Dalam kontestasi wacana politik di Indonesia dewasa ini, gagasan khilafah tidak bisa diabaikan. Isu khilafah ini dinilai problematis, dan dipandang akan merongrong sistem politik Indonesia yang sedang berjalan. Salah satu pemain utamanya tentu organisasi ini: Hizbut Tahrir.
Secara harfiah arti organisasi ini adalah “Partai Pembebasan”. Dari namanya saja, ia lahir bukan sebagai organisasi sosial kemasyarakatan atau LSM yang memperjuangkan isu tertentu. Karena sejak awal menyatakan diri sebagai partai/hizib, saya kira agenda politiknya sudah tersusun.
Banyak negara telah melarang dan membubarkan organisasi pengusung agenda khilafah. Agaknya persoalan “khilafahisme” ini sudah merupakan isu global. Pemerintah Indonesia pun menyatakan Hizbut Tahrir, adalah organisasi terlarang melalui Perppu Ormas Nomor 2 tahun 2017 karena tidak sejalan dengan ideologi Pancasila, dan memiliki keinginan untuk mengubah dasar negara.
Anda bisa memposisikan diri sebagai kalangan yang pro atau kontra terhadap pembubaran HTI. Namun agaknya Hizbut Tahrir secara ideologis dan substantif belum hilang di Indonesia. Barangkali ia hanya bersalin rupa nama lembaga atau media.
Contoh, Anda bisa menemui buletin Jumat Kaffah yang kontennya serupa buletin Al Islam yang dahulu diterbitkan HTI. Mungkin tidak terlalu terang-terangan dengan menyeru “khilafah adalah solusi” seperti sebelumnya, dan yang diserukan adalah “menegakkan syariat Islam”. Menurut mereka, syariat Islam toh tegak dengan adanya khilafah.
Kritik ideologis terhadap HTI saya kira sudah banyak dilakukan. Mulai dari kekeliruan membaca realitas sosial politik, kecacatan cara memahami sejarah, dan pemaksaan tafsiran teks agama yang berkesimpulan: khilafah adalah ketetapan Allah yang wajib, dan barangsiapa yang tidak mengambil hukum/aturan selain dari apa yang diturunkan Allah (kitab suci) maka mereka adalah orang-orang kafir — telah dikritik banyak kalangan.
Daripada mengritik, saya memilih sebuah jalan ninja dengan membayangkan “seandainya kita hidup di bawah naungan khilafah”. Saya kira akan menarik sekali berimajinasi dan berandai-andai seperti ini.
Untuk imajinasi dan pengandaian ini, penulis merujuk sumber para pejuang Hizbut Tahrir. Pendiri gerakan ini, Syekh Taqiyuddin An Nabhani, secara mengesankan telah meletakkan dasar ideologinya sampai pada taraf yang mungkin sudah cukup teknis.
Hal ini tergambar dari buku-buku yang jadi rujukan Hizbut Tahrir: mulai dari Mafahim Hizbut Tahrir, menjelaskan Hizbut Tahrir lahir merespon kegagalan modernisasi dan kapitalisme. Kemudian ada buku Ajhizah Daulat al Khilafah menjelaskan struktur kekhilafahan dan sistem pemerintahan, juga Ad Daulah al Islamiyah yang menjelaskan dasar hukum penegakan khilafah dan strukturnya. Sebagai pedoman bermasyarakat, Syekh An Nabhani juga merilis buku An Nizham al Ijtima’i fil Islam guna mengatur kehidupan warga negara dan interaksi umat muslim.
Bagaimana seandainya kita hidup di bawah naungan khilafah? Saya merujuk buku Ajhizah Daulat al Khilafah (diterjemahkan dengan Struktur Negara Khilafah) dan Ad Daulah al Islamiyah (diterjemahkan dengan Daulah Islam oleh HTI Press) agar pengandaian saya sejalan dengan pedoman yang dicita-citakan pejuang khilafah.
Anda tahu, dalam buku Daulah Islam, tertulis Rancangan Undang-Undang Dasar jika kekhilafahan telah tegak di muka bumi. Luar biasa. Kelak negara-negara Islam dan bersedia mengikuti sistem khilafah akan bersatu dalam satu kepemimpinan khalifah, yang tidak memiliki batas waktu akhir menjabat – kecuali meninggal, mengundurkan diri, atau dipandang tidak mampu oleh Mahkamah Mazhalim yang dilantik khalifah.
