Kabar mutakhir dari Timur Tengah: Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, dan Bahrain, yang kontra-Mursi dan al-Ikhwan al-Muslimun, menarik dubes-dubesnya dari Qatar, satu-satunya pendukung Ikhwan di kawasan Teluk. Warta ini makin menunjukkan, ditumbangkannya Mursi pada Juni tahun lalu telah menyebabkan polarisasi tajam di Timur Tengah.
Arab Saudi sudah “berfatwa” bahwa Ikhwan adalah organisasi teroris (jama’ah irhabiyyah). Ikhwan menjadi satu-satunya organisasi tak bersenjata, tidak seperti Hizbullah misalnya, yang dilabeli teroris oleh Saudi. Dan dengan corak pemerintahan totalitariannya, muncul sejumlah kemungkinan bahwa Saudi akan memberi sanksi warganya yang memberikan dukungan kepada Ikhwan.
Kabar ini, kendatipun sudah diduga sejak lama, sebab Mesir sendiri pun sudah memberi label teroris ke Ikhwan, menyisakan sejumlah kejanggalan. Label itu diduga kuat hanya untuk mempertahankan stabilitas posisi Saudi dkk dalam mendukung rezim Mesir saat ini. Salafi dan Ikhwani kini sedang bersitegang. Salafi kentara sisi pragmatisnya—dan karena itu cukup dimaklumi jika Ikhwan menuduhnya sebagai pengkhianat perjuangan Islam-politik.
Saudi sebagai representasi Salafisme di kawasan wajib mengamankan interes politiknya. Dan tentu sikap Saudi ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan prospek demokrasi di Mesir. Amerika saja tidak sefrontal Saudi. Amerika justru mencabut bantuan rutin tahunan ke militer Mesir, dan belum melabeli Ikhwan sebagai teroris.
Ambiguitas di Suriah
Kejanggalan lainnya yang nanti akan menyeruak pula ialah sikap oposisional terhadap rezim Suriah saat ini. Saudi, Qatar, dan Turki ialah tiga negara yang menjadi penyokong terbesar oposisi Suriah. Jamak diketahui, gerakan politik terkuat di dalam oposisi Suriah kini ialah Islamis-Ikhwan.
Posisi Qatar dan Turki dalam kasus Mesir dan Suriah sampai saat ini ialah pendukung Ikhwan. PM Turki Erdogan dianggap sebagai penghasut dan pemecah belah Mesir, bahkan oleh Al-Azhar, karena mempopulerkan Rabi’a (yang kini jadi simbol perlawanan pendukung Ikhwan). Aljazeera (punya Qatar) menjadi corong propaganda pendukung Ikhwan—tapi kini sudah dijegal dari Mesir oleh rezim as-Sisi.
Tapi di Mesir, Saudi mendukung rezim militer, antara lain dengan bantuan US$ 12 miliar, sebagai ganti dari dicabutnya bantuan rutin Amerika. Sejak tumbangnya Mursi, al-Arabiya (punya Saudi) dan Aljazeera saling beradu berita, yang satu sama lain bisa saling bertentangan propaganda.
Dengan ketegangan yang sudah sedemikian panas antara Saudi dengan Qatar, apakah itu akan merembet pada sikap kesepahamannya dalam kasus Suriah? Apakah Saudi akan menarik dukungannya terhadap Ikhwan yang dominan di Koalisi Nasional Suriah (grup oposisi terbesar di Suriah)? Ini masih menjadi pertanyaan besar dan masih menunggu jawab. Kalau polarisasi Saudi-Qatar benar mencapai titik akut, maka diprediksi bahwa di tubuh oposisi Suriah pun akan muncul faksionalisasi. Tapi, terlepas dari soal itu, satu garis merah setidaknya bisa diambil kesimpulan: Ikhwan telah menjadi kekuatan proxy baru di Timur Tengah.
Proxy Baru
Ikhwan menjadi kekuatan proxy baru sebab, kita tahu, selepas sapuan angin Arab Spring tiga tahun mutakhir, Ikhwan dan segala afiliasi politiknya di Timteng dan Afrika Utara memenangi pemilu. Ikhwan menjadi pemain besar dalam geopolitik Timteng, yang semula hanya dihegemoni oleh proxy Saudi vs Iran.
Di Tunisia, misalnya, selepas rezim an-Nahdhah menyatakan bahwa yang terjadi di Mesir adalah “kudeta terhadap legitimasi” (al-inqilab dhidd as-syar’iyyah), kekuatan sekuler turun ke jalanan. Kaum sekuler menyerukan pembubaran Dewan Konstituante Tunisia. Di antara korbannya: Mohamed Brahmi, politikus kiri-sekuler tewas. Tapi kabar baiknya, an-Nahdhah sigap menangkap sinyalemen kasus Mesir: bahwa jika mereka ngotot, maka zero-sum game akan memanaskan tensi politik. An-Nahdhah mau berkompromi.
Di Libya pun terjadi friksi. Setelah as-Sisi berhasil mengkudeta Mursi, faksi sekuler Libya menginginkan militer dapat lebih tegas menghalau ekstrimis Islam mendominasi parlemen, terutama menyikapi kasus di Benghazi. Demikian pula di Maroko. Partai Keadilan dan Pembangunan (afiliasi Ikhwan di Maroko yang telah memenangi pemilu) menerima ancaman dari faksi sekuler setelah terjadi kudeta terhadap Mursi. Itu dilakukan, antara lain, dengan menarik dirinya Partai Istiqlal, koalisi Ikhwan-Maroko, dari parlemen dan menuntu PM Maroko untuk mundur.
Tapi “Efek Mesir” (the Egypt effect) paling panas tetaplah terjadi di kawasan Syam (Levant). Di sini kita melihat jejaring aliansi yang rumit diurai: Di Suriah, Iran mendukung rezim Assad, sedangkan negara-negara Teluk menentang Assad. Assad kontra terhadap Ikhwan. Ikhwan dan Amerika menentang rezim interim Mesir kini. Namun negara-negara Teluk, minus Qatar, mendukung rezim as-Sisi. Sikap paradoks: negara-negara Teluk bersetuju dengan Ikhwan di Suriah, tapi berseberangan secara ekstrim dengan Ikhwan dalam menyikapi Mesir.
Iran adalah pendukung Hamas melawan Israel. Hamas mendukung Ikhwan. Rezim Obama mendukung Ikhwan di Mesir. Sedang Ikhwan kontra rezim Assad. Ada sikap paradoks lagi: di Mesir, Ikhwan sependapat dengan Iran, sedangkan di Suriah, Ikhwan berseberangan secara ekstrim dengan Iran.
Begitulah, kita tak lagi bisa memetakan geopolitik Arab kini sekedar perang proxy Sunni-Syiah atau Iran-Amerika. Faksi Islamis terbelah. Bahkan proxy Barat-sekuler pun tak sepaham. Opisisinya tak lagi biner. Dengan dimasukkanya Ikhwan ke daftar hitam oleh rezim-rezim di Arab kini, geopolitik Arab mengalami—meminjam istilah Marwan Muasher, analis Timur Tengah—“reshuffle” aliansi. Dan kabar yang kurang menggembirakan ialah, aliansi yang sudah rumit itu dipanas-panasi oleh zero-sum politik Islamis vs sekuler.
~ artikel ini pertama kali dimuat di Republika, 17/03/2014