Mendamaikan Hisab dan Rukyat: Meminimalisir Biaya dan Tenaga

Mendamaikan Hisab dan Rukyat: Meminimalisir Biaya dan Tenaga

Ini bisa menjadi jalan tengah (al-manhaj al-wasthy), sekaligus menjadi ajang perdamaian antara yang fanatik rukyat dan yang fanatik hisab.

Mendamaikan Hisab dan Rukyat: Meminimalisir Biaya dan Tenaga
Cara melihat hilal

Dalam menentukan awal bulan Ramadan dan bulan Syawal untuk memulai dan mengakhiri puasa, sampai saat ini jumhur (mayoritas ulama) berpedoman pada rukyat. Yang dimaksud adalah melihat bulan baru (hilal) dengan mata kepala (Rukyah bashariyah), bukan penglihatan ilmiah (rukyah ilmiyah) dengan menggunakan perhitungan (hisab).

Bila penglihatan riil dengan mata kepala tidak terjadi meski karena terhalang awan, mereka menggenapkan bulan Sya’ban/Ramadhan menjadi 30 hari.

Dasar mereka adalah hadis riwayat Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda:

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين يوما.

“Berpuasalah kamu ketika telah melihat hilal Ramadan dan berhentilah kamu berpuasa ketika telah melihat hilal bulan Syawal, jika hilal tertutup bagimu maka genapkanlah bulan syakban menjadi 30 hari”. (HR. al-Bukhari dan Muslim.

Dalam hadis riwayat Ibnu Umar Nabi SAW bersabda:

لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه، فإن غم عليكم فاقدروا له

Janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat hilal (ramadan) dan janganlah kamu berhenti berpuasa sehingga kamu melihat hilal syawal, jika jika hilal tertutup bagimu maka…

Bagi jumhur, sabda Nabi (Faqduruu lah) merupakan tafsir/penjelasan terhadap sabda Nabi pada hadis yang pertama, (fakmilul ‘iddah) yang bermakna: sempurnakanlah bilangan menjadi 30 hari.

Salah seorang imam besar dari kalangan ulama Syafi’iyah, Abu al-Abbas Ahmad bin Umar bin Suraij mengkompromikan dua riwayat hadis di atas dengan menggunakan pendekatan yang dalam istilah sekarang disebut dengan teori multi-dimensi (nadzariyah ta’addud al-ab’ad), yaitu bahwa sabda Nabi (faqduru lah) bermakna: “Perkirakanlah hilal itu dengan menghitung posisi-posisi-nya.”

Ini ditujukan kepada mereka yang oleh Allah Swt dianugerahi pengetahuan tentang hisab, sedang sabda Nabi (Fakmilu al-‘iddah) ditujukan kepada mereka yang awam di bidang ilmu itu. (Fatawa al-Qardhawi)

Yang menarik adalah pendapat Imam Taqyuddin al-Subki, yang diakui memiliki kapasitas sebagai mujtahid. Pendapat beliau dalam masalah ini antara lain dikemukakan oleh Sayyid Abu Bakar Syatha di dalam Hasyiyah I’anah al-Thalibin:

(فرع) لو شهد برؤية الهلال واحد او اثنان واقتضى الحساب عدم امكان رؤيته ، قال السبكي: لا تقبل هذه الشهادة، لان الحساب قطعي والشهادة ظنية، والظن لا يعارض القطع.

Jika satu orang atau dua orang bersaksi bahwa dia atau mereka telah melihat hilal sementara secara hisab hilal tak mungkin terlihat, maka menurut al-Subki kesaksian itu tidak diterima, karena hisab besifat pasti sedangkan rukyat bersifat dugaan, tentu yang bersifat dugaan tidak bisa mengalahkan yang pasti.”

Substansi dari pendapat ini ialah bahwa hisab menjadi dasar dalam rangka menafikan, tidak dalam rangka menetapkan.

الحساب حجة في النفي لا في الإثبات

Sayyid Abu Bakar Syatha mengomentari pendapat Imam al-Subki dengan mengatakan:

والمعتمد قبولها، إذ لا عبرة بقول الحسٌاب

Menurut yang mu’tamad, kesaksian tersebut diterima, karena pendapat ahli hisab tidak mu’tabar (tidak masuk hitungan).

Alasan Imam al-Subki, “Lianna al-hisab qath’iy war ru’yah dzanniyah (karena hisab sifatnya pasti sedangkan rukyah praduga) untuk menolak rukyat ketika bertentangan dengan hisab perlu digarisbawahi kemudian ditarik ke kondisi saat ini di mana ilmu astronomi modern telah begitu maju dan akurasinya benar-benar meyakinkan (qath’iy).

Dengan ilmu ini, para ahli astronomi bisa memprediksi terjadinya gerhana beberapa ratus tahun sebelum terjadinya dengan sangat akurat menyangkut tahun, bulan, minggu, hari dan jam, bahkan menitnya.

Dengan begitu akuranya ilmu astronomi saat ini maka rukyat yang semula bersifat dugaan kuat (madhnuunah)، ketika bertentangan dengan hisab turun menjadi sesuatu yang diragukan (masykuuk fiiha), bahkan hanya bersifat asumsi saja (mauhuumah).

Pendapat imam al-Subki ini merupakan jalan tengah (al-manhaj al-wasthy), sekaligus menjadi ajang perdamaian antara yang fanatik rukyat dan yang fanatik hisab.

Jika pemerintah berpegang pada pendapat ini maka tidak perlu menyiapkan tenaga dan biaya yang cukup besar yang dibutuhkan untuk melakukan pemantauan hilal, ketika seluruh ahli hisab/astronomi sepakat mengatakan bahwa hilal tidak mungkin dirukyat.

Wallahu a’lam.