Dalam memahami sebuah hadis, seseorang harus dapat membedakan mana yang ajaran Islam dan mana budaya arab. Salah satu yang sering diperdebatkan adalah masalah berpakaian. Apakah seseorang diharuskan memakai pakaian yang sama persis dengan pakaian Nabi Muhammad SAW? Apakah cara berpakaian Rasul adalah ajaran Islam atau sekedar budaya Arab? Pertanyaan ini akan selalu muncul apabila belum bisa membedakan antara ajaran agama dan budaya.
Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub, seorang pakar hadis, menjelaskan bahwa hadis yang berkaitan dengan cara berpakaian Nabi adalah masuk dalam ranah budaya arab, bukan sebagai ajaran syariat. Cara berpakaian yang dimaksud di sini adalah seperti mengenakan gamis, surban, imamah, dan lain sebagainya.
Pada zaman itu, masyarakat arab sudah terbiasa mengenakan pakaian seperti itu. Tak hanya Nabi dan para sahabat, para penentang agama Islam pun mengenakan pakaian yang sama dalam kesehariannya. Hal ini juga dipengaruhi kondisi cuaca dan kondisi fisik orang arab pada saat itu.
Walaupun begitu, Islam tetap memberi tuntunan dalam berpakaian. Tuntunan ini bersifat syar`i sehingga berlaku secara umum, baik itu bagi orang arab maupun non-arab. Diantaranya adalah :
1. Menutup Aurat
Menutup aurat adalah kewajiban bagi setiap muslim. Aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut, sedangkan aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Hal ini berdasarkan hadis Nabi :
“Segala sesuatu yang berada di atas lutut adalah aurat (laki-laki), dan segala sesuatu yang berada di bawah pusar juga termasuk aurat (bagi laki-laki) (HR. Dariqithni dan Baihaqi)
Serta berdasarkan ayat Alquran:
“Janganlah mereka (perempuan-perempuan) menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (QS. An Nur: 31)
Jumhur mengatakan bahwa yang dimaksud perhiasan adalah anggota badan, sedangkan yang dimaksud yang biasa nampak adalah wajah dan telapak tangan. (Ibn Katsir 3/283)
2. Tidak Transparan
Maksudnya adalah transparan yang dapat memperlihatkan aurat. Syaikh Abu Bakar Syatha Al-Dimyati dalam kitabnya I`anatut Thalibin mengatakan bahwa wajib menutup aurat menggunakan sesuatu yang mencegah mata melihat warna kulit, maka tidak cukup menggunakan bahan yang tidak dapat mencegahnya. Sehingga memakai pakaian transparan adalah sama saja tidak memakai pakaian karena tidak dapat mencegah terlihatnya kulit.
3. Tidak menyerupai lawan jenis
Islam melarang pakaian yang menyerupai lawan jenis. Hal ini berdasarkan hadis nabi:
Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki” (HR. Al-Bukhâri,Abu Dawud, Tirmidzi)
Lalu bagaimana standar pakaian itu menyerupai lawan jenis atau tidak? Sayyid Abdurrahman Ba’lawi dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin mengatakan bahwa batasan menyerupai lawan jenis adalah berhias dengan sesuatu yang dikhususkan untuk lawan jenis, atau secara umum di daerah tersebut hiasan itu dikhususkan untuk lawan jenis
4. Tidak ketat
Pakaian ketat tidak dianjurkan dalam Islam. Para ulama tidak sampai mengharamkan pakaian ketat, namun tidak menganjurkannya. Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari al-Fanani dalam kitab Fathul Mu`in menjelaskan bahwa orang yang memakai pakaian ketat tetap sah salatnya, namun hal ini termasuk khilafatul aula (menyalahi keutamaan). Sedangkan Syaikh Abu Bakar Syatha Al-Dimyati dalam kitabnya I`anatut Thalibin, menambahkan bahwa seorang perempuan makruh mengenakan pakaian ketat saat sholat.
Itulah keempat kriteria pakaian yang Islami menurut syariat. Islam tidak membatasi gaya model berpakaian dengan pakaian arab. Namun Islam memberikan batasan syariat yang jelas dan berlaku untuk seluruh umat Islam sedunia, baik arab maupun non-arab.