Beberapa hari belakangan ini, kita semua rakyat Indonesia, sedang ramai menikmati berjalannya transparansi hukum melalui siaran langsung persidangan Mahkamah Konstitusi perihal pilpres tahun ini. Kita bisa menikmati linimasa di laman sosial media kita dengan berbagai respon warganet, yang paling menarik adalah saksi-saksi yang dihadirkan, banyak yang menganggapnya sebagai komedi belaka tetapi tidak sedikit yang meragukan kualitas kesaksian dari para saksi. Bagaimanakah perspektif syariat dalam menyikapi kesaksian palsu di pengadilan?
Prosedur pengadilan yang lumayan dijelaskan secara rinci dan panjang di Al-Quran adalah terkait perzinahan. Firman Allah dalam surat An-Nur ayat 2 sampai 20 menjelaskan tentang had (hukuman) zina yaitu 100 kali cambuk, prosedur pengadilannya beserta larangan perihal tuduhan tanpa saksi dan kesaksian palsu. Kurang lebih isinya seperti ini, untuk mendakwa seseorang telah berzina, pelapor harus mendatangkan minimal 4 saksi yang benar-benar menyaksikan perzinahan tersebut. Jika gagal mendatangkan 4 saksi, maka pelapor dianggap berdusta dan mendapat hukuman dera 80 kali dan kesaksiannya tidak boleh diterima lagi selamanya.
Jika pelapor adalah sang suami atau istri, dan tidak memiliki saksi kecuali dirinya, harus bersumpah 4 kali bahwa kesaksiannya benar, dan bersumpah sekali lagi menyatakan dia rela diazab Allah apabila dia berbohong. Pasangan yang tertuduh tidak boleh dikenai hukuman apabila dia juga bersaksi 4 kali bahwa dia tidak berzina dan menyatakan diri rela atas azab Allah apabila dia berdusta. Jadi intinya, hukuman dera untuk pezina tidak bisa dilaksanakan apabila tidak ada minimal 4 saksi dan/atau pengakuan.
Lanjutan dari ayat tersebut adalah keharusan kita bersikap kritis ketika menerima berita terutama ketika menerima berita buruk tentang orang lain, lebih baik kita mengedepankan prasangka baik dan adalah dosa besar kalau kita meneruskan berita itu kepada orang lain padahal kita belum mengecek kebenarannya.
Kembali lagi terkait kesaksian palsu, dalam suatu riwayat Imam Bukhari, Nabi SAW mengkategorikan kesaksian palsu sebagai dosa besar yang setara dengan syirik dan durhaka kepada orang tua.
Dari Abdurrahman bin Abu Bakrah dari Ayahnya radhiyallahu ‘anhu dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak maukah aku beritahukan kepada kalian sesuatu yang termasuk dari dosa besar? Kami menjawab; “Tentu wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Menyekutukan Allah dan mendurhakai kedua orang tua.” -ketika itu beliau tengah bersandar, kemudian duduk lalu melanjutkan sabdanya: “Perkataan dusta dan kesaksian palsu, perkataan dusta dan kesaksian palsu.” Beliau terus saja mengulanginya hingga saya mengira beliau tidak akan berhenti.” (HR Bukhari no. 5519)
Mengapa konsekwensi saksi palsu bisa setara musyrik alias menganggap ada yang Maha Kuasa selain Allah, sesuatu yang kita ketahui sebagai dosa terbesar bagi seorang muslim? Karena Al-Qur’an menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, kita diharuskan bersikap adil meskipun itu akan memberatkan kerabat sendiri (QS Annisa :135) atau dari kelompok/golongan kita sendiri (QS Al-Maidah : 8) .Al-Quran surat Al-Furqon ayat 68-72 menjelaskan tentang konsekwensi siksaan berlipat bagi orang musyrik dan termasuk juga pelaku syahadat zur alias saksi palsu.
Bersaksi bohong merupakan suatu hal yang sangat berbahaya karena bisa menjatuhkan hukuman atau putusan cacat yang akan menciderai keadilan dan kejujuran yang dijunjung Islam. Sebagai orang yang beriman dan warga negara yang rindu keadilan bisa tegak di negri ini, sudah tentu kita tidak sepatutnya melakukan dan menolerir kebohongan dalam persaksian di pengadilan.