Buku yang mengkaji pemikiran agama dan aktivitas politik KH. Hasyim Asy’ari ini adalah satu dari sekian buku biografi ihwal Hadratus Syaikh “Founding Father” khittah NU 1926 itu. Meskipun kita sangat jarang menemukan buku biografi kiai-kiai Nusantara yang menggunakan bahasa seindah gubahan-gubahan Ramadhan KH untuk para tokoh pergerakan nasionalis, namun kita bersyukur bahwa dokumentasi mengenai sosok penggerak Islam Nusantara dari era kolonial tak kurang dan masih dapat dilacak jejaknya.
Buku ini merupakan tesis yang mengantar kelulusan Drs. Lathiful Khuluq, MA dari Mc Gill University, Montreal serta mendapat kata pengantar langsung dari pembimbingnya di Jurusan Islamic Studies, Dr. Howard M Federspiel. Pertama kali, Penerbit LKiS Yogyakarta mengedarkannya tahun 2000 dan hingga tahun 2013 mencapai Cetakan VI.
KH Hasyim Asy’ari lahir pada tahun 1871, tahun-tahun setelah era perjuangan bersenjata kaum Muslim santri masa Perang Paderi, Perang Diponegoro serta Perang Aceh melawan penjajah kolonial berlalu. KH Hasyim Asy’ari hadir menyongsong zaman bergerak, zaman setelah politik etis menunjukkan dinamisasinya pada Hindia Belanda, zaman yang sama dengan lahirnya tokoh-tokoh modernis seperti KH Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), HOS Cokroaminoto (Pendiri Syarekat Islam), dan juga A. Hassan (Pendiri Persis).
Sketsa dalam buku ini, walaupun secara implisit namun cukup terstruktur untuk mendedah korelasi antara sikap-sikap politik KH Hasyim Asy’ari dengan latar belakang pribadi beliau. Ia merupakan keturunan Ulama di Jombang, belajar pada banyak pesantren di Jawa, kemudian meneruskan untuk belajar pada ulama Sunni di Hijaz. Keterangan itu akan memaparkan jawaban mengapa lahir Qanun Al-Asasi An Nahdah Al Ulama yang menetapkan bahwa yang dimaksud Nahdiyyin adalah mereka yang bermahzab pada Imam yang empat (Hanafi, Hambali, Syafii, Maliki), berfaham Asy’ariyyah, menggunakan teologi sufi Junaid Al Baghdadi, Al Ghazali dan Al Maturidi serta mengambil keputusan fiqh berdasarkan interpretasi ulama Mazhab Syafi’I yakni Syaikh Hasan Al Hadrami.
Berangkat dari bangunan identitas itu, pada akhirnya saya paham bahwa istilah “tradisionalis” bukan sekadar lawan dari kata “modernis” secara literal. Kata tradisionalis merupakan sebuah sikap berpikir yang melahirkan strategi perlawanan kebudayaan yang khas. Kita akan mendapati KH Hasyim Asy’ari yang menyerap karya Abduh dan tafsir Jamaludin Al afghani tetapi tetap keukeuh pada keteguhannya untuk berbaiat pada mahzab. KH Hasyim Asy’ari memilih untuk mundur ke pelosok-pelosok mendirikan pesantren, mengajar. Ini adalah sebuah strategi mutakhir untuk melawan sistem pendidikan yang mengajarkan berpikir ala Barat.
Mbah Hasyim mendidik secara khusus anak-anak para ulama yang akan kembali ke daerahnya untuk meneruskan pesantren ayahanda-ayahanda mereka serta mengawinkan mereka dengan lingkaran-lingkaran pesantren yang telah lama memiliki hubungan erat. Meskipun memilih jalan sunyi itu, namun, beliau tetap mengijinkan KH Wahab Hasbullah bergabung dengan Syarikat Islam, juga mengirim putranya KH Wachid Hasyim menjadi panitia PPKI serta mengisi ruang Kementrian Keagamaan.
Ini sebuah buku “praktis” yang menarik untuk mengenal KH Hasyim Asy’ari, kiprahnya sepanjang masa kolonial, pendudukan Jepang, zaman kemerdekaan serta pasca kemerdekaan. Lebih dari itu, informasi di dalamnya membantu kita untuk memahami mengapa khususnya “Nahdhatul Ulama” berumur panjang, dinamis serta progresif. Sebab, secara khusus, embrionya lahir dari rahim yang kuat namun juga meninggalkan berbagai mimbar terbuka yang nampaknya sengaja tak diselesaikan.
Bukankah tugas kemanusiaan adalah untuk terus mencari kemungkinan?