Post truth merupakan istilah yang sedang trend untuk menggambarkan kondisi kekinian. Istilah ini mulai populer pasca peristiwa Brexit dan kemenangan Donald Trump menjadi Presiden AS. Kamus Oxford mendefinisikan post truth sebagai kondisi dimana fakta tidak banyak berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal.
Dalam era post truth kebenaran tidak lagi berdasarkan fakta dan nilai-nilai etis, tetapi berdasarkan sentimen emosi. Sesuatu yang secara etik normatif benar akan dianggap salah jika tidak sesuai dengan sentimen emosi sekalipun didukung dengan data dan fakta yang valid. Bahkan kebenaran agama akan diukur berdasar sentimen emosi, bukan pada spirit dan substansi ajarannya.
Di era post truth norma dan etika diabaikan. Kebenaran tidal lagi dibutuhkan. Manusia menggunakan segala potensi dan kemampuan rasionalitas untuk melakukan pembenaran atas berbagai tindakan yang sesuai dengan kemauan dan kepentingan diiri dan kelompoknya. Fakta dan kebenaran yg tidak sesuai dengan keinginan diingkari dan dilipat kemudian disembunyikan rapat-rapat dibalik retorika dengan logika yang tidak logis.
Era post truth telah membuat kebenaran dan kesalahan, fitnah dan kenyataan menjadi sulit dibedakan. Orang berkata benar dianggap menista agama kemudian dihujat dan dimasukkan penjara. Orang yang memberi peringatan atas penyelewengan kitab suci untuk dijadikan alat menipu demi kepentingan politik justru dimusuhi dan dituding melecehkan agama. Sebaliknya orang-orang yang menggunakan agama untuk menutupi kebusukan dan kebejatan justru disanjung dan dibela. Mereka lebih tersinggung pernyataan jangan mau ditipu dengan ayat daripada pernyataan kitab suci adalah fiksi. Badahal secara faktual berapa banyak orang yang menipu ummat dengan menggunakan ayat kitab suci dan simbol agama. Fenomena ini terlihat marak di negeri ini.
Sembilan abad yang lalu seorang pujangga besar Joyoboyo telah memprediksi kondisi seperti ini. Dalam jongko Joyoboyo dia menyebutkan kondisi post truth ini dengan istilah “jaman Kolobendu”. Joyoboyo menggambarkan, pada zaman ini rasa kemanusiaan dianggap tidak penting bahkan hampir lenyap. Bapak lupa pada anak, anak melawan orang tua, sssama saudara saling konflik, keluarga terpecah, semua demi harta, jabatan dan materi.
Selanjutnya Joyoboyo menyatakan bahwa di zaman Kolobendu suara lantang akan jadi panutan. Orang-orang yang berani berkata kasar, caci maki dan keras akan jadi panutan dan memiliki pengaruh besar sekalipun orang tersebut bodoh, tidak berilmu dan tak bermoral.
Dampak dari jaman Kolobendu adalah, kenyataan hidup menjadi kebalik-balik. Kebenaran diingkari kejahatan diiikuti. Kebaikan ditolak, fitnah dan permusuhan masuk dalam otak. “Wong apik ditampik, wong bener thenger-thenger. Wong olo disubyo-subyo, wong cidro tambah mulyo” ( orang baik dotolak, orang bener kesepian diasingkan, orang bejat dihormati, orang jahat tambah dimulyakan) demikian Joyoboyo menggambarkan kondisi jama Kolobendu.
Dalam konteks Islam, era ini dikenal dengan jaman fitnah akhir zaman. Zaman ini ditandai dengan munculnya fitnah Dajjal sebagai Fitnah terbesar dalam kehidupan manusia. Meski sosok Dajjal ini sangat dibenci dan dimusuhi semua manusia, namuan penampilan sosok Dajjal sangat memikat dan menarik perhatian orang. Sebagaimana dijelaskan dalam salah satu hadits Nabi: “Sesungguhnya bersama dia ada surga dan nerakanya, sungai dan air, serta gunung roti. Sesungguhnya surganya Dajjal adalah neraka dan nerakanya Dajjal adalah surga.” (HR. Ahmad)
Hadits di atas menyebut dengan jelas Dajjal selalu membawa surga dan neraka yang ditawarkan pada semua orang. Seolah olah dialah pemilik surga dan neraka sehingga dengan mudah menghakimi orang untuk dimasukkan surga atau neraka. Padahal sebenarnya surganya Dajjal adalah neraka demikian sebaliknya. Tawaran surga dan neraka inilah yang membuat banyak orang tertipu. Terutama mereka yang berhati kotor, culas, ambisi terhadap kekuasaan dan sombong dengan imannya. Merasa dirinya paling benar, paling suci dan paling berhak atas surga.
Ketika simbol agama sudah diobral untuk kepentingan politik sehingga fitnah dan kebenaran menjadi samar. Disinilah pentingnya kita bersikap kritis dan menjaga kebersihan hati pada siapa saja yang suka menggunakan simbol agama. Karena Dajjal bukanlah sosok yang terlihat bejad san biadab. Sebagai fitnah, dia justru terlihat mulia dan religius agar manusia tertarik padanya. Di jaman fitnah seperti ini, setan, iblis, dhemit semua menggunakan topeng malaikat. Dalam kondisi demikian hanya kebersihan hati, keikhlasan jiwa dan sikap istiqamah yang bisa menembus topeng yang terlihat mulia, indah dan menarik sehingga bisa melihat wajah Dajjal yang bengis dan biadab yang ada di balik topeng.
Dalam istilah Joyoboyo, dalam jaman Kolobendu, hanya orang-orang yang eling (ingat pada Allah) dan waspodo (senantiasa kritis dan tidak mudah hanyut delam klaim kebenaran yang provokatif) yang bisa selamat dari fitnah Dajjal