Kita pernah diresahkan dengan beredarnya kutipan surat An-Nisa ayat 108 yang dianalogikan dengan pengumuman hasil pilpres oleh KPU pada dini hari, penjelasan seperti itu sangat jauh dari konteks dan tafsirnya, untung saja Prof. Nadirsyah Hosen memberikan pencerahan dari sisi tafsir dengan sangat baik melalui media sosialnya. Peristiwa ini sayangnya bukan hal yang baru di masyarakat kita, apalagi seiring panasnya kontestasi politik, mirisnya Al-Quran semakin sering malah biasa dicocoklogi alias dicocok-cocokin paksa untuk mendukung narasi suatu kelompok demi kepentingannya sendiri.
Kenapa sih Al-Qur’an tidak boleh sembarangan dikutip? Bukankah Al-Qur’an itu adalah kitab suci pedoman hidup umat sepanjang masa? Berikut adalah 5 hal yang seharusnya diperhatikan sebelum mengutip suatu ayat;
Pertama, memahami Al-Quran tidak cukup hanya dengan mendalami teks, tapi memahami konteks adalah sangat krusial. Sebelum kita mengutip suatu ayat, misalnya ayat tentang hubungan sesama manusia, sepatutnya kita sudah mengenali situasi sosial, politik dan budaya pada saat ayat turun, apakah itu ketika masa perang atau masa damai? Apakah saat itu muslim sudah menjadi mayoritas dan memegang kekuasaan atau masih minoritas dan tertindas?
Jika kita ingin mengutip tentang pernikahan, kita seharusnya cek lagi apakah saat itu Nabi SAW masih beristrikan Khodijah RA seorang, beristrikan Aisyah RA, atau sudah mempraktikkan poligami? Tidak ketinggalan juga, ketika kita ingin mengutip ayat tentang hukum, perlu diperhatikan, penyebab ayat hukum tersebut turun dan sudah sejauh mana implementasi hukum terkait dalam masyarakat Arab masa itu.
Kedua, terlepas dari kita adalah yang mengimani Al-Qur’an sebagai kitab yang mengandung firman Tuhan SWT pedoman hidup sepanjang masa, atau sebagian kita yang menganggap Al-Quran adalah karya literatur Arab pada abad ke-7, Kita harus ingat bahwa bentuk asli Al-Quran bukanlah tulisan melainkan lisan yang disampaikan dari Nabi Muhammad secara oral, yang berarti ayat-ayat Quran itu diperdengarkan dan dimengerti oleh masyarakat ketika itu dengan bahasa lisan bukan bahasa tertulis.
Pada masa Nabi hidup, Al-Quran dilarang untuk ditulis karena dikhawatirkan akan tercampur dengan karya tulis lain, dari sini muncul tradisi menghafal Al-Quran. ini juga kenapa Al-Qur’an terkesan tidak rapih dan tidak disusun secara kronologis. Ini salah satu alasan kuat mengapa memahami Al-Qur’an tidak sebaiknya hanya terbatas pada teks.
Ketiga, bahasa yang dipergunakan Al-Quran adalah bahasa Arab yang digunakan pada era tahun enam ratusan Masehi, yang mana bahasanya agak berbeda dengan Arab modern. Perlu dicatat, Kaidah tata Bahasa Arab lahir dari kitab suci Al-Qur’an. Di samping itu juga, kita perlu pendalaman lebih juga, karena ada ayat-ayat yang bentuknya syair dan puisi, kisah dan percakapan, juga retorika dan perumpamaan. Untuk memahaminya, dibutuhkan bukan hanya sekedar mengerti kosakata dan nahwu shorof, tetapi juga balaghoh dan ilmu mantiq.
Keempat, pentingnya membedakan periode Mekkah dan Madinah, kita bisa lihat di lembaran Al-Qur’an label-label Makiyyah dan Madinah pada surat-suratnya, yang berarti turun di Mekkah atau Madinah, tapi itu pun masih generalisasi, karena ada juga ayat yang turun di luar kota Mekkah dan Madinah, belum lagi surat yang mengandung sebagian turun di Mekkah dan sebagian di Madinah.
Biasanya ayat Mekkah pendek-pendek, mirip syair, menganduung emosi yang kuat dan menyampaikan tentang sifat-sifat ketuhanan dan mengajarkan tentang konsep keimanan sedangkan ayat Madinah biasanya ayat panjang dan sudah membahas ranah hukum dan gaya hidup islami. Tapi apa pentingnya memahami ini? Karena situasi sosial di Mekkah sebelum hijrah dan Madinah setelah hijrah adalah sama sekali berbeda.
Di Mekkah, muslim relatif sedikit jumlahnya dan didiskriminasi, sedangkan di Madina muslim sudah berbentuk komunitas besar makanya wahyu Allah mengatur regulasi untuk umum.
Kelima, alasan terakhir adalah adanya sisa budaya kaum jahiliyyah, misalnya dalam hal perbudakan, Al-Qur’an masih membahas beberapa hal tentang perbudakan, bukan memerintahkan atau mengajarkan tetapi mengatur yang sudah berjalan. Khalid Basalamah pernah mengatakan dalam salah satu ceramahnya bahwa perbudakan adalah boleh dan boleh digauli dalam Islam, tentu ini adalah bukan hanya keliru tapi juga blunder.
Nabi menghapus perbudakan bukan dengan cara melarang begitu saja praktik perbudakan, tetapi dengan mendorong para pemilik budak untuk memerdekakan budak yang mereka punya, diangkat menjadi karyawan atau dinikahkan sehingga terangkat derajatnya setara dengan manusia yang bebas merdeka, keberhasilan Nabi SAW dengan cara ini terbukti ketika Mekkah dan Madinah akhirnya bersih dari perbudakan sama sekali, bahkan beberapa bekas hamba sahaya menjadi tokoh sejarah islam penting seperti Bilal bin Rabah dan Mariah Qibtiyyah.
Contoh lain misalnya mabuk-mabukkan, jika kita hanya mengandalkan teks, ada ayat Al-Qur’an yang membolehkan kita minum minuman memabukkan kecuali kita hendak melaksanakan sholat, tentu saja ini sudah tidak berlaku karena jika melihat konteks alias sabab wurud, hal ini merupakan upaya Nabi menghapus kebiasaan mabuk-mabukkan masyarakat Arab Jahiliyyah secara bertahap.
Wallahu a’lam