Tulisan Ainur Rofiq Al Amin (dosen UIN Surabaya) di Kompas saya kira mewakili kegelisahan banyak orang. Tulisan bertajuk “Sakralisasi Politik” itu menyoal politik kita yang seharusnya merupakan barang profan tapi belakangan sedemikian rupa disakralkan.
Menurut Ainur Rofiq sakralisasi politik adalah upaya membingkai politik praktis dengan baluran ajaran agama yang berimplikasi bagi orang tertentu tak berani mendiskusikan atau mendebatnya karena bernuansa langit.
Saya lantas teringat cerita seorang kolega dosen tentang “bendera tauhid” di kampanye sebuah partai. Jadi, pada sebuah hari Minggu pagi di pinggiran kota Solo kawan saya itu bertemu dengan konvoi motor partai X. Para peserta partai itu tidak hanya mengenakan atribut partai seperti kaos, jaket dan rompi tapi juga membawa bendera partai sekaligus bendera putih dengan kalimat tauhid.
Tulisan ini tentu tidak menyoal apakah itu bendera HTI (ormas yang resmi dibubarkan pemerintah) atau bukan. Saya justru melihat dibawanya “bendera tauhid” itu sebagai bentuk sakralisasi politik sebagaimana yang disampaikan Ainur Rofiq. Seolah, dengan membawa bendera mereka menjadi partai paling Islami, paling dekat dengan Tuhan. Bukankah ini soal permainan simbol-simbol (meski, lagi-lagi, mereka bisa mengelak sedang membela Islam)?
Andaikata mereka berbuat kesalahan di jalan atau mengganggu pengendara lain, boleh jadi orang-orang akan takut meningatkan. Lha nggowo bendera tauhid je, begitu gumam mereka. Mereka yang coba-coba mengingatkan, mengkritik atau melarang mungkin saja malah akan dianggap anti Islam, musuh Islam, penista agama dan seterusnya. Seolah mereka bisa berbuat semau mereka, di bawah lindungan bendera.
Keresahan yang dialami kawan saya itu cukup bisa saya mengerti. Pertunjukan simbol-simbol agama memang terlihat masif di pilpres kali ini. Yang disasar adalah emosi pemilih. Masyarakat tidak diajak menjadi pemilih yang kritis dan rasional. Terbaca dari minimnya diskusi yang kuat terhadap visi misi dan program capres.
Masih terkait hal yang sama, pagi ini saya dibuat miris dengan postingan seorang kawan di media sosial. Ia memacak berita berjudul: Heboh Awan Mirip Lafaz Allah di Langit GBK. Awan mirip lafaz Allah itu muncul saat kampanye capres X. Saya kira itu tulisan dari media partisan berlabel Islam. Rupanya dari media online yang cukup mapan.
Lagi-lagi hal serupa itu yang masih saja tampil dalam diskusi di media sosial.
Sebuah berita tidak penting yang bertemu dengan ilmu otak atik mathuk. Lalu para pendukung capres X mendadak terharu sambil berujar: Subhanallah, inilah capres yang diriidhoi Allah. Visi misi dan program? Bablas!
Sakralisasi politik, dapat berujung pada situasi yang disebut Ainur Rofiq sebagai bener tapi ora pener, benar tapi tidak tepat. Bendera dengan kalimat tauhid itu sejatinya dibawa di kondisi dan konteks yang tidak tepat. Berpotensi menimbulkan kesalahpahaman. Demikian juga soal awan berbentuk lafaz Allah di salah satu kampenye capres.
Yang mengerikan, sakralisasi politik akan digaungkan di masyarakat dengan pelbagai cara dan oleh sejumlah aktor. Salah satu aktornya adalah agamawan. Tempat yang dipakai adalah rumah-rumah ibadah. Tak aneh jika ada ceramah dengan penuh kebencian kepada capres A lahir dari rumah ibadah. Tidakkah hanya akan menghasilkan perpecahan?
Alkhirulkalam, semoga kita selalu diberi petunjuk dan selalu dalam lindungan Allah.