Ada ungkapan dari Karl Marx yang sering disalahpahami banyak orang, bahkan sebelum membaca pemikirannya, yakni “religion is the opiate of the mass” alias agama adalah candu bagi masyarakat. Ungkapan kritik untuk Hegel tersebut bukan bermaksud mendiskreditkan indoktrinasi agama. Marx, kala itu sedang gusar terhadap agama yang alih-alih membawa perubahan bagi masyarakat justru menjadi alat untuk melanggengkan kemapanan. Saat itu, situasi Negara kapitalis Eropa membuat modal hanya dapat diakses oleh orang kaya, sedang mereka yang miskin dicukupkan dengan fantasi agama yang menjanjikan kehidupan di luar dunia (sesudah mati).
Lalu, apa gunanya agama jika tidak dapat menjadi pedoman untuk menciptakan keseimbangan? Sedang, dongeng-dongengnya tentang baik-buruk, hitam-putih terlanjur kita percaya. Dalam sebuah syair yang dipopulerkan oleh Gusdur, terdapat sebuah paragraf berikut: Kang aran sholeh bagus atine/ Kerana mapan seri ngelmune/ Laku thoriqot lan ma’rifate/ Uga haqiqot manjing rasane/ Al Qur’an Qodim wahyu minulyo/ Tanpo tinulis iso diwaca/ Iku wejangan guru waskita/ Den tancepake ing jero dada/ (Dalam bahasa Indonesia berarti: Yang disebut orang shaleh itu bagus hatinya/ Karena sempurna seri keilmuannya/ Melakukan thariqat dan ma’rifatnya/ Juga hakikat meresap rasanya/ Al Qur’an qodim wahyu yang mulia/ Tanpa ditulis bisa dibaca/ Itu pesan guru yang waskita/ Ditancapkan ke dalam dada.
Sedari awal, syair itu memberi peringatan kepada kita bahwa Al Qur’an dan Hadist bukan untuk sekadar menjadi hafalan. Namun, bagaimana ia menjadi qodim wahyu mulia yang dapat membaca zaman.
Ketika saya mewawancarai Azyumardi Azra (2016) terkait reaktualisasi ruh al-da’wah Al-Qur’an, beliau menyatakan bahwa dalam masa modern-kontemporer, salah satu kecenderungan penafsiran Al Qur’an adalah keterkaitannya dengan gagasan tentang pembaharuan pandangan dunia, wacana dan praktik kaum Muslimin. Dengan cara itu mereka mampu menghasilkan ijtihad untuk menghadapi dan merespon tantangan dunia dan modernitas.
Pembaharuan itu dalam terminologi umum biasa dikenal sebagai tajdid (pembaruan) dan islah (reformasi). Ia memiliki dimensi ganda; pertama sebagai upaya untuk mengungkapkan kembali dimensi otentik wahyu dalam rangka meghadapi tantangan sejarah; dan kedua, untuk membawa atau sedikitnya membimbing dinamika dan realitas historis yang ada dan berkembang agar lebih dekat dan sesuai dengan ukuran-ukuran universal dan transeden yang terkandung dalam Al- Qur’an.
Saya bersepakat dengan pola pesantren membuat Al Qur’an menjadi laku sejak dulu kala, tepatnya sejak pesantren di Jawa tumbuh pada era kolonial setelah periode perlawanan bersenjata kaum santri. Tradisi yang diteruskan hingga kini itu, adalah sebuah metode pembelajaran yang integral.
Sedari awal, santri diajar ilmu-ilmu alat untuk membangkitkan kesadaran terhadap bahasa seperti nahwu, shorof, dan balaghoh. Ilmu-ilmu alat itu langsung dipraktikkan untuk mengartikan (maknani) Al Qur’an dan kitab fikih seperti Bidayatul Mujtahid. Di pesantren salaf di Jawa, kami masih menggunakan arab pegon yang disebut-sebut Bruinessen memiliki kontribusi yang baik dalam kontekstualisasi budaya lewat bahasa.
Para santri menghafal Al Qur’an dan Hadist seiring dengan mereka mempelajari tafsir dan tarikh tanpa perlu terburu-buru meraih gelar Al Hafidz. Pada jenjang yang lebih tinggi, santri akan mendapat ilmu filsafat logika, bergabung dalam forum musyawarah dan menempuh ujian lisan, misalnya untuk menjawab sebuah persoalan dengan perbandingan fikih empat mazhab.
Sistem belajar integralistik tersebut menyatu dalam pola hidup asrama juga tradisi akhlak dan adab khas pesantren. Biasanya, setelah lulus santri tak boleh lekas-lekas boyong (meninggalkan pondok) namun harus mengabdi satu hingga tahun untuk mengajar santri-santri kelas bawah. Mereka juga tak jarang dikirim untuk mengajar anak-anak dan orang tua tanpa bayaran ke madrasah-madrasah di kampung. Forum musyawarah yang ada di pondok untuk membicarakan persoalan-persoalan masyarakat, kelak memetakan potensi keilmuan santri untuk selanjutnya menjadi petunjuk bidang keilmuan selanjutnya yang akan ditempuh.
Tak pelak, ketika lulus, santri sangat memahami kandungan Surat Al Ashr (103:3) tentang tawshiyyah bil haq yang disambung dengan tawshiyyah bish-shabr, yakni bahwa perilaku dakwah (saling menasehati untuk kebenaran) mesti segaris saling menasehati untuk kesabaran.
Era sekarang, Al Qur’an 2.0 muncul dalam revolusi gawai-gawai canggih. Tafsir Al Qur’an lengkap 30 juz atau sebagian juz, surat atau bahkan kumpulan ayat-ayat dalam bidang tertentu (tafsir mawdhu’i) terus ditulis kalangan ulama dan juga pemikir dan Intelektual Muslim dengan akses yang semakin mudah. Namun, tugas manusia tetap tidak berubah, yakni meneruskan akhlak Rasulullah SAW sebagai penyampai risalah. Khalifah fil ardh bermakna menjadikan Al Qur’an sebagai sikap berpikir, bukan sekadar gigabyte aplikasi qur’ani. []