Dunia online sedang diramaikan dengan potongan ceramah kang Said (KH. Said Aqil Siradj) ketika memberikan sambutan pada acara Harlah Muslimat NU ke-73 di GBK (Gelora Bung Karno) yang menurutnya khotib masjid harus dari orang NU. Sebelumnya, kang Said dengan gigih melakukan gerakan untuk melawan radikalisme. Dengan background-nya sebagai Ketua Umum PBNU, dasar wasathiyyah (toleransi) menjadi acuan untuk selalu melawan gerakan-gerakan radikalisme yang sudah banyak menggelisahkan masyarakat bangsa ini khususnya dan dunia pada umumnya.
Melihat sekilas, apa yang dilakukan kang Said memang kontroversial, apalagi dengan hanya melihat potongan vidio dari statement yang beliau katakan. Seolah dari potongan itu mengesankan bahwa hanya NU-lah yang memiliki hak atas bangsa ini, sebuah gambaran pemahaman yang sangat bertolak belakang dengan pluralisme yang selalu disuarakan oleh NU alan pentingnya keberagaman, yang menurut almarhum Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) Indonesia ada karena keberagaman.
Diakui atau tidak, masjid akhir-akhir ini sering menjadi wadah untuk memupuk radikalisme melalui khutbah jum’at dan ceramah-ceramah keagamaan. Ujaran kebencian dan celaan tidak jarang ditemukan bersuara dari masjid-masjid. Ideologi radilakalisme yang memiliki karakter inklusif, adalah sebuah ancaman bagi keberadaan keberagaman yang menjadi kodrat dalam kehidupan. Melawan radikalisme berarti mengharapkan tetap berjalannya kehidupan yang toleran, saling menghargai, saling tolong menolong. Namun, apakah melawan radikalisme harus dengan cara yang radikal?
Dalam agama, sebagaimana tercermin dalam konsep Maqashid al-Syari’ah (tujuan-tujuan sebuah syari’at, mengungkapkan pendapat perlu untuk mendapat jaminan. Hifd al-’aql atau menjaga kebebasan berfikir adalah diantara isi poin-poin dalam maqashid al-syari’ah. Dengan konsep ini, hak asasi manusia (huquq al-insan) untuk mengungkapkan pendapat, baik pemikiran radikal maupun tidak, mendapatkan legitimasinya dalam pandangan agama. Bahkan dengan perbedaan-perbedaan yang ada sebuah bangsa mampu untuk menghasilkan kebudayaan yang berwarna, bahkan kemajuan-kemajuan tidak jarang dihasilkan dari sebuah perbedaan-berbedaan yang ada.
Dalam konsep syadz al-dzari’ah (menutup pintu kerusakan), sebagaimana dikenal dalam konsep interpretasi Imam malik, ada ruang untuk membenarkan apa yang dilakukan oleh kang Said, yaitu, agar terjaminnya kehidupan yang toleran, maka setiap paham radikal harus diberangus terlebih dahulu, meskipun dengan cara yang radikal sekalipun.
Analoginya adalah, ketika dokter hendak menyembuhkan penyakit seorang pasien maka harus rela untuk mengoprasi atau memberi obat yang pahit. Atau dalam kehidupan tasawuf, untuk mendapatkan kehidupan yang diharapkan diakherat maka didunia harus rela untuk bersusah payah dan bersakit-sakitan melawan hawa nafsu dengan rela selalu hidup dalam kelaparan, kesusahan, dll.
Namun yang semestinya menjadi pertanyaan penting adalah apakah cara memberangus atau memendam paham radikalisme dengan cara yang radikal adalah cara pembelajaran yangng baik untuk generasi bangsa ini, mengingat kehidupan yang penuh dengan toleransi perlu adanya pembelajaran yang tidak sebentar? Karena, dengan hanya untuk membenarkan ceramah beliau mungkin beribu-ribu dalil bisa untul digunakan.
Begitu juga, menyalahkan pidato beliau dengan membabi buta juga bukanlah sebuah kebenaran itu sendiri. Karena semuanya pasti memiliki argument dan cara pandangnya masing-masing.
Akhirnya, dalam kehidupan yang sering diwarnai dengan berbagai tindakan kekerasan dan saling menyalahkan, relevankah apa yang dilakukan oleh kang said? Apakah yang beliau lakukan karena sudah tidak sabar lagi atas tindakan-tindakan radikal yang sering muncul dalam beranda hidup kita, baik online maupun offline)?
Pada kondisi zaman di mana masih ditemukannya pelarangan umat agama lain untuk membangun tempat ibadahnya, intimidasi terhadap orang yang berbeda paham dalam beragama, merasa paling berhak untuk menafsiri ajaran agama, dan masih banya tindakan-tindakan radikal lainnya, apa yang dilakukan kang Said mendapatkan posisi baiknya. Namun, seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, apakah cara ini bisa menjamin sebagai bentuk pembelajaran yang baik untuk generasi bangsa ini selanjutnya. Semua itu adalah penting untuk kita pikirkan bersama, bukan menyalahkan.
Akhir kalam, wallahu a’lam bi al-shawab.