Perjuangan membutuhkan 'napas panjang'". KH Abdurrahman Wahid menyampaikan hal itu di hadapan puluhan aktivis organisasi non-pemerintah. Sebagian dari mereka bergiat dalam penguatan demokrasi dan pendampingan kelompok-kelompok minoritas. Saya beruntung ikut pertemuan yang digelar di Jakarta, sekitar dua tahun sebelum Presiden RI keempat itu meninggal.
Gus Dur mungkin mengerti beberapa aktivis di hadapannya itu justru "bernapas pendek", sering bersikap tak sabaran, ingin perubahan cepat, nyata, dan karena itu mudah putus asa jika kenyataan tak sesuai dengan harapan. Bagi sebagian besar aktivis ini, kehidupan di bawah suasana demokrasi, minoritas masih menghadapi diskriminasi, politisasi agama mewabah, juga korupsi.
Sejarah di banyak negara memampang informasi penting. Keinginan menggebu-gebuagar lekas berubah dan merasa tak ada jalan lain menjadikan revolusi atau kudeta sebagai sebuah pilihan. Banyak pula yang tak setuju cara Che Guevara berjuang. Che menggerakkan revolusi bersama Fidel Castro menjungkalkan diktator Kuba Fulgencio Batista pada 1956. Che dan kelompoknya nekat melintasi Karibia dengan perahu reyot. Sebagian pengikutnya tewas. Che sendiri akhirnyaditangkap tentara Bolivia dan dieksekusi mati di Vallegrande, Bolivia, pada 9 Oktober 1967. Usianya ketika itu 39 tahun. Ia memilih jalan non-kompromi untuk mewujudkan perjuangannya.
Dalam beberapa kesempatan, Gus Dur mengatakan tak setuju dengan aksi-aksi revolusi. Mudaratnya lebih besar. Mungkin ini yang membuatnya agak kurang setuju dengan aksi-aksi jalanan menjungkalkan Soeharto. Melalui ajudannya, pada 1999, Gus Dur pernah melarang aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Ciputat turun aksi menolak RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB). "Saya tak ingin ada lagi teman-teman PMII yang matiatau luka-luka," kata dia ketika itu. Gus Dur lantas mengusulkan agar kami memilih satu-dua orang sebagai wakil, lalu mendatangi pejabat yang berwenang.
Napas panjang adalah karakter pengendalian diri bagi para aktivis dan mereka yang ingin membuat perubahan jangka panjang. Dengan kesabaran yang tertata, seseorang bisa lebih jernih melihat masalah, solusi-solusi, meminimalkan dampak dan korban-korban yang ditimbulkannya.
Bagi sastrawan besar Inggris, Thomas Stearns Eliot, pengendalian dan kesabaran diri adalah masalah pokok yang mesti ditaklukkan para aktivis, reformis, atau yang mengklaim sebagai revolusioner 60 tahun lalu. "Mengapa tokoh reformasi sekuler dan kaum revolusioner bagi saya tampak sebagai orang enteng, karena sebagian besar kejahatan dunia yang digembar-gemborkannya sebagai sesuatu yang di luar dirinya," kata dia. Musuh itu justru mendekam dalam diri.
Nasihat Gus Dur di atas jelas lahir dari perenungan dan pengalaman hidup. Sejak akhir 1970-an, ia keluar-masuk kampung, lama berada dalam tekanan penguasa, memimpin Nahdlatul Ulama, hingga berada di puncak kekuasaan. Setidaknya Gus Dur butuh waktu dua puluh tahun melihat Indonesia keluar dari rezim Orde Baru. Perjuangan Nelson Mandela menghapus sistem apartheiddi Afrika Selatan butuh waktu lebih dari 30 tahun. Ghandi lebih lama lagi: lebih dari 40 tahun. Bagaimana jika perjuangan yang kita lakukan belum tercapai saat kita hidup, kata Gus Dur, "sesungguhnya perjuangan bisa diwariskan".
Tulisan ini pernah dimuat Koran Tempo, Rabu, 22 Januari 2014 | 03:52 WIB