Dalam sebuah perjalanan, Ali Syariati berkunjung ke Mesir. Salah satu tempat yang dituju oleh Syariati sebagaimana turis yang lain adalah Piramida. Namun, Syariati yang memiliki kecenderungan pada sosialisme malah melakukan ziarah yang berbeda dengan para turis kebanyakan yaitu mendatangi makam para budak yang mengerjakan bangunan piramida tersebut.
Di atas tanah yang dipercaya sebagai wadah pemakaman dari budak yang gugur selama pengerjaan piramida tersebut, Ali Syariati merenungkan akan keadaan penindasan yang terjadi pada masa tersebut yang didasarkan pada sebuah kebudayaan. Dengan merasakan akan kesamaan ras, Syariati juga menegaskan bahwa penindasan akan diri manusia haruslah dilawan.
Monumen Piramid akhirnya dipandang oleh Syariati sebagai sebuah simbol penindasan akan kemanusiaan, pemecah dan pengelompokan rasial ini juga akhirnya berhasil membangun monumen di atas kuburan, yang bagi Syariati adalah “pendahulunya”. Akhirnya Syariati melihat peradaban sebagai suatu kutukan, di mana dia merasakan suatu kebencian yang membara atas ribuan tahun penindasan terhadap para “pendahulunya”.
Kemuakan Syariati terhadap kebudayaan yang dibangun atas pemecahan dan pengelompokan rasial tersebut adalah harus menjadi pelajaran untuk kita menghadapi segregasi parah dan pengentalan rasa kebencian pada “yang liyan”. Kebencian Syariati itu kemudian dituliskannya dalam sebuah narasi dalam sebuah surat. Narasi dalam surat tersebut sangat kuat sehingga bagi siapa saja yang membacanya, semangat melawan rasialisme akan berkobar sangat hebat.
Keadaan yang berbeda terjadi di Indonesia, di sekitar kita mudah sekali ditemukan narasi kebencian pada berbagai perbedaan yang melekat pada diri orang lain. Keadaan ini juga bisa dirasakan hingga ke dunia maya, kita bisa melihat dengan sangat mudah seseorang melakukan perundungan kepada orang lain, baik secara satir atau blak-blakan hanya karena perbedaan pilihan atau sikap politik, agama, ritual ibadah, dan lain-lain.
Melantangkan Kemanusiaan di Tengah Epidemi Politi Identitas
Beberapa minggu lalu, kita sempat dihebohkan dengan perdebatan soal doa atau puisi yang dibacakan oleh Neno Warisman saat acara Munajat 212 kemarin, 21 Februari 2019. Keributan yang disebabkan oleh pembacaan doa atau puisi munajat tersebut, ramai diperbincangkan dari media sosial hingga salah satu acara talkshow televisi swasta nasional, turut membicarakannya dan mempertentangkan dengan pernyataan “Perang Total”, yang disampaikan salah satu anggota Tim Kampanye Nasional (TKN), yaitu Moeldoko. Karena, apa yang dibaca oleh Neno disebut sebagai adopsi dari doa Nabi Muhammad saat di perang Badar.
Apa yang dibaca Neno Warisman di hadapan ribuan orang di Munajat 212, oleh para pendukungnya digolongkan sebagai ungkapan kekhawatiran dari rakyat jelata melihat keadaan umat Islam yang diasumsikan dalam keadaan yang sangat genting, seperti ritual umat Islam, seperti azan, akan terus dihilangkan, tokoh umat Islam terus dikriminalisasi, dan lain-lain. Walau kebenaran akan fakta kondisi tersebut masih bisa diperdebatkan, namun narasi doa yang dibacakan oleh Neno kemarin adalah usaha untuk memperkuat framing keadaan tersebut.
Walau doa atau munajat Neno tersebut terilhami dari doa Nabi Muhammad, sebagaimana penjelasan Buya Yahya, dalam salah satu ceramahnya tak berapa setelah riuhnya doa Neno. Tapi yang perlu diperbincangkan dalam persoalan doa Neno, bukan pada asal usul dari doa tersebut, tapi titik tekan doa tersebut pada narasi yang tersembunyi di dalamnya. Beberapa kalimat dalam doa tersebut jelas mengandung beberapa tuturan absurd yang bisa dicerap berbeda dan menggiring opini liar pihak yang mendengar atau membacanya.
Di antara kalimat yang bisa menggiring opini liar dari doa tersebut adalah “jika kau tidak menangkan kami, maka kami khawatir tidak ada yang menyembahmu ya Allah”. Kalimat memang kalimat pamungkas dalam perbincangan hangat beberapa minggu yang lalu. Narasi yang dibangun oleh Neno dalam bait tersebut adalah ketakutan akan keadaan umat Islam yang semakin tertindas jika “pilihan” umat tidak menang dalam konstestasi politik tahun 2019 ini.
Neno jelas sekali membangun atau mengkapitalisasi asumsi akan keterpurukan umat yang selama ini terjadi sebagai akibat dari kebijakan dari salah satu kontestan Pilpres. Dalam kalimat doa yang dibaca Neno tersebut juga menggunakan kata “kami” sebagai penanda kelompoknya, ini juga menandakan ada “mereka” sebagai lawan dalam pertarungan pilpres ini. Di sinilah letak kekeliruan dalam doa Neno, yang dibenci adalah kelompok lain di luar diri dan kelompoknya. Sebab, narasi yang dibangun adalah gejolak yang dihadapi umat jika calon yang mereka dukung kalah, akibatnya isu ini rentan memancing perpecahan dalam segregasi di pilpres saat ini.
“Perang Total” yang dikumandangkan oleh Moeldoko, salah satu Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, juga memiliki permasalahan yang sama. Yakni, pemilu atau pilpres seharusnya tidak perlu dipandang sebagai ajang perang atau bentrok antar dua kontestan. Tapi, Pilpres seharusnya dipandang sebagai medium memperjuangkan hak-hak seluruh manusia yang hidup di Indonesia, bukan soal perebutan kekuasaan.
Narasi kebencian akhirnya digiring untuk pembalasan atas nafsu pribadi atau kelompok belaka, bukan membenci atas tindakan kesewenang-wenangan atas kemanusiaan, penindasan pada kelompok minoritas, pembelahan masyarakat berdasarkan agama, ras, kelas dan warna kulit. Persoalan kemanusiaan harus menjadi panglima dalam kehidupan berbangsa di Indonesia. Jangan sampai kita larut dalam pembelaan terhadap calon yang kita dukung dan membenci pada calon yang lain tanpa memperhatikan persoalan kemanusiaan.
Kita memang harus menerima akibat dari luka yang disebabkan oleh perseteruan yang menggunakan jargon-jargon keagamaan dan kebencian. Luka ini akan memerlukan waktu yang lama untuk benar-benar sembuh. Banyak pekerjaan rumah bagi seluruh elemen umat dan bangsa ini dalam memperjuangkan politik yang bersih dari anasir atau epidemi macam politik kebencian.
Membangun narasi kebencian harus diarahkan ke persoalan-persoalan yang bertentangan dengan kemanusiaan. Seperti apa yang dilakukan oleh Syariati saat melihat sejarah piramida, dia membenci penindasan atas manusia, segregasi kelas, dan perbudakan. Jadi, apa yang dilakukan oleh Neno dan Moeldoko mengasumsikan bahwa prosesi demokrasi bernama pilpres ini bagaikan perang adalah hal yang sangat keliru. Sebab, yang dilakukan oleh mereka adalah menempatkan umat dalam kebimbangan dalam melihat masa depannya sendiri yang kemudian dikapitalisasi menjadi modal untuk merebut kekuasaan.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin