Ketika membaca tentang begitu banyaknya korban wafat dari petugas KPPS dalam pemilu tahun ini, saya teringat kisah Conan dan pilihan kematian yang menghampirnya. Saat berusaha memecahkan kasus terror bom di kota Tokyo, Conan dan Polisi Takagi terjebak di dalam lift Tokyo Tower. Sembari menunggu bantuan datang, Conan menemukan bom yang diletakkan di atas lift.
Bom yang ditemukan oleh Conan dan Takagi adalah satu dari dua bom yang akan diledakkan hari itu. Tiga tahun sebelumnya, jenis bom yang sama meledak dan menewaskan Matsuda Jinpei, seorang polisi yang berusaha menjinakkan bom tersebut.
Seperti halnya Matsuda, Conan pun mencoba untuk menjinakkan bom. Namun di tengah-tengah usaha itu, ia membaca pesan dari panel LCD bahwa letak bom kedua akan diberitahu beberapa detik sebelum bom pertama meledak. Seketika Conan dihadapkan pada pilihan yang sulit, segera menjinakkan bom yang berarti kehilangan informasi letak bom kedua atau menunggu informasi yang ditampilkan panel LCD dengan risiko kehilangan nyawanya sendiri dan nyawa Takagi.
Menyelamatkan diri sendiri atau menyelamatkan jumlah nyawa yang lebih banyak adalah pilihan yang sangat sulit. Namun Conan teringat pada Ran Mouri, seorang gadis yang kemungkinan berada di salah satu gedung tempat bom kedua. Bagi Conan, nyawa gadis itu lebih penting dari nyawanya sendiri.
“Di sana ada orang yang kusayangi, yang kematiannya paling tak kuinginkan di dunia ini,” tutur Conan pada Takagi.
Bagiku yang pertama kali membaca Conan di usia remaja, kata-kata itu menjadi penanda bahwa kehilangan orang yang dicintai adalah pengalaman yang maha berat.Bertahun-tahun pengalamanku mengajarkan demikian.
Perasaan takut akan kematian orang yang kita cintai adalah hal yang sangat wajar. Sialnya, tak satupun dari kita yang bisa menghindar. Dalam perjalanan hidup manusia, kematian orang yang dicintai adalah salah satu pemicu munculnya masalah kejiwaan (mental health problem, bukan mental illness).
Dr. Stanley Kutcher, seorang psikiater berkebangsaan Kanada yang banyak mengkaji tentang isu literasi kesehatan mental, membagi kondisi mental individu menjadi empat bagian, yaitu kondisi tanpa stres (no distress), kondisi ketika individu menghadapi sedikit atau banyak stres (mental distress), kondisi ketika individu mengalami masalah kejiwaan (mental health problem), dan kondisi ketika individu mengalami gangguan kejiwaan (mental illness).
Kondisi tanpa stress adalah kondisi saat emosi kita netral tanpa tekanan. Sebaliknya, kondisi mengalami gangguan kejiwaan (mental illness) adalah kondisi disaat individu berpikir, merasa, dan berperilaku secara tidak wajar. Misalnya, ketika seseorang tiba-tiba merasa panik luar biasa meskipun tidak terjadi bahaya apa pun dihadapannya (gangguan panik), ketika seseorang merasakan perasaan sedih yang menetap tanpa penyebab yang pasti dalam kehidupannya (gangguan depresi), atau ketika seseorang tampak bercakap-cakap sendiri tanpa ada lawan bicara dihadapannya (skizofrenia).
Dibandingkan dengan kondisi tanpa stress atau gangguan kejiwaan, sebagian besar dari kita sebenarnya lebih sering berada dalam kondisi menghadapi tekanan (mental distress) dan sesekali mengalami masalah kejiwaan (mental health problem).
Hidup yang sehari-hari kita jalani sudah pasti bukan hidup yang tanpa riak, selalu ada halangan dan hambatan yang musti kita hadapi. Dalam keseharian, stress sering dipicu oleh persoalan-persoalan kecil seperti kunci kendaraan yang hilang saat kita hendak bepergian, bahan bakar kendaraan yang nyaris habis saat sedang dalam perjalanan, sakit fisik yang tiba-tiba mendera saat menjelang ujian, atau mungkin rasa ingin menghilang dari muka bumi karena banyaknya tumpukan pekerjaan. Kondisi inilah yang disebut dengan mental distress.