Seluruh negara yang menyetujui khilafah akan menjadi daerah setingkat provinsi, dipimpin oleh struktur Wali atau Amir. Hal ini agaknya ingin mengembalikan sebagaimana sistem pemerintahan era awal Islam di masa Khulafaur Rasyidin yang terpusat pada satu negeri saja. Sayangnya rancangan undang-undang itu tidak mencantumkan negeri pusat kekhalifahan akan didirikan.
Rancangan undang-undang negara Islam dalam buku Daulah Islam menyertakan 191 pasal, merentang mulai sistem negara, pemerintahan, para menteri dan gubernur, kehakiman, politik luar negeri dan dalam negeri, sampai sistem sosial dan ekonomi. Bukan main.
Syarat seorang khalifah adalah laki-laki, muslim, merdeka, baligh, berakal, adil dan memiliki kemampuan. Perihal fit and proper test, konon akan diserahkan pada sistem Mahkamah Mazhalim dari pihak kehakiman dan pengawas pemerintahan, serta Majelis Umat yang mewakili rakyat di tiap-tiap wilayah.
Mencermati pasal per pasal tentu akan sangat melelahkan dan menjadi diskusi ideologis yang panjang. Namun saya menyoroti hal berikut.
Anda perlu membaca bagian sistem sosial. Sebagaimana disebutkan di atas, syarat khalifah dan pemimpin pemerintahan adalah pria. Perempuan tidak boleh memangku jabatan pemerintahan yang berkaitan dengan kekuasaan, seperti Khalifah, Gubernur, atau kedudukan setara menteri yang disebut mu’awin (pasal 116). Hukum asal perempuan, menurut RUU ini, cukup gamblang: hukum asal seorang perempuan adalah ibu dan pengatur rumah tangga, dan merupakan kehormatan yang wajib dijaga (pasal 112).
Bagaimana menurut Anda? Saya kira, warga negara pria maupun perempuan tanpa hak politik yang setara, akan meniscayakan ketimpangan dan banyak persoalan pada perempuan.
Kemudian hak politik non-muslim. Pasal 26 RUU yang disusun Hizbut Tahrir ini menyebutkan tentang kalangan non-muslim tidak memiliki hak pilih. Peniadaan hak politik untuk non-muslim ini menggambarkan sikap tidak ramah terhadap liyan atau minoritas.. Hak politik, hemat saya adalah hak yang wajib diberikan secara konstitusional. Konflik akibat ketidakpuasan politik, terlebih dibalut sentimen agama, sangat mungkin terjadi.
Kemudian model Islam yang akan dipakai sebagai dasar negara. Kekhilafahan akan menjadikan akidah Islam sebagai dasar negara. Islam model apa yang akan digunakan? Keterangan dalam buku Daulah Islam, peran khalifah atas tegaknya syariah ialah sejalan dengan “hukum dan metode yang ia pakai untuk dirinya sehingga ia terikat dengan hukum syariat tersebut”.
Di masa lampau, harus diakui bahwa dinamika kajian Islam mengikuti resepsi pemerintah terhadap pemikiran ulama. Saat pemerintah berpihak pada satu kalangan, maka kalangan lain akan terdiskreditkan – bahkan, sampai dibasmi. Saya bayangkan kecenderungan ini akan pelan-pelan menyingkirkan keragaman Islam, dan mustahil kiranya memaksakan satu cara beragama atas warga negara.
Jika khilafah adalah bentuk romantisme masa lalu, saya kira banyak hal yang tidak tepat – bahkan, bisa berbahaya – jika berkaca dari pemahaman dan rencana dasar negara rekan-rekan pejuang khilafah ini, wa bil khusus Hizbut Tahrir. Apakah Hizbut Tahrir telah merevisi pedoman itu, saya belum tahu. Bagaimanapun, kesimpulan pengandaian di atas adalah: kondisi Indonesia saat ini tidak relevan dengan gagasan khilafah dan RUU yang termaktub dalam pedoman mereka.
Kenyataan jelas tidak sesederhana yang dibayangkan dan diperjuangkan rekan-rekan Hizbut Tahrir. Meski dengan berbagai kritik yang ada, proses reformasi dan demokrasi Indonesia saat ini harus banyak disyukuri. Nah, bagaimana menurut Anda seandainya jika kita hidup di bawah naungan khilafah?
Wallahu a’lam.