Ranah sosial media kita belakangan diramaikan oleh isu akan dihapuskannya pelajaran agama di sekolah. Isu ini dikaitkan dengan setidaknya dengan dua peristiwa. Pertama, dengan video emak-emak di Makassar yang mengampanyekan Prabowo-Sandi dengan dalih bahwa jika Jokowi terpilih, pelajaran agama akan dihapus, pesantren akan dibikin menjadi sekolah umum.
Kedua, berkaitan dengan kritik Setyono Darmono tentang ‘dampak’ dari pelajaran agama di sekolah yang menurutnya melahirkan sikap eksklusif dan bahkan radikalisme. Sisanya, isu ini menjadi viral berkat banyak akun anonim atas dukungan like dan sebarkan para warganet.
Yang jelas, isu ini kemudian menjadi bahan bakar tudingan terhadap pemerintah yang dianggap anti-Islam. Tudingan yang sudah sering kita dengar terutama di sepanjang pilpres 2019 ini. Isu yang dimanfaatkan kalangan post-Islamis di tengah riak populisme Islam. Narasi anti-Islam biasanya dilekatkan dengan asumsi bahwa Islam dan Muslim didiskriminasi, dimarjinalisasi, dan dilemahkan secara ekonomi-politik.
Proses diskiriminasi, marjinalisasi, dan pelemahan tersebut merupakan bukti adanya sentimen anti-Islam di tubuh pemangku kebijakan dan kekuasaan politik. Atas dasar itulah, menurut cara pandang populisme Islam, masyarakat muslim harus ‘merebut’ kembali kekuasaan demi kepentingan dan kemaslahatan Islam.
Itu sebabnya, isu penghapusan pelajaran agama di sekolah tidak hanya perlu diklarifikasi dalam konteks benar-tidaknya isu tersebut, tetapi lebih jauh, harus pula dibuktikan ketidakmungkinananya demi mematahkan asumsi narasi anti-Islam yang selama ini dituduhkan.
Hal ini penting demi upaya rekonsiliasi yang belum apa-apa sudah diciderai oleh hoax dengan sentimen keagamaan. Tapi sebelum itu, mari kita mula-mula jawab pertanyaan pertama: benarkah isu penghapusan pelajaran agama di sekolah? Seberapa benar, jika itu mungkin? Seberapa keliru, jika itu mustahil?
Ada dua pendekatan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, dengan jawaban resmi dari pihak pemangku kebijakan dalam pengelolaan lembaga pendidikan di Indonesia. Dalam hal ini, Kementerian Pendidikan dan Kementerian Urusan Agama. Dan dari kedua kementerian tersebut kita sudah mendapat jawaban yang super jelas: tidak dan tidak mungkin.
Pelajaran agama bahkan sedang diperbaiki kualitasnya, disinergikan dengan ‘pendidikan’ non-formal di luar kelas, bahkan di negara sekulerpun ada pelajaran agama, jadi bagaimana mungkin Indonesia sebagai bangsa religius kok mau-maunya, atau berani-beraninya, menghapuskan pelajaran agama?
Kedua, melalui analisa sosiologis dengan menggunakan symbolic power sebagai pendekatan. Sederhananya, setiap orang berlaku tidak sepenuhnya bebas, tetapi dipengaruhi, bahkan dikontrol, oleh aturan sosial, sistem politik, nilai-nilai dan norma agama serta kultur. Sepanjang sejarah bangsa Indonesia, agama adalah symbolic power yang sangat kuat, bahkan makin menguat pasca intensifikasi populisme Islam. Bangsa Indonesia sendiri, menurut riset Gallup dan Pew Research Center, adalah bangsa yang meyakini agama sebagai elemen fundamental dalam kehidupan.
Keyakinan tersebut pada akhirnya memperkuat power agama sebagai role of conduct masyarakat. Para pemangku kebijakan dan politisi, yang berharap mendapat dukungan dari masyarakat, pada akhirnya harus patuh pada agama—kecuali kalau ingin ‘dilawan’ habis-habisan.
Itu sebabnya kebijakan pro-syariah menjadi kebijakan populer, baik oleh partai berideologi Islam maupun tidak. Dari kacamata ini, bagi saya, adalah tidak mungkin pemerintah seteledor itu mau menghapus pelajaran agama—apalagi ketika mereka tahu gelombang religiusitas sedang tinggi-tingginya. Memaksakan kebijakan tersebut, secara singkat, akan seperti menyiram bensin ke kobaran api. Sebuah misi bunuh diri.