Menghadapi banyak tekanan adalah hal yang wajar. Mental yang sehat sering dibuktikan oleh kemampuan individu dalam mengatasi stress yang muncul akibat persoalan-persoalan kecil tersebut.Hanya saja, tantangan hidup tak selalu berupa masalah-masalah kecil yang menimbulkan stress harian.
Sekali waktu, kita mengalami peristiwa-peristiwa besar yang menimbulkan guncangan psikologis yang signifikan. Terjadinya bencana, kehilangan pekerjaan, perceraian, atau kematian orang yang disayangi adalah deretan kejadian-kejadian besar yang tak selalu kita temui, namun sangat mungkin kita alami.
Berbeda dari stress harian yang biasa kita alami, masalah kejiwaan yang muncul akibat peristiwa besar itu tak bisa seketika kita selesaikan. Stress yang dipicu oleh masalah kejiwaan biasanya membutuhkan waktu yang lebih lama dan proses adaptasi yang lebih sulit untuk kembali pada kondisi kejiwaan yang stabil.
Menariknya, semua respon stress yang muncul akibat persoalan apa pun, baik yang diakibatkan oleh stress harian maupun peristiwa tertentu yang menimbulkan stress lebih besar, merupakan respon otak yang alami dan wajar.Masalah kejiwaan yang notabene menimbulkan stress yang lebih besar bukanlah tanda seseorang mengalami gangguan mental (mental illness).
Baca juga: Apa iya Petugas KPPS Diracun?
Sebagaimana yang berkali-kali dituliskan oleh Kutcher, respon stress dibutuhkan oleh individu agar dapat berkembang dengan mempelajari hal baru dan beradaptasi dengan tantangan-tantangan hidup kedepan. Seperti penjelasan sebelumnya, kematian orang yang disayangi adalah salah satu pemicu masalah kejiwaan.
Maka dari itu, ketika hal itu terjadi, teramat wajar jika individu mengalami kesedihan yang mendalam. Tak jarang, duka yang mendalam menyebabkan individu menangis berkepanjangan, mengurung diri, menahan kemarahan, dan kehilangan energi untuk beraktivitas. Ekspresi kesedihan ini sering dipandang negatif oleh orang lain. Padahal, kesedihan-kesedihan yang muncul itu juga pertanda bahwa individu memiliki mental yang sehat, sebab ia merespon dengan tepat untuk alasan yang tepat.
Memangnya, emosi apa yang kita harapkan dari peristiwa kematian selain kesedihan yang mendalam?
Tak hanya orang lain, individu yang sedang berduka kadang juga tak sabar dengan proses adaptasi mereka sendiri. Segala perasaan tidak nyaman yang mereka rasakan ingin segera mereka tinggalkan.
Beberapa teman yang berduka pernah bertanya, “Bagaimana agar segalanya dapat kembali normal? Bagaimana caranya supaya perasaan sedih ini segera menghilang?”
Kepada mereka yang bertanya demikian, aku hanya menjawab, “Kenapa kok harus buru-buru? Bukankah rasa sedih dan kehilangan itu yang normal untuk saat ini?”
Itulah mengapa pada orang-orang yang baru saja kematian orang yang dicintai tak lagi aku sarankan untuk bersabar. Alih-alih menunjukkan dukungan, menyuruh bersabar kadang menjadi pernyataan penolakan kita terhadap ekspresi kesedihan yang wajar.
Sebagai gantinya, maka mari kita doakan keluarga yang ditinggalkan agar diberi kekuatan dalam menjalani hari-hari yang berat, hari-hari dimana mereka berproses dan beradaptasi dengan perasaan kehilangan. Tanpa drama apa pun, kehilangan orang yang dicintai sudah menjadi proses yang teramat berat.
Meskipun duka dan turunannya adalah proses yang wajar, bukan berarti kita boleh semena-mena mengganggu proses adaptasi itu, seperti menuntut membongkar kembali kuburan anggota KPPS yang telah meninggal dunia misalnya. Selama masa berkabung, jika kita tidak sanggup menemani, setidaknya kita tidak merecoki.