Ketika kita, sebagai sesama Muslim, meminta kepada kelompok-kelompok Islam intoleran agar tidak menjadikan bulan puasa dan kewajiban berpuasa sebagai alasan untuk bersikap intoleran dan melakukan persekusi terhadap non-Muslim (atau umat Islam) yang tidak menjalankan puasa, biasanya kita akan mendapat sanggahan dengan membandingkan antara perayaan Nyepi di Pulau Bali dengan bulan Ramadhan.
Mereka akan menyergah kita dengan pertanyaan, “Mengapa saat Perayaan Nyepi oleh kaum Hindu Bali semua orang yang tinggal di Bali tidak boleh beraktivitas (lampu mati, toko, warung, pom bensin, hingga perkantoran tutup), sementara umat Islam tidak boleh melakukan hal yang sama?”
Kalimat pertanyaannya bisa macam-macam, namun intinya adalah pembelaan bahwa umat Islam absah memaksa non-Muslim untuk tidak makan minum secara terbuka bahkan menutup semua warung makan di siang hari selama bulan Ramadhan, karena hal yang sama juga dilakukan umat Hindu Bali saat Nyepi.
Sanggahan ini setidaknya mengabaikan perbedaan mendasar antara ritual nyepi dengan puasa. Perayaan Nyepi dilakukan sehari setelah kirap ogoh-ogoh yang menyimbolkan pengusiran nafsu jahat dari diri manusia. Hari Nyepi adalah hari di mana umat Hindu menyepikan diri dan lingkungannya, termasuk tidak melakukan aktivitas rutin keseharian, untuk merenungi kembali jati dirinya. Jadi, kesunyian dan kesepian lingkungan menjadi bagian inheren dari ritual nyepi itu sendiri.
Sementara, penutupan warung sama sekali bukan bagian dari ritual puasa. Bahkan sekalipun saat berpuasa kita duduk di samping penjual sate yang sedang memanggang daging kambing muda yang aromanya sangat menggoda pun tidak akan membatalkan puasa kita.
Sekalipun demikian, biarlah umat Hindu yang menjelaskan tentang perayaan Nyepi dan praktiknya di Pulau Bali. Kita sebagai umat Islam hanya diperintah untuk saling menasehati. Kalaupun kita menganggap bahwa praktek perayaan Nyepi di Bali adalah wujud dari intoleransi, pertanyaannya adalah apakah hal itu bisa menjadi alasan bagi kita untuk melakukan tindakan intoleran? Apakah kita boleh membunuh orang hanya karena ada orang lain yang melakukan pembunuhan? Jika umat Islam menjadi kelompok minoritas di sebuah negara dan menjadi korban penindasan dan diskriminasi, misalnya, apakah hal itu bisa membenarkan kita dalam melakukan penindasan dan diskriminasi terhdap kelompok minoritas lain?
Jika jawabanmu “YA”, maka sebetulnya yang ada di dalam dirimu adalah keinginan untuk terus berperang dan membangun permusuhan dan dendam.
Itulah keheranan saya, mengapa saat kita meminta kepada saudara Muslim lain agar menunjukkan toleransi kepada umat agama lain saat bulan Ramadhan, mereka menolak dengan menyodorkan praktik perayaan Nyepi di Bali sebagai alasan. Seakan-akan, tindakan kejahatan bisa dibenarkan karena orang lain juga berbuat jahat. Cara berpikir seperti ini bukan cara berpikir untuk menegakkan keadilan, tapi membangun dendam yang tanpa batas.
Semoga kita bisa berlaku adil sekalipun terhadap kelompok yang tidak kita sukai. Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 8:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ [المائدة: 8]
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.