Stadion Sriwedari Solo penuh sesak manusia pada acara puncak haul Gus Dur, 23 Februari lalu. Hadir di acara itu sejumlah tokoh antara lain: Sudjiatmi Noto Mihardjo, Yenny Wahid, Gus Mus, KH Abdul Rozaq Shofawi, Mahfud MD, Oman Fathurahman, Gus Yasin, Irjen Condro Kirono,dan F.X Hadi Rudyatmo. Apa yang disampaikan Yenny Wahid di acara itu patut kita catat: pesan Gus Dur hanya satu kepada anak-anaknya, ia mengatakan hidup itu adalah cinta dan ibadah.
Mengenang Gus Dur saya teringat salah satu kisah di buku Seperti Bulan dan Matahari karya Stanley Harsha. Saya menemukan buku itu di sebuah bazar. Setelah sekilas membuka-bukabuku, dan tahu pemberi kata pengantar adalah Azyumardi Azra (dosen saya di SPS UIN Jakarta), saya putuskan membeli buku Seperti Bulan dan Matahari yang ditulis mantan diplomat AS itu.
Pada tulisan bertajuk Jodoh, Harsha mengisahkan perjuangannya dalam menyunting Henny Mangoendipoero. Sebagai “orang asing” Harsha tentu harus beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan banyak hal. Menyatukan dua kebudayaan yang sama sekali berlainan tentu bukan perkara mudah. Terlebih lagi dalam soal agama. Henny muslim, sedang Harsha Nasrani.
Bagi Harsha, tidak mudah baginya untuk berpindah agama. Sedang Henny bersikukuh jika Harsha ingin menikahinya harus menjadi muslim. Sampai pada suatu ketika, Henny menyarankan Harsha untuk bertemu Gus Dur, yang saat itu menjabat Ketua Umum PBNU. Harsha dan Gus Dur pun berdiskusi panjang lebar.
Bagi Harsha, Gus Dur adalah sosok yang hangat. Harsha mencatat: Ia berbincang-bincang dengan saya selama beberapa jam, memberi pelajaran tentang Islam. Seorang yang sangat baik dan hangat, membuat saya langsung mempercainya, selagi ia menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan cinta, perdamaian, dan amal.
Dalam pertemuan itu Harsha tak lupa menyampaikan curhatnya kepada Gus Dur perihal rencana pernikahnnya dan soal pindah agama. Harsha bilang ia tak bisa meninggalkan begitu saja ajaran Yesus. Gus Dur lalu menjelaskan bahwa Isa juga diakui sebagai nabi dalam Islam. Penjelasan itu itu, menurut Harsha, selaras dengan pandangannya. Harsa mengaku dibesarkan di lingkungan Divine Science Cruch, yang meyakini bahwa Yesus adalah seorang Nabi yang diterangi cahaya Tuhan.
Harsha kemudian perlahan-lahan mulai mendalami Islam. Semakin ia belajar semakin ia hormat dan kagum pada sumbangsih Islam bagi dunia. Pada akhirnya, Harsha memutuskan masuk Islam.
Mencermati kisah masuk Islamnya Harsha saya kira kita dapat mencatat sejumlah hal. Bahwa semangat dialogis perlu diutamakan dalam laku beragama. Tentu dialog dengan bekal keilmuan yang memadai Tidak perlu debat sengit dan menunjukkan siapa menang siapa kalah untuk membuat orang masuk Islam. Pada titik tertentu, debat hanya menyisakan luka, sakit hati dan kebencian.
Harsha, diplomat yang bertugas di Indonesia selama 12 tahun, telah memberikan tinggalan yang penting bagi kita. Boleh jadi, di masa sekarang ini, lataran cerita Harsha, kita jadi merindukan sosok Gus Dur. Alfatihah..