Ada sederet kosa kata yang sangat populer yang berhubungan dengan Islam di era Reformasi ini, yang jika dikumpulkan secara serius barangkali bisa dibuat menjadi sebuah buku ensiklopedia yang kira-kira dapat diberi judul “Ensiklopedia Kosa Kata Islami yang Sedang Populer Dewasa Ini”. Diantaranya bisa kita jajarkan sebagai berikut: khilafah, jihad, hijrah, syar’i, syari’ah, halal, ikhwan, akhwat, ukhti, akhi, khitbah, ta’aruf, dan yang paling disukai adalah poligami.
Jika sebelumnya, para pemerhati bahasa Indonesia yang baik dan benar seperti Ivan Lanin dan Joss Wibisono sangat mengeluhkan banyaknya orang-orang Indonesia yang sok-sok keminggris supaya bisa dianggap gaul dan berbahasa Internasional seperti belakangan yang disebut sebagai gaya bahasa anak-anak Jaksel (Jakarta Selatan).
Terlepas dari yang dikeluhkan oleh kedua pemerhati bahasa Indonesia tersebut. Barangkali ada yang luput diamati oleh keduanya, yakni terjadinya trend kearab-araban dalam berbahasa di kalangan kelas menengah muslim Indonesia yang sedang menjamur di wilayah urban.
Jika sebelumnya, ketika zaman kekejaman rezim Pak Harto sedang menggalakkan pembangunan, secara beriringan terjadi sebuah arus globalisasi. Hingga kemudian, banyak generasi saat itu mulai menikmati konsumsi produk-produk ekspor dari Barat ala Amerika. Dan secara pasti, globalisasi bukan hanya sebatas produk-produk Barat seperti Coca Cola yang dapat masuk ke negeri kita. Tapi juga berbarengan dengan bahasa komunikasi, yakni bahasa Inggris, sebagai medium globalisasi.
Nah, dari situ banyak orang-orang Indonesia mulai keminggris-keminggrisan dalam berbahasa sehari hari, seperti kini yang banyak digunakan oleh anak-anak Jaksel itu. Meniru budaya Barat yang sedang superior itu bukanlah tanpa motivasi dan tujuan. Tentu saja mereka merasa dengan dapat berbicara dengan keminggris tersebut adalah untuk menaikkan prestise supaya dapat menganggap diri setara dengan masyarkat di negeri Barat tersebut.
Singkatnya, supaya dapat menjadi Internationale People lah.
Nah, jika motivasi generasi keminggris adalah untuk meraih prestise. Lantas apa yang menjadi motivasi dan tujuan kalangan muslim urban kita yang sedang mengidap sindrom kearab-araban itu?
Secara umum barangkali tujuannya jugalah sama, yakni supaya dianggap mirip dengan budaya yang mereka tiru, yakni budaya Arab. Tapi ada yang membedakannya. Jika generasi keminggris meniru berbicara bahasa Inggris karena ingin meniru gaya komunikasi masyarakat Barat yang hingga kini dianggap sebagai peradaban paling maju, modern, avant grade, digdaya, gaul dan keren. Dari situ, keinginan untuk meniru Barat adalah sinonim meniru sebuah kemajuan peradaban.
Sedangkan, bagi generasi kearab-araban, orientasi (imajinasi) yang ingin mereka tuju adalah meniru keimanan dan kesalehan budaya Arab. Barangkali mereka membayangkan bahwa Arab adalah simbol adiluhungnya sebuah masyarakat muslim yang layak untuk ditiru sepenuhnya sebagai role model berislam. Jadi, mereka mengaggap Arab adalah sinonim atau padanan kata dari Islam. Sehingga apa yang datang dari Arab adalah Islam.
Tapi apakah memang benar demikian, bahwa semua yang datangnya dari kebudayaan Arab adalah mutlak seluruhnya adalah Islam juga? Belum tentu. Tak semua yang seolah-olah tampak berupa budaya Arab adalah budaya Islam juga.
Pakaian seperti sorban, gamis, dan hijab panjang ternyata di daerah Timur Tengah bukan hanya digunakan oleh kalangan muslim saja. Pakaian seperti itu juga digunakan oleh orang-orang dari agama lain. Orang-orang Yahudi dan Kristen juga menggunakan seragam yang serupa juga.
Hal yang senada juga pernah dilontarkan oleh Gus Dur dalam gagasannya soal “Pribumisasi Islam”. Di mana datangnya budaya Arab sebagai medium masuknya Islam di Indonesia tak harus diadopsi secara mutlak sebagai kebudayaan Islam. Perlu dipilah dan diambil inti syar’iatnya ajaran Islam dan kemudian dipribumisasikan dengan kebudayaan lokal seperti yang dengan paripurna dipraktikkan oleh kalangan nahdliyin.
Kembali kepada masalah kosa kata islami yang sedang populer dan trend menguatnya berbahasa secara kearab-araban.
Kalau dilihat dari kecenderungan yang tampak, sebetulnya yang terjadi dalam fenomena berbahasa secara kearab-araban ini masihlah hanya sebatas budaya populer dan menjadi identitas penguat di level permukaan belaka.
Jika tujuannya untuk berbahasa secara kearab-araban kaum muslim urban adalah sebuah kesalehan dan spiritualitas, hampir persis tak dapat dijangkau. Selain sejak awal memang sudah keliru bahwa menganggap budaya Arab, bahasa Arab adalah sinonim mutlak dengan keislaman. Tak semua dari budaya Arab adalah berkaitan dengan Islam. Karena memang, budaya Arab itu lebih purba dari datangnya Islam yang baru muncul abad ke 7 masehi.
Lantas apa yang didapat? Kemudian hanya menjadi semacam budaya konsumsi baru, justru trend berbahasa secara kearab-araban menjadi ceruk konsumen baru bagi arus bisnis kapitalisme. Seperti yang tampak pada kosa kata “syari’ah” dan “halal” dalam arena bisnis belakangan. Kedua kosa kata itu menjadi ukuran kelayakan sebuah bisnis dari parameter keislaman.
Dan naasnya hal itu bukanlah substansi dari apa yang diperjuangkan oleh Islam. Ternyata, menurut film dokumenter “Sexy Killer” garapan Watchdoc menyebutkan bahwa Bank yang berlebel syari’ah dan bersertifikasi halal MUI juga terlibat menjadi donatur bisnis tambang batubara yang abai terhadap kelestarian lingkungan di daerah Kalimantan.
Dengan demikian bukanlah kontradiktif? Sebuah bisnis yang sudah diserifikasi halal dengan parameter Islam tersebut ternyata malah mendatangkan mufsadat bagi banyak orang?
Entahlah, dari situ menandakan banyak dari praktik keislaman kita perlu untuk kita renungkan dan koreksi kembali. Untuk mencari sebuah kearifan dan kemaslahatan.
M. Fakhru Riza, penulis adalah pegiat aktif di Islami Institute Jogja.