Abdurahman Wahid (Gus Dur), dalam tulisannya yang terbit tahun 1983, menyebut Haji Abdul Malik Karim Amrullah alias HAMKA sebagai “ulama organisasi”. HAMKA sebagai ulama—sebagaimana dipersepsikan publik—menurut Gus Dur, karena ia Ketua MUI pertama kala itu, namun tidak memiliki kapasitas keilmuan dan pengaruh yang kuat hingga ke masyarakat lokal.
Bahwa benar HAMKA tersohor sebagai tokoh modernis, lihai menulis dan memiliki banyak karya, tetapi apakah percik pemikirannya dikaji dan diajarkan oleh sekolah-sekolah di lingkungan pesantren, yang merupakan basis pendidikan agama? Adakah santri atau siswa sekolah yang bangga menjadi penerus pemikiran HAMKA?
HAMKA, di mata Gus Dur, seorang yang “seolah-olah” ulama, hanya casing saja, meski kontribusi pemikirannya dalam banyak bidang juga tidak bisa dinafikan. Agak “keterlaluan” sih yang dilontarkan Gus Dur, meskipun mungkin menjadi kenyataan. Gus Dur memang kritis terhadap HAMKA, termasuk kepada karya sastranya. Tidak masalah, ini biasa saja dalam dunia budaya ilmu pengetahuan.
Pertanyaanya adalah, adakah figur ulama generasi sekarang yang kapasitas keilmuannya setara atau melampaui HAMKA, ditambah pengakuan masyarakat lokal, nasional, hingga internasional terhadapnya, sehingga layak menyandang gelar ulama?
Ulama Milenial
Menjadi ulama, atau seorang diberi predikat ulama oleh masyarakat, bukan semata-mata ia cakap berceramah, pintar melucu, dan populer efek viral di media sosial, sebagaimana jamak terjadi era milenial sekarang.
Seorang ulama justru tidak dominan dibesarkan oleh faktor eksternal dirinya, seperti media dan ajimumpung untuk kepentingan politik praktis, tetapi berdasarkan pengalaman ulama-ulama tersohor di nusantara, mereka ditempa oleh olah batin spiritual (riyadhah), sebagai pengayom masyarakat, hidup sederhana, bahkan memilih hening jauh dari keramaian dan enggan populer.
Berbeda dengan penceramah generasi milenial yang cara memperoleh “gelar” ulama mengandalkan popularitas di depan kamera. Semakin ia viral, bertambahlah popularitasnya, jam terbang semakin jauh, jadwal on air maupun off air juga semakin padat, meski tak jarang nasib buruk “ulama baru” ini kadang jatuh di penguasaan ilmu-ilmu dasar agama Islam, seperti belum lancar baca tulis ayat Alquran, tidak paham tafsir, hingga penebar aktif ujaran kebencian dalam setiap kesempatan.
Seorang penceramah tidak secara otomatis dikatakan sebagai ulama, tetapi seorang ulama sangat mungkin bisa berceramah meski tidak sebagus para penceramah generasi mutaakhir. Kalau setiap penceramah diberi predikat ulama, maka seorang motivator, pendongeng, dan demonstran yang pintar berorasi di kalangan mahasiswa pun bisa dikatakan ulama.
Ulama generasi milenial (tentu saja penyebutan milenial di sini sangat simplistis, karena tidak kurang jumlah ulama milenal yang otoritatif di bidangnya) merupakan predikat semu, musiman, yang bisa terang-redup sesuai kebutuhan selera jemaah dan kepentingan pasar serta politik praktis.
Ulama generasi milenial justru sering mempertontonkan kedangkalan pengetahuan agama, lemah wawasan kebangsaan, miskin karya tulis (monumental), apalagi berbahasa asing (terutama Arab). Bahkan kita bisa mengatakan, mereka adalah penceramah ugal-ugalan, bak biker yang motornya tidak berplat nomor, tidak punya SIM, tidak taat akhlak di jalan raya, dan serangkaian ketidakmasukakalan lainnya. Lalu, bagaimana sebenarnya figur ulama yang ideal itu?
Ulama Ideal
Beberapa aspek penting sebagai tolok ukur dan kriteria seseorang dapat disebut ulama adalah minimal ia memiliki kedalaman pengetahuan agama yang ditempuh dalam masa pendidikan yang cukup lama melalui mata rantai otoritas keilmuan pengasuhnya dan berdasarkan pengaruh sekaligus pengakuan atas keulumaannya.
Dua kriteria di bawah ini akan mudah diketahui ada pada ulama-ulama terdahulu, yang ironisnya tampak samar—untuk tidak mengatakan nyaris tidak ada—dibanding ulama versi milenial.
Pertama, pengetahuan agama dalam tradisi masyarakat Indonesia umumnya ditempuh melalui pendidikan intensif sebagai santri di pesantren. Dan ini butuh waktu yang panjang. Bahkan terdapat figur ulama-ulama generasi awal yang berpindah dari pesantren ke pesantren atas saran dan rekomendasi dari kiainya.
Selain agar lebih mendalami dimensi luasnya ilmu agama, agar santri tersebut semakin banyak memeroleh berkah dan karamah karena niat tulus menuntut ilmu-ilmu agama lewat peran kiai. Pada aspek ini, tidak ada istilah “santri post-islamisme”, jika ia belum pernah mengenyam pendidikan di pesantren, apalagi predikat “ulama” yang lahir dari rahim kepentingan politik praktis.
Menjalani pendidikan di pesantren butuh waktu, tenaga dan keikhlasan, tidak hanya dirinya sendiri, tapi juga keluarga dan orang-orang terdekatnya, sebab merelakan anak tercinta berada di asrama dan bahkan jauh dari rumah.
Kedua, pengaruh dan pengakuan tidak hanya masyarakat Indonesia, tapi juga dunia. Para ulama Indonesia era terdahulu, sungguh merupakan saingan berat lembaga-lembaga pengetahuan keagaman seperti al-Azhar Kairo Mesir, Madrasah al-Zaituniyah di Tunisia, dan lain sebagainya. Di antara yang penting disebut, misalnya, ada Syekh Nawawi Banten yang memperoleh gelar “pemuka ulama Hijaz” (sayyid ‘ulama al-Hijaz, yang berarti kawasan Saudi Arabia meliputi kota suci Mekkah dan Madinah).
Dari rahim keilmuan kiai Nawawi itulah, melahirkan para santri yang menjadi ulama terpandang, seperti Syaikh Khatib Padang, K.H M. Hasyim Asy’ari Tebuireng, Kiai Mahfudz Tremas, Kiai Ihsan Jampes Kediri, K.H. A. Wahab Chasbullah dan K.H M. Bisri Syansuri Jombang, dan seterusnya. Otoritas keilmuan kiai Ihsan Jampes Kediri, lewat karya monumentalnya, Siraj al-Thalibin, bahkan diakui dunia, dan dijadikan textbook oleh kampus Universitas al-Azhar Mesir, Nigeria, dan lain-lain.
Sampai di sini, dapatkah orang yang oleh generasi milenial dipersepsikan sebagai tokoh agama, ustadz, bahkan ulama, keilmuannya itu dapat melampaui otoritas keilmuan ulama ideal, generasi terdahulu?
*selengkapnya, klik di sini