Pada Sabtu, 2 Maret 2019 pukul 15.58, detik.com menurunkan sebuah berita yang berjudul: Sebut Puisi Neno Biadab, Buya Syafii Diminta Fadli Zon Belajar soal Sastra. Sebuah judul yang diambil langsung dari ucapan Fadli Zon di hari yang sama.
Saya berusaha membaca berita ini secara hati-hati dan seksama untuk menghindari syak wasangka. Sekaligus untuk menghormati Tuan Zon selaku Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang amat terhormat.
(Prof. Dr. H. Buya) Ahmad Syafii Maarif, sebagaimana yang dinasihati oleh Tuan Zon untuk belajar sastra, adalah sosok manusia merdeka kelahiran 83 tahun yang silam di Sumpur Kudus, Sijunjung, Sumatra Barat. Buya telah kenyang makan asam garam kehidupan sejak era kolonial, pendudukan Jepang, Orde Lama, Orde Baru, Reformasi, hingga kini. Peran kebangsaan dan keummatannya tak lagi diragukan. Ia adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005. Karya-karya pemikirannya terus mengalir dalam bentuk tulisan dan lisan. Gaya bahasanya sangat sastrawi, puitis, dan reflektif. Tuan Zon pasti tahu jika sudah membaca.
Berjiwa merdeka, Buya tak dapat diintervensi. Hati nuraninya akan mengatakan A adalah A dan B adalah B. Buya pasti akan terus berupaya menggugah nurani Bangsa selama mereka belum siuman. Jangankan Bunda Neno, orang-orang terdekatpun tak luput dari kritiknya. Batinnya tak akan berhenti merintih selama situasi dan kondisi Bangsa masih jauh panggang dari api. Itulah Buya, orang tua kita semua, sosok negarawan, bukan politisi.
Soal puisi, bagi saya, adalah Bunda Neno yang artis itu sudah terlalu jauh dalam kapasitasnya sebagai seorang artis yang terlibat di politik praktis dengan menyeret-nyeret agama. Siapapun yang membela dan bagaimanapun pembelaannya atas puisi Bunda Neno, adalah tidak jujur pada diri sendiri. Tentu orang mudah saja menilai puisi tersebut sangat politis dalam koteks saat ini. Dalam hal ini kita boleh beda pendapat.
Politik serba kepentingan sering membutakan mata dan hati. Salah dan benar menjadi serba benar di mata seorang penyuka. Sebaliknya, salah dan benar menjadi serba salah di mata seorang pembenci. Orang tidak lagi berlaku adil dalam menilai. Semua diukur dengan kaca mata “semau gue”. Padahal adil itu, kata Allah, lebih dekat pada takwa.
Jika saja Tuan Zon tahu, Buya Syafii selama ini tidak pernah membicarakan hal yang aneh-aneh tentang Tuan Zon, bahkan tentang Pak Prabowo. Kepada saya, secara empat mata, beberapa kali Buya bercerita mengenang kebersamaannya dengan Pak Prabowo saat beberapa tahun yang silam. “Bersama Pak Prabowo,” kata Buya, “kami pernah satu mobil saat di Afrika dulu.”
Tuan Zon yang terhormat, dari sekian banyak karya tulis Buya Syafii, ada diantaranya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris atas terbitan Leiden University Press. Buku itu kini telah menyebar di berbagai negara. Bahkan juga akan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Pemikiran keislaman dan keindonesiaan Buya Syafii menjadi harapan bagi dunia tentang model keberagamaan dalam keberagaman.
Nasihat Tuan Zon kepada Buya Syafii untuk belajar lagi tentang sastra tampaknya mencerminkan betapa Tuan Zon belum mengenal Buya Syafii secara baik. Jika sedang berkunjung ke Jogja, sempatkan ke kampung Nogotirto di Sleman. Buya akan sangat mudah dijumpai saat salat berjamaah di Masjid Nogotirto. Saat Magrib biasanya Buya meluangkan waktu hingga Isya di Masjid untuk ngobrol-ngobrol dengan tamu, takmir masjid, anak-anak muda, dan lainnya.
Jika tidak sempat ke Jogja karena Tuan Zon pasti super sibuk mengurus negara, Buya juga sering ke Jakarta minimal sekali dalam sepekan. Bisa ketemu di Jakarta. Namun haruslah yang muda yang menemui. Jangan terbalik. Kita Bangsa yang menjunjung tinggi tata krama, bukan?
Akhirnya, setelah mengenal Buya Syafii secara lebih dekat dan lebih baik nantinya, silakan Tuan Zon bertanya pada diri sendiri secara jujur dan tulus: Siapa Fadli Zon dan siapa Buya Syafii Maarif?