Apa sih yang menarik menjelang Pilpres di tanggal 17 April 2019 besok? Jadi gini, santai dulu. Saya tidak terlalu aktif membuka twitter. Twitter cenderung jadul dan tidak menarik untuk generasi seperti saya. Twitter tidak kaya dengan gambar atau video narsis, hanya menyiapkan ring orang berantem. Tapi beberapa hari terakhir saya penasaran dengan tagar-tagaran itu. Kelebihan twitter hanyalah karena media sosial ini menyiapkan fasilitas trending topik dengan bantuan hastag atau tagar atau tanda # yang diketikkan di awal kata (atau beberapa kata tanpa spasi) dan diselipkan di setiap postingan apapun. Hastag ini juga nge-link ke Facebook dan Instagram.
Terkait pilpres (apa yang lebih menarik diobrolkan sekarang kalau bukan pilpres), dalam soal tagar-tegaran ini kubu 02 lebih agresif dan lebih siap dengan tim buzzerya. Bahkan saat debat pertama masih berlangsung tagar #PrabowoMenangDebat sudah menjadi trending. Tagar #JokowiMenangDebat baru muncul keesokan harinya.
Kubu 02 juga kompak dalam soal tagar-tagaran ini. Bahkan mereka rutin bikin tagar Prabowo menang di Sumut atau di provinsi-provinsi lain secara bergilir dan kompak: hari apa mengeluarkan tagar apa. Di kubu 02 tagar-tagaran dilakukan secara TSM (terstruktur, sistematis dan massif). Sementara di kubu Jokowi, dari cara menyusun kata-kata di tagarnya saja tidak seragam. Namun dengan begitu sebenarnya lebih kelihatan alaminya. Belakangan saja, saya mengamati gerakan tagar-tagaran di kubu 01 lebih rapi. Meski tidak satu komando, para pendukung 01 belakangan ikut meramaikan tagar-tagar dengan cara meniru tagar yang sudah dibikin oleh akun-akun pro 01 yang jelas orangnya.
Apakah tagar berpengaruh terhadap sentimen netizen? Menurut saya, secara lagsung memang tidak. Apalagi trend pengguna twitter cenderung stagnan, tua dan elit. Tapi tagar ini menjadi bahan media massa untuk mengolah isu. Insan media sebenarnya sudah tahu bahwa pasti ada peran buzzer atau orang-orang yang bekerja untuk meramaikan tagar itu, bahkan satu orang bisa mengelola banyak sekali akun meda sosial.
Tapi tagar yang kemudian menjadi viral itu diaggap sebagai bagian dari “fakta” yang layak jadi berita. Sama seperti gerakan demonstrasi misalnya, insan media seringali tahu siapa yang menggerakkan demonstrasi itu atau bahwa demonstrasi itu tidak normal, tapi ketika demonstrasi itu sudah terjadi meskipun massa hanya 10 orang maka itu sudah disebut fakta dan layak jadi berita. Aksi tagar juga begitu.
Kedua, metadata tagar berfungsi untuk menciptakan isu viral itu sendiri. Kalau anda mengklik tagar #PrabowoJumatanDimana atau tagar sebaliknya #JumatanBarengPrabowo maka di situ isinya bisa bermacam-macam. Konten-konten lama juga diunggah lagi yang isunya bercam-macam. Dalam dunia jurnalistik, apalagi di media sosial, gosip yang diulang-ulang meskipun belum jelas kebenarannya tetapi jika dia tampil berulang-ulang, maka ia akan dianggap sebagai kebenaran.
Dalam hal ini, pihak-pihak yang berkepentingan akan mendapatkan dua keuntungan sekaligus: Tagar berfungsi untuk memviralkan isu baru yang sedang dikreasi, sekaligus menancapkan isu lama yang sudah dibikin sebelumnya.
Itulah yang katanya dunia post truth, pasca kebenaran. Lantas apakah orang-orang yang main tagar-tagaran yang kadang-kdang lucu-lucu dan sangat ashobiyah itu seperti #InstalPrabowo #UninstalJokowi, #SiFulanMenang #SiZaidKalah itu orang-orang yang tidak berpendidikan? Atau orang tak beragama? Tentu tidak. Di zaman post truth orang melakukan kelucuan-kelucuan secara sadar.
Nah, yang terakhir ini berbau kampanye: Jika Anda seperti saya ingin 01 presiden lagi melanjutkan program yang sedang terus berjalan, jangan lupa ikut meramaikan tagar-tagaran itu, kita ikut viral-viralan.
Kita lucu-lucuan saja sampai 17 April nanti saja. Semua orang pasti akan lucu pada waktunya.