Ada seorang ulama besar sekaligus waliyullah yang berasal dari Baghdad. Beliau adalah Abdullah Ibnu al-Mubarak, seorang tabi`it tabi`in yang mempunyai banyak gelar, di antaranya adalah: Abu Abdirrahman, Al-Hafidz, Syekhul Islam, dan lain sebagainya.
Beliau adalah seorang ulama yang terkenal wara` dan zuhud serta memiliki kapasitas ilmu yang sangat mumpuni. Hal ini dikisahkan dengan epik oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab Qamiut Tughyan.
Pada suatu hari, Ibnu al-Mubarak menunaikan haji di kota Mekah. Pada saat itu, beliau beristirahat di Hijr Isma`il. Lalu beliau tertidur dengan pulas di tempat tersebut. Dalam tidurnya, beliau bermimpi ditemui oleh Rasulullah SAW. Dalam mimpi tersebut, Rasul bersabda, “Wahai Ibnu al-Mubarak, apabila engkau pulang ke Baghdad, carilah seorang pendeta Majusi dan sampaikanlah salamku kepadanya dan beritahu juga kepada dia bahwa Allah SWT telah ridho kepadanya”
Ibnu Al-Mubarak terbangun dan heran dengan mimpinya tersebut. Kemudian beliau langsung mengucapkan lafadz Hauqolah (laa haula wa laa quwwata illa billah) dan segera mengambil air wudhu. Setelah berwudhu, beliau langsung mengerjakan shalat dan tawaf sembari meminta petunjuk kepada Allah SWT.
Setelah itu, beliau tertidur kembali dan kembali menemui Rasul SAW dalam mimpinya. Dalam mimpinya tersebut, Rasul SAW menyampaikan hal yang sama dan berulang sebanyak tiga kali. Kemudian Ibnu al-Mubarok semakin yakin bahwa mimpi tersebut benar adanya.
Setelah menjalankan rukun haji dengan sempurna, Ibnu al-Mubarak kembali ke daerah asalnya, Baghdad. Sesampainya di Baghdad, beliau langsung menjalankan perintah Rasul yang didapatkan melalui mimpinya. Beliau menemui seorang yang sudah tua dan terlihat berwibawa. Lalu beliau mengatakan,“Wahai tuan, apakah engkau seorang pendeta Majusi?”
“Iya, saya adalah seorang pendeta Majusi,” jawab pak tua tersebut.
“Apakah ada sesuatu kebajikan yang telah engkau kerjakan?” Tanya Ibnu Al-Mubarak.
“Ada. Aku mempunyai empat anak laki-laki dan empat anak perempuan. Kemudian aku menikahkannya,” pendeta tersebut menjelaskan.
Ibnu al-Mubarak pun heran karena hal tersebut diharamkan oleh Allah SWT dalam Islam. Kemudian beliau bertanya kembali, “Wahai tuan, hal itu adalah perkara haram. Adakah kebajikan yang engkau kerjakan selain itu?”
Pendeta tersebut menjawab, “Ada. Aku mempunyai anak perempuan yang sangat cantik. Kemudian aku menikahinya. Lalu aku mengadakan pesta bagi seluruh umat Majusi di negeri ini. Pesta tersebut dihadiri oleh lebih dari seribu orang Majusi.”
Ibnu al-Mubarak semakin terheran-heran. Bagaimana seorang pendeta ini mendapat salam dari Rasul sedangkan ia mengerjakan larangan-larangan Allah SWT. Kemudian Ibnu Al-Mubarak bertanya lagi, “Wahai tuan, yang engkau kerjakan adalah perkara haram. Adakah kebajikan yang engkau kerjakan selain itu?”
Pendeta tersebut kembali bercerita, “Pada malam pertama bersama istriku, aku melihat seorang wanita muslimah di luar rumah. Ia berdiri di luar rumah sambil membawa penerangan. Aku penasaran, kemudian aku berjalan ke luar rumah untuk menemuinya. Ketika aku mendekat, ia mematikan penerangannya dan lari. Lalu aku masuk ke dalam rumah. Namun ia datang kembali. Ketika aku mendekatinya, ia melakukan hal yang sama. Hal ini terulang sebanyak tiga kali. Lalu aku curiga, jangan-jangan dia adalah seorang mata-mata atau pencuri.”
“Kemudian aku mengikutinya sampai ia berhenti. Ia berhenti dalam sebuah rumah kecil. Dalam rumah tersebut ada beberapa anak kecil. Anak kecil tersebut tampak lesu dan sangat kurus. Anak tersebut berharap besar atas kehadiran ibunya dengan harapan ibunya membawa makanan. Namun ibunya datang dengan tangan kosong dan membuat anak-anaknya itu menangis kelaparan.”
“Ibu itu berkata, “Wahai anak-anakku, aku malu terhadap tuhanku jika aku meminta selain kepada-Nya. Aku lebih malu lagi ketika meminta kepada musuh-musuh-Nya.”
“Ketika mendengar perkataan ibu itu, hatiku terenyuh dan aku segera pulang ke rumahku. Aku mengambil beberapa makanan yang ada kemudian aku datang kembali ke rumah ibu tersebut. Kemudian aku memberikan seluruh makanan itu kepadanya.”
Setelah menyimak cerita dari pendeta tersebut, Ibnu al-Mubarak berkata, “Wahai tuan, Rasulullah telah memberitahuku melalui mimpi. Beliau menyampaikan kabar gembira untukmu. Rasulullah menitipkan salam untukmu, dan memberitahukan bahwa Allah SWT telah ridha kepadamu”
Seketika pendeta tersebut bersyahadat “Asyhadu an La Ilaha Illallah wa Asyhadu anna Muhammadan rasulallah” kemudian ia jatuh bersimpuh dan meninggal dalam keadaan membawa iman. Kemudian Ibnu Al-Mubarak sendiri yang memandikannya, menkafani, menyalati, dan menguburnya.
Begitulah kehidupan, belum tentu orang yang selama hidupnya sering menjalankan dosa kemudian mati dalam keadaan kafir. Begitu pula sebaliknya, orang yang selama hidupnya membawa iman, belum tentu ia mati dalam keadaan Islam.
Pendeta Majusi tersebut mendapat hidayah dari Allah SWT dengan wasilah kedermawanannya kepada fakir miskin. Kita tidak tau wasilah apa yang membuat kita mati dalam keadaan membawa iman atau tidak. Maka dari itu, alangkah baiknya kita selalu berbuat kebaikan dan berdoa kepada Allah agar mati dalam keadaan husnul khatimah.
Waallahu a`lam