Joka diibaratkan, Pemilu itu mirip dengan soal-soal di Ujian Nasional (UN). Tentu Anda boleh tidak setuju dengan analogi ini.Tapi percayalah, setiap lima tahun sekali kita pasti akan dihadapkan pada semacam multiple choices. A, B, C, atau D. Dan, terkadang malah ada juga E, semua benar atau semua salah.
Dalam analogi nir-ilmiah ini, setiap warga adalah siswa. Jika siswa menempuh proses belajar selama kurang lebih tiga tahun dan hanya diberi tempo sekian menit sebelum menentukan pilihan pada pilihan ganda terlampir, sementara tidak untuk warga negara.
Ya, setiap warga negara diberi kebebasan belajar dan keluangan waktu dalam menelaah multiple choices yang tersedia, sekurang-kurangnya sejak pendaftaran atau deklarasi calon tertentu hingga memutuskan pilihan.
Bagi sementara warga negara yang telah memantapkan pilihannya, mencoblos bukan lagi perkara sulit. Sebagian umat Islam yang melabuhkan pillihan ke 02, misalnya, tentu memiliki harapan bahwa di bawah Prabowo-Sandi, sebagai Paslon yang sering dicitrakan sebagai representasi umat Islam hasil “ijtimak ulama”, dapat membawa angin segar bagi masa depan sebagian umat Muslim.
Sebaliknya, sebagian umat Islam yang mantap memilih Jokowi karena didampingi seorang ulama, KH Ma’ruf Amin, menggadang-gadang agar keduanya mampu mewujudkan peradaban Islam Indonesia yang adil dan beradab.
Persoalannya, bagaimana dengan sebagian warga lainnya yang belum menentukan pilihan sementara pada saat yang sama dituntut harus memilih salah satu dari sejumlah Paslon yang ada?
Berikut adalah kiat-kiat praktis dalam menghadapi lembar coblosan di balik bilik suara saat Pemilu 17 April ini.
Memang, ini sangatlah normatif. Bahkan, senormatif saat kedua kandidat Pilpres menjawab soal-soal panelis saat debat Capres-Cawapres berkaitan dengan isu HAM.
Tapi, seperti kata orang-orang, tidak ada kata terlambat untuk belajar, bukan? Dan, dalam konteks Pemilu sebetulnya ada banyak wahana untuk kita mempelajari secara otodidak rekam jejak dan konsep yang ditawarkan para kandidat.
Mulai dari profil dan rekam jejak yang bersangkutan, tawaran visi-misi dan program-program, sampai kemungkinan-kemungkinan lain yang mendukung alasan mengapa kita harus memilih Paslon C, dan bukan A, atau B, dan seterusnya, semua itu telah berceceran di sebuah mesin pencarian raksasa bernama Google.
Selanjutnya, tergantung bagaimana kita mau mengaksesnya atau tidak. Apalagi KPU telah memfasilitasi lima kali debat Capres-Cawapres yang bisa kita putar ulang lewat, sekali lagi, internet sehingga akan membantu kita dalam menentukan pilihan.
Nyontek
Ya, untuk yang satu ini memang mafhum terjadi di ujian-ujian pada umumnya. Ketika ada seorang siswa yang malas atau tidak sempat belajar mislanya, nyontek adalah satu alternatif ciamik. Dan, hal ini menjadi relevan ketika Anda, umpamanya, malas atau memang tidak sempat untuk menelaah kemungkinan-kemungkinan dari dua kandidat yang ada.
Saya kira teman-teman Anda yang sekarang tidak sekikir teman-teman ketika berjuang menaklukan soal-soal UN. Bahkan, besar kemungkinan mereka akan dengan senang hati jika anda menyontek pilihannya.
Masalahnya, apakah orang yang kita contek itu juga menjawab dengan benar?
Pertanyaan bagus. Nyontek memang tidak menjamin kebenaran pilihan. Tapi setidaknya ia bisa meringankan beban psikologis dalam menentukan sikap ketika dihadapkan pada multiple choices yang membingungkan, sementara kita harus memilih salah satu.
Lagi pula, referensi contekan dalam perkara ini tidak terbatas usia. Bisa guru spiritual, orang tua, sesama pemilih di bilik sebelah, atau orang-orang yang anda percaya.
Mencoba Peruntungan
Ini mungkin tergolong ekstrem. Meskipun hal ini juga umum berlaku di ujian-ujian yang mensyaratkan multiple choices. Bahkan, nyaris setiap dari kita terlampau akrab dengan praktik ini.
Ya, mencoba peruntungan ini bisa kita lakukan dengan, misalnya, nyoblos sambil memejamkan mata, atau bisa juga dengan menghitung kancing baju seperti yang dilakukan anak-anak sekolah ketika berada dalam tekanan pengawas atau situasi pikiran yang lagi macet.
Meskipun, sekali lagi, hal ini juga tidak menjamin kebenaran pilihan. Tapi hal ini barangkali lebih mulia dari nyontek, karena mengandaikan independensi atau spekulasi tingkat tinggi.
#
Lepas dari itu semua, berbicara ujian biasanya juga berbicara kunci jawaban untuk menentukan benar-salah. Dan, berbeda dengan UN yang kebenaran dari sebuah multiple choices ditentukan oleh kunci jawaban, letak kebenaran dari sebuah Pemilu adalah siapa yang menang. Apalagi kultur demokrasi mensyaratkan vox populi, vox dei.
Bahwa kemudian terdapat praktik kecurangan sebagaimana yang dituduhkan sebagian pihak sementara ini, hasil dari sebuah Pemilu yang didapat dari sebuah mekanisme yang sah adalah mutlak.
Sama seperti keputusan seorang juri atau wasit dalam sebuah laga yang mutlak adanya. Kendati kita tahu pesepakbola kawakan berdarah Argentina Diego Maradona, misalnya, mencetak gol dengan sangat tidak biasa karena menggunakan tangan, senyatanya peluit wasit tidak bisa mengubah skor pertandingan.
Tapi apakah itu bisa dimaklumi? Mungkin tidak, karena ia bertentangan dengan asas sportivitas.
Dan, diakui maupun tidak, itulah yang menjadi PR kita bersama. Selamat mencoblos atau golput, tapi tetap percaya demokrasi.