Cuaca cukup panas melanda Martapura Sabtu (9/3) kemarin, tidak menyurutkan umat Islam dari berbagai wilayah mulai memadati kota Santri tersebut, terutama area Kubah Abah Guru Sekumpul, seorang Ulama besar dari Kalimantan Selatan. Tanggal 9 hingga 11 Maret ditetapkan sebagai hari Haul KH. Muhammad Zaini Ghani atau Abah Guru Sekumpul, yang dinisbah tempat beliau melaksanakan pengajian yaitu Sekumpul.
Kearin memang bukan puncak dari pelaksanaan Haul yang biasanya diselenggarakan selama dua hari untuk umum dan satu hari untuk undangan terbatas. Tapi, hari Sabtu kemarin adalah awal pelaksanaan dari seluruh prosesi Haul yang biasanya dipadati dari berbagai wilayah di Indonesia, hingga luar negeri. Geliat jemaah haul sudah mulai terlihat mulai beberapa hari sebelum hari sabtu tersebut, bahkan menurut pengakuan beberapa jemaah, mereka memang mengalokasikan khusus beberapa hari dengan meliburkan dari semua aktivitas sehari-hari.
Sebagian besar masyarakat memang menyimpan koneksi ingatan pada sosok Guru Sekumpul, ini bisa dibuktikan dengan antusiasnya masyarakat, terutama masyarakat Banjar, dalam menghadiri haul Abah Guru Sekumpul. Jemaah haul memang didominasi orang dewasa, tapi kehadiran anak-anak yang berumur di bawah sepuluh tahun, bahkan ada yang masih balita, juga banyak terlihat berhadir di arena pelaksaan haul.
Kehadiran anak-anak dan remaja yang berumur 15 tahun ke bawah menarik diperbincangkan, karena mereka adalah generasi yang hampir bisa dipastikan tidak pernah berhadir langsung di pengajian Abah Guru Sekumpul di Martapura. Pertanyaan muncul dalam benak saya, mengapa mereka bisa merasakan kehadiran guru sekumpul dalam kehidupan mereka hingga sekarang, sehingga bisa turut larut dalam suasana religius di acara tersebut.
Mewariskan Ingatan, Menyelaraskan Imaji
Para jemaah haul yang mulai memadati di kota Martapura sejak Sabtu siang hingga puncak haul di hari Minggu (10/3) kemarin. Suasana seperti ini memang dirasakan setiap kali pelaksanaan haul Abah Guru Sekumpul, karena masyarakat mulai berdatangan dari berbagai penjuru Kalimantan, bahkan ada yang datang dari luar pulau Kalimantan. Membawa anak-anak tidak menyurutkan niat bagi para orang tua yang ingin berhadir di acara yang disebut dihadiri hingga jutaan jemaah.
Suasana sesak dan padat terus ditambah cuaca yang panas, memang bisa menyebabkan perasaan yang tidak nyaman bagi orang dewasa, apalagi anak-anak. Berbagai usaha kreatif dari para orang tua untuk bisa menenangkan atau membuat anak-anak nyaman selama di arena haul hingga selesai.
Saya mengamati sekali kondisi ini, karena bagi orang tua yang memiliki fisik lebih baik saja dari anak-anak, berhadir di acara haul sejak siang hari dan baru selesai hampir tengah malam harus memiliki kondisi fisik yang prima. Bisa dibayangkan anak-anak harus juga melewati kondisi yang cukup melelahkan, tapi menurut pengalaman beberapa jemaah yang saya temui juga melewati hal yang sama saat dibawa orang tuanya dulu ke pengajian Guru Sekumpul.
Niat dari para orang tua membawa anak mungkin bagian dari keinginan mereka untuk mewariskan ingatan pada sang anak akan sosok ulama besar seperti Guru Sekumpul. Bagi generasi kelahiran tahun 1980an hingga 1990an, membawa anak ke acara haul adalah duplikasi dari perilaku orang tua mereka sendiri. Memang ada diantaranya yang tidak pernah dibawa oleh orang tuanya ke pengajian Guru Sekumpul, yang biasanya dilaksanakan di Minggu malam.
Proses pemindahan rasa ruhaniah akan sosok Guru Sekumpul tidak hanya terjadi melalui pengalaman langsung di keluarga saat menghadiri haul atau mendengarkan pembacaan manaqib (hagiografi) dari sosok Ulama yang meninggal 14 tahun yang lalu. Tapi, dengan kehadiran media sosial dan kemudahan internet, imaji Guru Sekumpul bisa berhadir secara virtual dalam gadget atau gawai yang kita miliki.
Bagi generasi yang tidak pernah bertemu fisik atau menghadiri pengajian dari Guru Sekumpul, memori akan sosok Ulama yang dihormati tidak hanya di Kalimantan Selatan saja diterima dari kelindan berbagai medium.
Memang, foto yang tergantung di hampir seluruh rumah dan warung di tanah Banjar atau video ceramah yang dijual bebas adalah instrumen paling awal ditemui. Namun di era internet dan dunia digital ini, perjumpaan dan proses perwarisan ingatan terhadap sosok Guru Sekumpul bisa dijumpai dengan berbagai medium. Seperti, cerita-cerita karamah Guru Sekumpul, pengalaman orang yang berhadir di acara tersebut, video dan foto yang tersebar di platform Instagram, dan siaran televisi atau berita yang beseliweran di masyarakat. Sehingga suka cita soal haul seakan terus menggema di dunia maya, banyak masyarakat menyebarkan keikutsertaannya di acara haul tersebut.
Kondisi inilah yang menyebabkan gema haul menjadi apa yang disebut dengan “intimate public”, merujuk pada ihwal masyarakat yang bersandarkan pada pengalaman yang homogen dan menihilkan suara-suara berbeda.
Hadir sebagai jemaah haul akhirnya berubah menjadi imagined communities (komunitas terbayang), di mana masyarakat terus mewariskan ingatannya akan sosok ulama terkenal di tanah Banjar, sebagai bagian dari identitas komunitas.
Imaji akan sosok Guru Sekumpul ini terus dijaga dalam ingatan masyarakat yang berhadir di acara haul sebagai ekspresi dari keberagamaan masyarakat Banjar yang dekat dengan kultur tradisionalis atau ahlussunnah wal jamaah. Di sinilah kehadiran anak-anak yang di arena haul, tidak hanya memberikan pengalaman tapi juga menjaga warisan ingatan akan ulama yang dicintai oleh mayoritas masyarakat Banjar.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin