Sebelum masuk ke pembahasan tentang berdirinya Dinasti Abbasiyah, kita perlu merunut silsilah bani Abbasiyah agar mengetahui di mana titik temu dan titik seteru antara dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah yang telah berdiri lebih dahulu.
Dinasti Abbasiyah dinisbahkan kepada nama seorang Paman Nabi, Abbas bin Abdul Mutholib bin Hasyim bin Abd al-Manaf. Sedangkan nama Dinasti Umayyah dinisbahkan kepada Umayyah bin Abd Syam bin Abd al-Manaf.
Abd al-Manaf merupakan seorang juru kunci ka’bah. Sepeninggalnya, tugas itu diberikan kepada Hasyim. Namun, Umayyah, seorang budak yang dihadiahkan Abd Manaf kepada Abd Syam yang kelak dijadikan anak angkatnya, merasa iri dengan tugas tersebut. Hingga akhirnya, ia ingin mengambil alih dan menyingkirkan Hasyim, namun usahanya gagal.
Perseteruan antara Bani Abd Syam dan Bani Hasyim semakin keras saat dinasti Umayyah berdiri. Penindasan terus menerus dilakukan kepada keturunan bani Hasyim, khususnya keturunan Ali bin Abi Thalib bin Abdul Mutholib dan Abbas bin Abdul Mutholib oleh dinasti Umayyah.
Baik keluarga Abbas maupun Ali, keduanya memiliki ambisi untuk merebut kekhalifahan yang ada. Kelompok Syi’ah memiliki kekuatan yang lebih kecil dibanding Bani Abbas, sehingga pemberontakan yang dilakukan Syi’ah di Kufah berhasil dilumpuhkan oleh polisi dinasti Umayyah. Karena kekalahan itu, akhirnya Syiah bergabung mendukung Bani Abbas.
Dengan adanya kesamaan silsilah (Bani Hasyim) dan nasib yang ditindas oleh dinasti Umayyah, kelompok Syi’ah menyangka Bani Abbas dapat merepresentasikan kelompoknya. Sehingga, kelompok Syi’ah membantu upaya Bani Abbas dalam melakukan revolusi untuk menggulingkan dinasti Umayyah.
Namun apa yang diharapkan Syi’ah tidak terbukti karena saat Umayyah berhasil digulingkan, Bani abbas mengangkat Abul Abbas as-Suffah (749-754) yang merupakan keturunan Abbas bin Abdul Mutholib sebagai khalifah pertama bani Abbasiyah, bukan dari keturunan Ali bin Abu Thalib bin Abdul Muthalib. Hal ini yang menjadikan Syi’ah merasa tersingkir dari dinasti Abbasiyah.
Selain mendapat dukungan dari kelompok Syi’ah, pendirian dinasti Abbasiyah juga mendapatkan dukungan dari kelompok mawali (non-Arab), karena pada masa dinasti Umayyah kelompok mawali diperlakukan secara deskriminatif oleh pemerintah. Kelompok ini menempati status sosial yang lebih rendah dibanding masyarakat keturunan Arab.
Di masa awal kepemimpinan dinasti Abbasiyah, banyak terjadi pertumpahan darah yang dilakukan oleh pemerintah Abbasiyah dengan tujuan mengamankan kursi kepemimpinan dari kelompok-kelompok yang berpotensi untuk mengambil alih kepemimpinan, seperti Khawarij, Syi’ah, dan keturunan Bani Umayyah sebagaimana dilakukan oleh Abul Abbas as-Suffah.
Hal ini berbeda dengan yang dilakukan di masa kepemimpinan khalifah kedua, Abu Ja’far al-Manshur (754-775) yang mengkhawatirkan kursi kepemimpinannya diambil oleh orang-orang yang memiliki pengaruh kuat saat itu, yakni:
Pertama, Abdullah bin Ali yang merupakan komandan perang dan memiliki banyak pasukan di Khurasan. Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa ia menginginkan jabatan khalifah;
Kedua, Abu Muslim Al-Khurasani, adalah oang yang berpengaruh dan sangat berjasa besar dalam pendirian dinasti Abbasiyah. Al-Manshur khawatir kepemimpinannya akan dipengaruhi oleh keberadaan Abu Muslim, sehingga kekuasaannya menjadi tidak mutlak;
Ketiga, Keturunan Ali bin Abi Thalib yang dikhawatirkan akan menuntut jabatan sebagai khalifah karena masih satu keturunan dengan bani Abbas, yaitu keturunan bani Hasyim.
Dalam menyikapi ketiga kelompok di atas, al-Mansur tidak menggunakan cara kekerasan sebagaimana dilakukan pendahulunya. Namun, ia melakukan adu domba di antara ketiga kelompok tersebut. Upaya menyingkirkan lawa politik ini terus dilakukan dengan berbagai cara pada periode selanjutnya, khususnya menyingkirkan kelompok Syi’ah.
Wallahu A’lam.