Kiai Hasyim Muzadi adalah figur kharismatik yang sering dikait-kaitkan dengan jargon “Islam Rahmatan lil Alamin”. Sebuah jargon yang memiliki makna bahwa Islam adalah ajaran yang memberi rahmat bagi alam semesta. Pelabelan ini bukan tanpa dasar, sebab, Kiai Hasyim merupakan orang yang pertama kali menggulirkan jargon ini sebagai bentuk kepedulian dan sikapnya atas persoalan yang tengah melanda umat Islam.
Kekerasan-kekerasan atas nama agama (dalam hal ini Islam) yang dilakukan oleh sekelompok orang benar-benar mencederai dan mengotori kesucian agama itu sendiri. Oleh Karena itu, Kiai Hasyim berpikir bahwa umat Islam harus menunjukkan kepada dunia bahwa Islam adalah agama yang anti terhadap kekerasan.
Islam dipahami oleh Hasyim Muzadi sebagai “damai”, sedangkan rahmatan lil alaminbermakna rahmat bagi alam semesta. Dengan demikian, islam rahmatan lil alamin adalah Islam yang ajaran dan sikap keberagamaannya membawa keberkahan bagi alam semesta, bukan hanya bagi umat islam saja.
Entitas Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin pada titik tertentu mengakui eksistensi pluralitas agama. Sebab keragaman adalah sebuah keniscayaan (sunnatullah) yang tidak bisa dihindarkan (Hafid Fuad, UI, 2010: 75).
Moderatisme dalam pemahaman keagamaan adalah salah satu landasan utama ajaran Islam Rahmatan lil Alamin. Sebuah pemahaman yang memiliki argumen kokoh bahwa Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi alam semesta; wa ma arsalnaka illa rahmatan lil alamin (Tidaklah aku utus kau Muhammad kecuali untuk membawa rahmat bagi alam semesta).
Dalam pandangan Hasyim Muzadi, agar Islam bisa mewujud menjadi Islam yang membawa rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil alamin) harus bertumpu pada dua hal. Pertama, Islam harus mengutamakan pendekatan dialog(is) dalam menyelesaikan konflik-konflik global.
Kedua, impelementasi Islam harus dibangun berdasarkan kecerdasan dan ketakwaan dalam arti agama hendaknya diposisikan dalam dimensi kemanusiaan secara proporsional yang nantinya akan membentuk kesalehan sosial bukan hanya kesalehan individual. Kedua hal tersebut harus saling mengisi dan memperkuat satu sama yang lainnya.
Pandangan moderat dan terbuka Kiai Hasyim ini juga seiring dan sejalan dengan prinsip-prinsip universal syariat Islam (Maqashid al-Syariah). Di mana prinsip-prinsip universal tersebut harus menjadi tolok ukur dalam sikap dan cara pandang keagamaan seseorang. Sebab, dalam pendekatan maqashid yang dilihat adalah bentuk dan tujuan, bukan hanya isi atau kemasan.
Toleransi Sosiologis bukan Teologis
Meskipun dalam pandangan Hasyim Muzadi pluralitas adalah sebuah keniscayaan, bukan berarti ia menyetujui secara menyeluruh konsep dan gagasan pluralisme agama yang didengungkan oleh sekelompok orang. Bahkan bagi Hasyim masalah teologi dan ritual (transenden) adalah hak original agama masing-masing yang tidak boleh dicampuri dari luar. Sehingga doa bersama lintas agama bukanlah tukar-menukar teologi atau keimanan, namun sekadar tempat dan waktu yang bersamaan.
Pada titik ini, Hasyim Muzadi berusaha berada di tengah antara kelompok yang pro terhadap pluralisme dengan yang kontra. Oleh karenanya, Hasyim mencoba memberikan terminologi dan varian baru sebagai label tambahan pluralisme; pluralisme teologis dan pluralisme sosiologis.
Pluralisme teologis sebagaimana ia jelaskan di atas bahwa masalah teologi dan ritual yang bersifat transenden tidak boleh saling mencampuri antar satu agama dengan yang lainnya.
Sedangkan pluralisme sosiologis merupakan kebersamaan “umat” beragama dalam komunitas keduniaan atau immanent sebagai pengejawantahan Bhinneka Tunggal Ika atau unity and diversity karena setiap agama di luar teologi dan ritualnya pasti ada ruang humanisme dan di situlah umat lintas agama bertemu .
