Jika Anda merasa sesak nafas mengikuti debat tentang desain segitiga Masjid Al-Safar Bandung, ada baiknya Anda mengingat kembali keasyikan persahabatan Gus Dur daengan Romo Mangun. Kisah persahabatan kedua tokoh ini memberi teladan bahwa agama dan keberagamaan bisa dihayati dengan kelegaan dan senyuman. Kedekatan keduanya bahkan telah menjadi simbol bagi gerakan kemanusiaan dan pesaudaraan lintas iman di Indonesia.
Kedekatan Gus Dur dengan Romo Mangun terlihat sangat jelas saat sang Romo mendahuluinya menghadap Tuhan. Saat Romo Mangun wafat, Gus Dur menulis sebuah esai yang sangat ngelangut. Di awal esainya, Gus Dur menuturkan sebuah kisah pada satu malam di sebuah sanggar Hindu di Pulau Bali. Di malam itu, dia, Romo Mangun dan Ibu Gedong Bagus Oka berdiskusi tentang konsep wali atau santo atau orang suci. Diskusi itu mengantarkan ketiganya pada sebuah titik yang satu: beragama adalah pengabdian kepada Tuhan dan perjuangan membela kemanusiaan.
Sekalipun demikian, kisah persahabatan Gus Dur dengan Romo Mangun tidak hanya berisi kisah-kisah serius yang epik, tapi juga gurauan-gurauan enteng yang asyik. Baik Gus Dur maupun Romo Mangun dikenal sebagai orang-orang yang suka mengeluarkan joke-joke segar.
Bayangkan, jika “dua tokoh agama plus pelawak” bersahabat, pasti kisah yang muncul tidak hanya tentang masalah-masalah teologis, tapi juga candaan-candaan segar yang mencerahkan. Bahkan, hal-hal yang bagi orang lain mungkin dianggap serius dan sensitif, bagi mereka bisa menjadi bahan tertawaan.
Konon, suatu hari Gus Dur singgah di kediaman Romo Mangun. Seperti biasa, Gus Dur istirahat di kamar yang sudah disiapkan. Saling singgah di antara keduanya bukan hal aneh. “Keanehan” baru muncul saat waktu shalat tiba dan Gus Dur hendak menunaikan shalat. Mendadak, Romo Mangun meminta Gus Dur untuk menundanya sebentar. Tentu saja Gus Dur kaget, “Ada apa?” tanyanya. Romo Mangun menjawab, “Sebentar Gus, di diding tepat di depan Gus Dur akan shalat tergantung salib. Saya akan melepasnya dulu.” Spontan Gus Dur menjawab, “Tidak usah, toh saya juga gak bisa lihat.” Keduanya pun terkekeh-kekeh.
Ah Gus Dur, betapa asyiknya dia dalam menghayati agamanya. Dia tidak menginginkan sahabatnya repot-repot mencopot salib yang bahkan untuk melaksanakannya mungkin tidak membutuhkan waktu satu menit. Salib yang tergantuntung di dinding depannya saat dia shalat sama sekali tak meluruhkan imannya, pun tak membatalkan shalatnya.
Coba bandingnkan dengan seorang ustadz yang heboh mempermasalahkan desain segitiga di sebuah masjid dan meyakini bahwa segitiga itu dapat menggugurkan keimanan dan membatalkan shalat, karena diyakini sebagai simbol illuminati.
Jika setiap segitiga dianggap sebagai illuminati, betapa banyaknya illuminati di sekitar kita, mulai potongan tempe goreng, rambu lalu lintas, hingg desain celana dalam. Ini sebetulnya adalah cara kerja asosiatif dalam otak kita, seperti anak kecil yang teriak ada gajah terbang saat melihat gumpalan-gumpalan awan di angkasa yang memang sering terlihat seperti bentuk-bentuk tertentu. Kerja-kerja asosiatif otak ini jika digabung dengan mental paranoid, bisa membuat seseorang mengasosiasikan apa saja dengan simbol-simbol tertentu yang menakutkan.Misalnya, simbol BI di uang kertas diasosiakan dengan palu arit, atau model anyaman tertentu sangkar bambu dianggap menyerupai simbol zionisme.
Lagi pula, terlepas dari berbagai teori konspirasi yang menyelubunginya, illuminati sendiri sama sekali tidak lahir dalam konteks sejarah Islam. Jika kita mengikuti salah satu versi, illuminati lahir sebagai gerakan perlawanan terhadap Gereja Katolik di Barat yang dianggap terlalu mengekang perkembangan sains. Illuminati muncul saat era Pencerahan di abad ke-18. Bahkan, istitilah ‘illumination’ sangat dekat, atau bahkan bersinonim, dengan istilah ‘englightenment’, di mana keduanya bermakna pencerahan atau penerangan.
Gerakan Pencerahan atau yang juga dikenal dengan istilah jermannya, Aufklarung, adalah gerakan intelektualisme Eropa abad ke-18 yang memberi kedudukan penting pada akal budi manusia. Gerakan ini merupakan reaksi atas dominasi Gereja Katolik yang dianggap tidak bersahabat dengan rasio.
Salah satu semboyan penting era ini adalah apa yang diteriakkan oleh Emmanuel Kant, “Sapere Aude!” yang berarti “beranilah berpikir sendiri”. Dari Gerakan Pencerahan ini Eropa kemudian mengalami dua revolusi yang betul-betul mengubah wajahnya: Revolusi Inggris 1688 dan Revolusi Prancis 1789. Revolusi yang terakhir itu jelas-jelas menunjukkan karakter permusuhannya terhadap kekuasaan gereja.
Jadi, jika ada pihak yang sensi dengan segitiga, mestinya itu adalah umat Katolik. Lha ini, umat Katolik tenang-tenang saja, malah sekelompok umat Islam yang tidak ada sangkut paut apapun dengan sejarah illuminati nge-gas ke sana kemari. Seakan-akan, illuminati adalah gerakan untuk menghancurkan Islam.
Bayangkan, seandainya Romo Mangun masih hidup, terus ada sekelompok umat Katolik yang kadar sensi-nya over dosis, protes tentang banyaknya bangunan atau simbol segitiga di Indonesia, mungkin Romo Mangun akan tertawa terkekeh-kekeh sambil mengelus-elus jenggotnya.
Sekarang, bayangkan andaikan Gus Dur masih hidup, dan didatangi sekelompok orang Islam yang mengadu tentang keberatannya terhadap desain segitiga di Masjid Al-Safar Bandung, dia mungkin dengan enteng akan bilang seperti ini, “Pejamkan mata saja saat shalat biar gak bisa melihat segitiga itu. Gitu saja kok repot!” Wallahu a’lam bi al-shawab.