Jelang Pemilu 2019 April mendatang, mulai ramai ajakan untuk golput (golongan putih), terutama untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Angin golput berembus paling santer dari kalangan aktivis Hak Asasi Manusia (TEMPO, 1 Februari 2019). Pelbagai argumen pro dan kontra golput pun mengemuka. Pertanyaannya bagi kita, sebetulnya mana sikap yang lebih baik untuk Pemilu 2019: memilih salah satu calon atau golput?
Menurut catatan Majalah TEMPO, golput sudah mulai lahir sejak tahun 1971 menjelang pemilu waktu itu. Gerakan ini makin berkembang ketika nuansa pemerintahan yang otoriter dan manipulasi pemilu mulai terasa. Meskipun sejak 1973 ada tiga partai di Indonesia, yakni Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), pemenang pemilu dari waktu ke waktu selalu Golkar. Joke-nya, sebelum pemilu dilangsungkan sekalipun semua sudah tahu bahwa Golkarlah pemenangnya dan Soeharto kembali menjadi Presiden.
Nah, kelompok Golput lahir sebagai reaksi perlawanan atas kemenangan pemilu yang mutlak dan niscaya tersebut. Golput merujuk pada pilihan untuk tidak memilih atau memilih ke bagian kertas suara yang berwarna putih sehingga kertas suara menjadi tidak sah. Jadi secara historis, Golput merupakan perlawanan terhadap Golkar yang selalu menang dalam pemilu tersebut.
Menilik konteks sekarang, dalam Pemilu Presiden 2019 terdapat dua pasang capres-cawapres yang dapat dipilih. Masing-masing pasangan dapat dipilih secara bebas. Tidak ada lagi setting-an untuk memenangkan salah satu pasangan calon entah apapun hasil pemilu nyatanya seperti di zaman Orde Baru.
Dalam situasi seperti ini, pilihan warga negara amatlah berharga. Kemenangan atau kekalahan calon pemimpin semata-mata ditentukan oleh pilihan rakyat. Jadi, bila ditinjau secara historis, golput sudah tidak relevan lagi di masa sekarang.
Sebelumnya, saya sepenuhnya setuju dengan para penganjur Golput yang menyatakan bahwa Golput adalah hak, sebagaimana memilih adalah juga hak. Dengan demikian, Golput tidak boleh dipidana, juga karena tidak dilarang oleh undang-undang. Saya juga tidak akan memandang golput dari sudut pandang agama, apalagi mengaitkannya dengan dosa atau tidak dosa. Dosa urusan Allah dan golput tidak berurusan dengan itu.
Harus diakui, argumen pro-golput memang masuk akal: tidak ada pasangan calon yang benar-benar sesuai harapan; kampanye masing-masing calon tidak bermutu, hanya sekadar mengumbar sensasi namun minim program, visi, dan misi; serta ada cacat cela calon yang mengecewakan. Itu benar adanya dan merupakan suatu kritik tajam bagi para peserta pemilu.
Namun, dalam dunia politik, mau tidak mau kita harus menerima bahwa tidak ada yang sepenuhnya sempurna. Demikian pula sebaliknya. Tidak ada dikotomi mutlak baik-buruk. Tidak ada hitam dan putih. Semuanya abu-abu dalam politik. Jika diukur dalam skala nilai 0-100, tidak ada aktor politik yang punya skor 0 atau 100. Bahkan menurut social scientist dan pengajar STF Driyarkara, Herry Priyono, SJ, skalanya mesti dipersempit lagi, hanya pada kisaran skala 30-70 saja. Sudah begitu, tak jarang skornya pun beda-beda tipis.
Padahal politik, bila merujuk dari makna asalinya menurut Aristoteles dalam buku Politics jilid I, ialah segala kegiatan untuk menentukan arah negara ke depannya. Motifnya adalah demi kemaslahatan dan masa depan bangsa, serta mencapai kebaikan bersama yang tertinggi (highest common good).
Jika demikian, pemilu yang termasuk dalam kegiatan politik diselenggarakan semata-mata demi tujuan tersebut. Barangkali terkesan lebay dan genit kalau mengatakan bahwa satu suara kita menentukan masa depan bangsa. Tapi sesungguhnya jargon lama itu benar adanya.
Akhirnya, saya merasa petuah dosen saya, Prof. Franz Magnis-Suseno, SJ jelang Pemilu 2014 lalu masih relevan hingga sekarang, “Pemilu bukanlah soal memilih pemimpin yang terbaik, melainkan mencegah yang terburuk berkuasa.” Pemimpin yang terbaik mungkin tidak akan pernah ada. Tapi paling tidak kita harus mencegah agar calon pemimpin yang terburuk jangan sampai berkuasa.
Caranya adalah dengan memilih calon yang lebih baik daripadanya. Sebaliknya, tidak memilih sama artinya dengan membiarkan atau secara tak langsung, mendukung yang terburuk berkuasa. Kalau begitu, bukankah golput sebenarnya berarti cuci tangan alias mengelak turut bertanggung jawab atas masa depan bangsa?