“Keimanan ‘tahu campur’ pasti ditolak semua agama karena hal tersebut bagian dari sekularisasi dan liberalisasi agama. Yang kita perlukan adakah co eksistensi atau multi eksistensi, dimana eksistensi agama yang independen diakui dan setingkat dengan kooperasi atau toleransi,” katanya.
Respon mengenai pluralisme sosiologis ini muncul saat Susilo Bambang Yudhoyono presiden Republik Indonesia menyematkan “Bapak Pluralisme” kepada Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang merupakan pendahulu Hasyim Muzadi di pucuk pimpinan PBNU.
Hal ini sebagaimana dilansir oleh NU Online, bahwa Pluralisme yang diperjuangkan oleh Nahdlatul Ulama (NU) di Indonesia adalah pluralisme sosiologis bukan plurarisme teologis. Pluralisme teologis justru merugikan teologi semua agama. Tidak ada keimanan atau keyakinan “tahu campur” dalam agama.
untuk meluruskan konsep pluralisme. Konsep pluralisme ini mengemuka menyusul meninggalnya KH Abdurrahman Wahid yang disebut oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Bapak Pluralisme
Mendirikan ICIS. Menyemai Islam Rahmatan Lil Alamin
Kampanye perang secara besar-besaran yang dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap terorisme pasca serangan 11 September 2001semakin meneguhkan tesis Huntington mengenai benturan peradaban Barat dan Timur (Baca; Islam). Pasca aksi tersebut, aksi-aksi kekerasan lain atas nama agama terjadi di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia. Puncaknya adalah tragedi Bom Bali I dan Bom Bali II.
Bagi Hasyim, dalam menghadapi terorisme, yang kita hadapi adalah teror dan isme. Teror harus dihadapi dengan intelligent territorial yang telah dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan “isme” yang disandarkan dan dilekatkan kepada pemahaman keagamaan, maka harus dilawan dengan upaya mengkampanyekan islam moderat.
Dari sini, pada tahun 2003, Hasyim berpikir untuk mengundak para ulama dan cerdik cendekia dari luar negeri untuk datang ke Indonesia. Tujuan utama diundangnya para tokoh ke Indonesia ini setidaknya untuk menyamakan persepsi dan untuk memiliki kesamaan niat untuk menekan konflik global. Acara ini diberi tajuk International Conference of Islamic Scholars (ICIS).
Keinginan menggelar acara internasional sekaligus membuat forum intelektual muslim dunia pun bersambut. Hasan Wirayuda yang saat itu menjawab sebagai Menteri Luar Negeri dan diajak kerjasama oleh Hasyim untuk mengkampanyekan Islam Rahmatan Lil Alamin ke seluruh dunia meresponsnya dengan baik. Bahkan, konon, Megawati yang saat itu menjabat sebagai Presiden merestui dan mendukung keinginan Hasyim Muzadi ini.
Pendirian ICIS ini setidaknya bertujuan untuk; Pertama, wadah penyampaian umat Islam moderat dalam kerangka Islam Rahmatan lil ‘Alamin tanpa melihat sekte maupun alirannya. Di sini yang dilihat adalah kesamaan visi, karena nilai moderat dapat dimiliki oleh semua aliran.
Kedua, ICIS sebagai “bridging” atau jembatan antara Timur dan Barat. Ketiga, ICIS berusaha meredam dan mengatasi sejumlah konflik umat islam di dunia. Keempat, ICIS memiliki perhatian dalam bidang ekonomi, pendidikan dan kebutuhan sosial lain yang sesuai dengan tuntutan zaman.
ICIS perdana digelar pada 23-25 Februari 2004 dan dihadiri oleh 174 peserta baik dari dalam maupun luar negeri. Gelaran ICIS berikutnya, ICIS II diselenggarakan pada tahun 2006 dan ICIS III pada tahun 2008.
Inilah kiprah KH. Hasyim Muzadi dalam menyemai benih-benih Islam Rahmatan Lil Alamin baik dalam tingkat lokal NU-Indonesia, maupun tingkat internasional; ICIS-Dunia. Sebuah jasa dan capaian yang luar biasa yang telah ditorehkan Kiai asal Tuban yang wafat 16 Maret 2017 kemarin ini.