mencerdaskan masyarakat.
Jika kita berkaca pada sejarah pasca kedatangan Islam, orang Arab tidak lagi alergi dengan literatur. Ernest H. Gombrich menuliskan dalam buku Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda bahwa mereka tidak lagi membakar buku, tapi mengumpulkan dan membacanya. Perjumpaan orang Arab dengan karya-karya Aristoteles menyebabkan mereka menyibukkan diri dengan semua benda di alam dan mencari sebab-musabab dari segala hal. Banyak penemuan yang kemudian muncul dari orang Arab, merupakan hasil perjumpaan orang Arab yang sudah bersentuhan dengan Islam, akhirnya membuat mereka cinta akan pengetahuan. Inilah yang mengantarkan orang Arab mampu membangun salah satu imperium terbesar yang pernah berkuasa di atas bumi.
Warisan tradisi berpikir dan literasi yang melimpah adalah pusaka yang telah diberikan oleh generasi terdahulu kepada kita generasi sekarang ini. Muhammad Abid al-Jabiri menuliskan dalam buku Kritik Pemikiran Islam: Wacana Baru Filsafat Islam bahwa sejak kemunculannya, filsafat dalam sejarah Islam adalah diskursus ideologis yang militan. Al-Farabi misalnya, tidak dikenal sebagai seorang filsuf yang terisolasi dari dunia, melainkan sebagai orang yang peduli terhadap masalah-masalah kemasyarakatan di mana beliau tinggal.
Beliau dikenal sebagai orang yang optimis dan percaya bahwa kemajuan dan pemecahan masalah berawal dari tradisi berpikir dan literasi yang baik. Keyakinan inilah yang memotivasi al-Farabi akan mimpinya tentang “kota yang penuh kebaikan” (Madinatul Fadilah), sebuah kota rasio, harmoni, persaudaraan, dan keadilan yang dilandasi oleh ilmu-ilmu pengetahuan. Inilah yang juga dilakukan oleh Syekh Nawawi ketika berangkat ke tanah suci. Didasari keengganan beliau menjadi seorang penghulu yang di masa itu dianggap sebagai pihak yang pro terhadap kebijakan kolonial Belanda, beliau ingin menjaga kebebasan intelektual yang sangat tidak disukai oleh pihak kolonial Belanda. Syekh Nawawi adalah sosok intelektual (baca: ulama) yang membangun peradaban literasi yang berdampak sangat besar bagi masyarakat umum.
Ulama sebagai otoritas dalam agama Islam, sebagaimana Syekh Nawawi, tidak mempermasalahkan apakah mereka masuk ke ranah politik atau tidak. Tapi, tugas ulama adalah melawan ketidakadilan, persekongkolan jahat, dan penderitaan dalam masyarakatnya. Muhammad Qasim Zaman dalam buku The Ulama in Contemporary Islam: Custodians of Change mengutip pemikiran Maulana Wahid al-Din Khan menyatakan bahwa ulama di abad 21 ini sudah tidak lagi mempersoalkan politik dalam Islam, tapi ulama harus memiliki kualifikasi yang bisa membantu umatnya untuk bisa keluar dari persoalan yang mereka hadapi. Pada akhirnya, ulama sekarang seharusnya sadar bahwa masa yang dihadapi tidak lagi sesimpel di masa lalu.
Masa sekarang, sebagaimana ditulis oleh Daromir Rudnyckyl dalam artikel berjudul Market Islam in Indonesia yang diedit oleh Filippo Osella dan Benjamin Soares dalam buku Islam, Politics, Anthropology, sekarang sudah melampaui era yang digambarkan oleh Hefner sebagai era civil Islam, di mana terjadi rekonsiliasi antara otoritas keislaman dengan institusi politik demokrasi.
Daromir menjelaskan bahwa sekarang ini adalah era di mana perdebatan dalam dunia Islam antara ideologi politik yang plural dan diskursus tradisi Islam memasuki sebuah dunia yang sulit diidentifikasi, sebab pluralitas model kekuasaan yang dihadapi dan ekonomi yang juga semakin liar telah memasuki relung agama. Keadaan inilah yang dihadapi oleh umat muslim sekarang ini sehingga diperlukan sosok ulama yang ikhlas membangun budaya literasi yang baik agar umat tidak terjebak pada perdebatan yang tidak perlu, semisal perdebatan karena kabar-kabar hoaks.
Generasi milennial atau generasi Z haruslah mencontoh telatah Syekh Nawawi yang mempertahankan kebebasan intelektual dengan membangun tradisi literasi untuk mencerdaskan masyarakat. Jangan sampai generasi sekarang ini malah terjebak pada petuah-petuah palsu yang tidak membela masyarakatnya saat terjadi ketidakadilan dan penindasan di masyarakat atau menjadi mereka yang menjebak masyarakat pada perang identitas yang malah semakin menjauhkan cita-cita Islam sebagai agama yang damai pada sesiapapun.
Dengan menciptakan tradisi intelektual yang baik maka cita-cita membangun “kota yang penuh kebaikan” (Madinatul Fadilah) akan terwujud dengan segera. Jika ini terwujud maka jarak kesenjangan pengetahuan akan terpangkas dan umatpun akan terlepas dari model-model kejumudan yang ada di dunia ini.