Tapi ya itu tadi, seberapa mustahil dan terbantahkannya isu tersebut, kadang kita tidak mau mendengar. Kita hanya mau mempercayai sesuatu yang sesuai dengan nilai-nilai dan asumsi yang kita yakini—yang tidak selalu benar. Bagi mereka, isu ini menjadi justifikasi, pembenaran, bukti, dan dalil atas apa yang selama ini ditudingkan kepada Jokowi, terutama dan secara khusus, dan pemerintah, secara umum. Padahal kalau kita mau fair, umat Islam sebetulnya mendapat banyak sekali privilege, termasuk dalam hal pendidikan agama di sekolah-sekolah umum.
Menyadari privilege yang diformalisasi melalui sejumlah aturan dan kebijakan pemerintah mestinya secara tidak langsung membantah narasi pemerintah sebagai anti-Islam. Tetapi untuk sampai pada kesadaran itu butuh upaya peningkatan kualitas literasi—salah satunya—di kalangan umat Islam.
Sejumlah persoalan yang kita hadapi saat ini, termasuk dalam riak populisme Islam, dapat kita tarik akarnya hingga ke persoalan timpangnya semangat religiusitas yang tinggi dengan pemahaman keagamaan serta literasi media dan politik yang kurang memadai. Alhasil, religiusitas dapat dengan mudah dipolitisasi—bahkan hanya dengan mengandalkan hoax.
Dalam isu ini saja, ada dua miskonsepsi yang dapat kita jaring dan kontestasi. Pertama, kritik Darmono atas pelajaran agama dijadikan justifikasi bahwa pelajaran agama mau dihapuskan oleh pemerintah sekaligus membuktikan anggapan yang ‘disuarakan’ oleh, salah satunya, emak-emak yang mengenakan seragam berlogo PKS di Makassar di masa pilpres. Padahal Darmono bukan bagian dari pemerintahan. Darmono hanya menyampaikan kritik. Dan di iklim demokrasi, kritik adalah hal wajar.
Kedua, kritik Darmono atas pelajaran agama di sekolah juga ditafsiri sebagai sikap anti-Islam. Padahal, yang dikritik bisa jadi bukan ‘agama’ atau ‘pelajaran agama’-nya, tetapi pada bagaimana pelajaran itu diimplementasikan di sekolah. Sebagaimana kita tahu, agama itu ideal, tetapi pengajaran agama di sekolah—dengan segala keterbatasan waktu, sumber daya, dan lain-lain—akan selalu tidak, dan/atau, kurang ideal. Artinya, implementasi pelajaran agama di sekolah tidak bebas kritik. Dan upaya perbaikan dapat dilakukan atas kritik yang masuk.
Misalnya, pelajaran sejarah Islam selalu berfokus (terutama) pada sejarah perang dalam Islam. Padahal kalau kita ingin menyerap saripati kebudayaan Islam dan mencari akar (rootedness) kita di masa silam, ada banyak sekali pelajaran di masa-masa damai perjuangan dakwah Nabi dan para sahabat yang secara durasi jauh lebih lama ketimbang masa-masa perang.
Dominasi sejarah perang dalam pelajaran sejarah Islam ini problematis karena melahirkan pemahaman keislaman yang fragmented sekaligus kontradiktif. Bagaimana tidak? Islam adalah agama yang damai tetapi yang di-highlight terutama sejarah perang, yang diingat hanya para sahabat yang menjadi pahlawan perang. Sehingga tidak menghadirkan gambaran masa silam yang lebih utuh, sehingga para siswa kurang mampu memahami konteks situasi.
Dan jika sudah berbicara penghadiran pelajaran Islam yang utuh dan kontekstual, lagi-lagi kita berbicara soal literasi, sedangkan literasi terkandung dalam wahyu pertama Islam: iqra. Thus, di tengah gempuran informasi akibat disrupsi dan penguatan populisme Islam akibat ketercerabutan ‘akar spiritualitas’, adalah penting bagi kita untuk tidak reaktif tetapi kritis agar tidak gampang merasa sedikit-sedikit Islam sedang dilemahkan, sedikit-sedikit menuduh suatu pihak anti-Islam, karena sikap tersebut justru sangat tidak Islami— sangat anti-Islam.
Wallahu a’lam.