Emha Ainun Najib atau yang lebih dikenal Cak Nun adalah satu dari sekian tokoh yang menjadi panutan di Indonesia. Melalui ‘Maiyah’, Emha Ainun Najib kerapkali mengajak masyarakat untuk belajar kembali, belajar bersama dalam menyikapi persoalan sehari-hari. Tak terkecuali dalam menyikapi doa yang selama ini tertera dalam undangan-undangan pernikahan untuk kedua mempelai. Seperti yang telah banyak diketahui, doa yang tertera dalam undangan-undangan pernikahan umumnya berbunyi ‘Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, wa rahmah.
Tidak seperti banyak kalangan yang lebih memilih untuk langsung mengamini, bagi Emha Ainun Najib, doa tersebut seperti menyimpan sebuah kejanggalan. Ada beberapa hal yang barangkali menjadi catatan Emha dalam menyikapi doa tersebut.
Pertama, redaksi ‘semoga’ dalam doa tersebut bagi Emha tidak sepatutnya disejajarkan dengan kata rahmah. Bagi Emha, rahmah adalah pasti. Dalam arti bahwa semua adalah bagian dari rahmah Tuhan. Rahmah tersebut selalu ada dan menaungi kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itulah, tidak sepatutnya kata rahmah yang mengandung arti kepastian itu disemogakan lagi. Sebagai contoh, seperti manusia yang menanam padi dan kemudian padi itu dengan sendirinya tumbuh dan seterusnya. Bagi Emha, tanpa adanya rahmah manusia tidak akan sanggup menumbuhkan padi tersebut.
Ketimbang menerjemahkan kata rahmah dalam arti sempit, yakni kasih sayang, Emha lebih memilih menerjemahkan rahmah dalam arti yang lebih luas yakni bahwa rahmah Tuhan selalu dan atau pasti untuk manusia. Dengan kata lain, bahwa rahmah Tuhan selalu ada dan pasti untuk manusia. Begitu pula dalam kehidupan kedua mempelai pasca melangsungkan pernikahan.
Kedua, bagi Emha kata mawadah berarti rasa selalu ingin menyatu. Suami dan istri diibartakan memiliki daya magnetik. Daya tarik menarik secara terus menerus. Bagi Emha, daya tarik menarik antara suami dan istri tersebut juga pasti, seperti halnya rahmah. Bahkan Emha mempertanyakan jika tidak ada daya tarik menarik lalu untuk apa menikah. Menikah bagi Emha tidak lain adalah karena adanya daya tarik menarik tersebut. Daya ingin selalu menjadi satu.
Ketiga, perihal sakinah. Tidak seperti rahmah dan mawadah yang pasti, bagi Emha sakinah tidaklah pasti. Ketidakpastian itu menurut Emha ditengarai dari redaksi ‘li taskunu ilaiha’ dan redaksi ‘li taskunu fiha’ yang terdapat dalam al-Qur’an. Emha menerjemahkan redaksi yang pertama yang menggunakan ‘ilaiha’ yang berarti ‘menuju’ dalam arti sebagai sebuah proses. Berbeda dengan redaksi ‘fiha’ yang mengisyaratkan bukan lagi sebuah proses. Hematnya adalah karena dalam proses menuju sakinah menurut Emha meski diusahakan secara terus menerus. Sebagai contoh, seperti berusaha agar bagaimana tidak terjadi pertengkaran dan sebagainya.
Bagi Emha, atas dasar itulah doa yang terdapat dalam undangan-undangan pernikahan meskinya menggunakan redaksi ‘Dengan mawadah wa rahmah dari Allah SWT di dalam diri mempelai, semoga menjadi keluarga sakinah’. Dengan kata lain, sebuah pernikahan itu diharapkan akan menjadi sakinah karena rahmah dan mawadah merupakan hal yang sudah pasti ada.