Ulama adalah salah satu predikat yang juga ikut merebut panggung di laga pilpres kali ini. Untuk meraih simpati dari masyarakat umum, label ulama kerap kali disandingkan dengan salah satu dan bahkan kedua kubu petarung pilpres kali ini. Sayangnya selama ini tidak ada definisi mutlak tentang Ulama. Sehingga siapapun sah-sah saja mencatut label Ulama tersebut.
Saat ini, prosesi pemungutan suara sudah selesai dan tinggal menunggu hitungan. Ulama siapakah yang benar-benar berhasil mengumpulkan simpati suara bangsa Indonesia? Dan apakah label ulama yang dipertaruhkan itu (layaknya Ijtima Ulama) telah berakhir sejarahnya? Kita tunggu saja hasilnya.
Namun yang pasti, sekelompok orang yang telah merampas label Ulama, hakikatnya telah menciderai kesucian label Ulama itu sendiri. Banyak sekali ulama gadungan muncul dan itu telah merusak marwah tokoh agama kita dari yang seharusnya digunakan untuk kepentingan agama, namun dipelintirkan untuk kepentingan politik.
Nah, karena momentum kampanye politik ulama telah berakhir, maka saya menuntut orang-orang yang mencatutu label Ulama demi kepentingan politik untuk diserahkan kembali pada yang menghakinya. Sebab, hakikatnya meraka tidak akan mampu memikul tanggungjawab sebagai seorang Ulama agama sejati.
Al-Quran telah mengatakan bahwa ciri utama seorang Ulama adalah kualitas penghambaan dan ketakutannya (Khasyah) kepada Allah. إنما يخشى الله من عباده العلماء (Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah adalah ulama) (QS. Fathir: 28). Sebab ia dianugerahu ilmu, tahu rahasia alam, hukum-hukum Allah, paham mana yang haq dan mana yang bathil, serta bisa membedakan mana kebaikan dan keburukan.
Ciri khas kedua, kita dapat mengukurnya dengan menggunakan hadis nabi:
وَإِنَّ العُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوا العِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu. Barang siapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. al-Imam at-Tirmidzi dalam Sunan Turmudzi 2681)
Berdasar kedua standart minimal ini saya berharap label ulama yang selama ini telah tercabik-cabik dengan kepentingan politik, hendaknya dikembalikan pada yang menghakinya. Sebab, menjadi Ulama adalah tugas suci untuk membimbing masyarakat umum pada jalan yang haq tampa embel-embel kepentingan apapun, apalagi kepentingan politik.
Kendati kalangan yang telah mengkalim dirinya sebagai Ulama berat sekali melepaskan label itu, setidaknya fitrahnya dijaga. Hal ini selanjutnya akan menjadi baromiter validasi label keulamaan yang dicatutunya tersebut.
Menjaga label dan marwa Ulama tersebut setidaknya memelihara kedua standar yang talah diberikan sebelumnya. Tetap menjaga kosnsistensi ibadah dan ketakutannya kepada Alah. Maka, suara lantang untuk mengembalikan kejayaan umat Islam melalui Solat Subuh berjamaah yang diteriakkan beberapa hari terakhir ini, harusnya tetap diserukan dan dikawal untuk hari-hari selanjutnya. Bukan hanya di momentum hari pilpres saja.
Ketika yang demikian (seruan mengambalikan kejayaan umat Islam dan Subuh berjamaah) kembali memudar, dan bahakan ditinggalkannya sendiri, maka jelas kata Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin bahwa Ulama yang menggunakan predikat keulamaannya untuk kepentingan duniawi disebut ulama su’ (Ulama Kotor).
Selanjutnya, termasuk juga langkah mengambalikan predikat Ulama kepada marwahnya adalah dengan tetap menjaga sifat ulul azmi. Yaitu kegigihan yang disertai ketabahan. Mereka yang mencatut label Ulama dengan sendirinya akan teruji dengan standart ulul azmi ini. Maka, mereka yang mencatut dirinya Ulama dan pada prakteknya tidak dapat menerima musibah yang menimpa pada diri dan golongannya maka jelas ia adalah ulama gadungan.
Kita lihat saja nanti seumpama Rizieq Syihab (Komandan Ulama Indonesia), Kiai Khottot Kawakan, Ustadz Slamet Ma’arif (Ketua PA 212), Ustadz Haikal Hasan (ketua bidang keumatan) Tengku Zulkarnain, KH Abdul Rosyid Abdullah Syafii serta Yusuf Muhammad Martak (Ketua GNPF) dapatkan dirinya mempertahakan dirinya dari label Ulama dengan tetap mempertahankan Gerakan Solat Subuh jamaah sertab bersifat ulul azmi bila kalah di laga pilpres? Hal senada juga disematkan ke kubu petahana. Kita lihat saja nanti.
Jika tidak, maka kembalikanlah predikat Ulama kepada yang menghakinya. Sebab yang demikian itu sangatlah berat. Kalian tidak akan kuat. Dan terakhir, kalian perlu diberi sangsi karena telah merusak marwah Ulama kita. Tentu dengan sangsi moral. Terserah itu apa. Bangsa kita lebih faham soal itu.