Mungkin tidak banyak yang tahu siapa Sahiron. Namun ia adalah salah satu figur penting saat Ahok diadili dalam kasus penistaan agama beberapa tahun lalu.
Sahiron adalah ahli tafsir dan hadits lulusan Jerman yang menjadi pembantu rektor II UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada saat diminta menjadi saksi ahli kasus Ahok. “Ahok tidak sedang menista agama saat menyatakan hal itu di Pulau Seribu,” katanya di hadapan peserta bedah buku, seperti yang ia akui disampaikan ke majelis hakim.
Ia juga mengaku tidaklah mudah menerima tawaran menjadi saksi atas hal ini. Tidak hanya meminta restu kepada kolega dan kedua orang tuanya, pria yang aktif di PWNU DIY ini juga melakukan ritual khusus agar kesaksiannya tidak mendapat halangan baik sebelum maupun sesudah persidangan.
“Mas, sampeyan kok selamet dari perisakan di media ya. Kok bisa? Apa resepnya?” tanyaku agak berbisik kepada Dr. Sahiron.
Ia menjawab, secara keilmuan QS. al-Maidah 51 memang tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk mendiskreditkan non-muslim dalam kontestasi elektoral karena konteks turunnya ayat tersebut berbeda. Di luar itu, ia melengkapi dirinya sendiri dengan ritual sholat dan bacaan khusus. “Mungkin itu sebabnya saya relatif sepi dari perisakan,” ujarnya.
Saat dirinya balik ke kampus pascakesaksiaanya di persidangan, ia mengaku didatangi oleh beberapa aktifis PMII untuk bersiap mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. “Gampang, nanti saja,” ujarnya.
Forum bedah buku “Tjahaya Seorang Basuki,” malam itu sekaligus menjadi ajang konsolidasi dan refleksi situasi keragaman di Indonesia. Tidak sedikit peserta menyampaikan kegelisahan sekaligus menanyakan strategi ke depannya.
Mereka memang patut gelisah mengingat begitu massifnya tindak intoleransi, terutama di Jawa. Yang aku dengar bedah buku ini saja sempat gagal mengingat ada beberapa kampus yang enggan dimintai bantuan sebagai tempat penyelenggaraan. Isu Ahok masih rawan, katanya.
Aku lalu menyarankan penerbit agar mengontak Universitas Sanata Dharma yang memang aku kenal cukup “bandel,” untuk urusan seperti ini. Dan ternyata tebakanku benar.
“Saya mengucapkan terima kasih kepada Romo Baskoro yang bersedia memberikan berkahnya kepada forum ini. Untuk urusan-urusan pelik, saya tetap meyakini Romo Bas adalah jaminan mutu,” selorohku disambut tawa hadirin.
Aku memang tidak terlalu akrab dengan imam jesuit penerima beasiswa Fulbright ini. Siapalah aku ini di hadapan doktor sejarawan yang penelitiannya mengungkap keterkaitan Presiden Lyndon B. Johsonn terhadap peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto.
Persinggunganku dengannya terjadi di beberapa forum yang membahas Peristiwa 65-66. Romo berwajah kalem ini memang cukup aktif bergerak di isu ini bersama para aktifis dan banyak Penyintas peristiwa tersebut. Aku merasa banyak belajar darinya.
“Ibu Bapak, jika anda Tionghoa, Kristen, lahir sebagai gay atau lesbian dari pasangan yang terindikasi PKI, maka anda telah komplit menjadi orang yang paling dibenci 59,9% muslim dewasa di Indonesia. Tugas kita, bagaimana melucuti prasangka atas 4 identitas tersebut,” ujarku.